Mohon tunggu...
Unu D Bone
Unu D Bone Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar Sama-Sama

Kadang suka jalan-jalan, kadang suka diam di rumah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunuh Diri: Kenapa Jumlah Pelaku-Korban Laki-Laki Cenderung Lebih Tinggi dari Perempuan?

29 Januari 2025   23:03 Diperbarui: 30 Januari 2025   00:03 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: kompas.id)

Secara keseluruhan, mulai dari yang paling primitif sampai paling kini, ada anggapan bahwa laki-laki harus kuat, baik dari segi fisik maupun mentalnya. Dalam sistem sosial kita, kita sering mendengar kalimat "anak laki-laki tidak boleh menangis" ketika ada anak laki-laki yang jatuh dan terluka. Atau kalimat lain: "Laki-laki harus kuat," dan "laki laki tidak boleh lemah dan cengeng."  Akibatnya, laki-laki yang juga memiliki dimensi emosi sebagai manusia tumbuh  dengan menyembunyikan emosinya dibanding mengekspresikannya, terlebih emosi-emosi negatif. Sistem sosial kita menekan laki-laki untuk tidak mengekspresikan rasa sakitnya.

Meskipun secara normal menceritakan masalah tidak pernah membuat laki-laki lemah, tetapi kembali kepada soal konstruksi yang dibangun masyarakat dalam kurun waktu yang sangat lama dan panjang, mereka punya naluri warisan dari kenerasi ke generasi yang mebuat mereka memendam masalah hidupnya sendiri kemudian menyelesaikannya sendiri. Hal ini kemudian mendatangkan masalah bagi laki-laki sendiri. Dalam keterbatasannya, dimana laki-laki tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, seringkali laki-laki memilih jalan keliru.

Dalam laporan Jill Harkavy-Friedman, wakil presiden divisi penelitian untuk American Foundation for Suicide Prevention, sebuah organisasi kesehatan yang menolong mereka yang terdampak oleh bunuh diri, dikatakan bahwa alih-alih mencari bantuan, laki-laki bisa saja berusaha "mengobati diri sendiri". Jalan atau cara mengobati diri sendiri diantaranya rokok, alkohol atau narkoba. Pada kondisi ekstrim, tindakan terjauh laki-laki adalah menyerah kalah pada masalah dan mengakhiri hidupnya sendiri.

Apa yang dapat dilakukan?

Ada dua hal yang saling berhubungan. Pertema, mengembangkan dan meningkatkan kepedulian kepada orang lain. Kadang kita tahu bahwa orang di sebelah kita sedang mengalami masalah, dan sedang berjuang sendirian. Kita cenderung menempatkan posisi sebagai pengamat dan penilai, alih-alih membantu mencari jalan keluar bagi mereka yang bermasalah. Menanyakan kabar, mendengarkan cerita orang lain merupakan hal kecil, namun memberikan dampak yang luar biasa untuk kehidupan mereka.

Kedua,-- yang berkaitan dengan tulisan ini - adalah dengan berbicara. Setiap orang baik perempuan maupun laki-laki perlu diberi ruang untuk membicarakan masalah yang dihadapinya. Orang perlu berbicara tentang masalah mereka, membuka pintu komunikasi kepada orang lain, dan perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian. Ada orang yang siap sedia mendukung mereka disaat-saat tersulit, mendukung kehidupan mereka. Hal ini berlaku juga untuk laki-laki.

Memang agak sulit, karena sepanjang sejarah laki-laki terjebak dalam stigma tentang lelaki harus kuat. Akhirnya tanpa disadari laki-laki terjebak dalam toxic masculinity - salah satu prediktor kecenderungan kasus bunuh diri pada laki-laki. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan konsep maskulinitas yang keliru dan tidak sehat tentang laki-laki, terutama tentang sisi emosional laki-laki. Anggapan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, dari segi emosional laki-laki tidak berperasaan, dan bila perlu harus memiliki perilaku agresif. Laki-laki juga dituntut harus menolak apa pun yang dianggap feminin, seperti menunjukkan emosi, menceritakan masalahnya, atau menerima bantuan dari orang lain ketika menghadapi masalah.

Dari kedua hal yang diuraikan di atas, kesimpulan sederhana yang dapat dibuat adalah bahwa setiap orang dalam lingkungan sosialnya perlu mengembangkan sikap peduli terhadap orang lain. Kepedulian ini dikembangkan tanpa membeda-bedakan, apalagi menempatkan kepedulian hanya pada gender tertentu. Laki-laki, seperti halnya perempuan, adalah manusia yang utuh dengan segala dimensi kodrati yang melekat padanya. Laki-laki memiliki perasaan, dan dalam menghadapi masalah tetap membutuhkan bantuan dari orang lain. Sebab jika kita semakin tidak peduli, kita akan terus berhadapan dengan kejedia-kejadian bunuh diri berikut yang oleh Emile Durkheim disebut bunuh diri anomik sampai fatalistik.

Selain itu, laki-laki perlu meninggalkan doktrin usang yang menempatkan mereka dalam jebakan stigma yang membelenggu kehidupan mereka sebagai manusia. Laki-laki perlu berbicara tentang masalah mereka. Laki-laki perlu bercerita tentang diri mereka. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dengan bercerita orang akan mengalami kelegaan. Bercerita tidak serta merta mengatasi masalah, tetapi dengan menceritakan masalah mereka beban mental seseorang akan lebih terasa ringan dan membuat orang lebih leluasa menghadapi masalah. Dengan demikian usaha mencari jalan keluar dari masalah menjadi lebih mungkin ditemukan, dibanding jalan pintas untuk menyerah pada masalah dengan mengakhiri hidup sendiri.

Beberapa sumber:

Burden of Suicide, dari Pan American Health Organization (PAHO) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun