Lebaran telah tiba. Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa, menahan lapar dan godaan-godaan, kini umat Islam di penjuru dunia merayakan hari kemenangannya. Di tanah air kita, perayaan lebaran selalu diikuti oleh fenomena sosial yang unik, yakni tradisi mudik. Tradisi mudik kiranya hanya dikenal di Indonesia. Di Indonesia, tradisi mudik menembus batas-batas keagaaman. Tak hanya umat Islam saja yang berangkat mudik ke kampung halaman untuk berlebaran, melainkan juga umat non-Islam lainnya. Memanfaatkan hari libur lebaran, jutaan orang secara massal beranjak pulang ke kampung halamannya dan mengikat tali silahturahmi dengan sanak-saudara yang lama tak bersua.
Tiap kali mencermati fenomena mudik, saya kerap bertanya-tanya, “Mengapa begitu banyak orang rela berjejalan di kendaraan, berjalan merambat di arus lalu lintas yang memadat, menempuh puluhan bahkan ratusan kilometer, demi mudik?! Tidakkah lebih enak di rumah saja, lalu berlebaran, bermaaf-maafan dan bersilahturahmi dengan sanak-saudara di kampung halaman lewat telepon?!”.
Tradisi mudik tak bisa kita sempitkan dalam wilayah keagamaan semata. Ia juga menyentuh wilayah personal. Mudik adalah kesempatan bagi kita untuk kembali ke akar, ke rumah di mana kita pertama kali mengenal dan mencecap kehidupan. Tradisi mudik mengajak kita untuk tidak melupakan asal-muasalnya. Kita masih ingat cerita Malin Kundang, bukan? Ketika si Malin telah hidup bahagia di perantauan, ia sengaja melupakan riwayat masa lalunya. Ia melupakan ibunya. Bisa kita rasakan betapa pedih hati seorang ibu yang dilupakan anaknya. Ibu si Malin tidak minta macam-macam. Ia hanya ingin si Malin Kundang pulang ke pelukannya, mengingatnya sebagai ibu yang pernah melahirkan dan mencintainya dengan hati yang penuh.
Mudik, dengan demikian, adalah momentum di mana cinta mewujud hidup. Keluarga dan rumah asal merupakan tempat penyemaian benih cinta dalam diri tiap pribadi. Di rumah, di tengah keluarga, kita mendapatkan cinta dalam takaran yang pas sebagai seorang anak dan saudara. Maka, saat mudik adalah kesempatan yang begitu berharga untuk mereguk kembali cinta itu – pulang demi berkumpul dalam suasana kehangatan cinta bersama keluarga, saling berbagi cerita dan apa pun juga yang dipunya. Ketika mudik, cinta itu tak sekadar menjadi perasaan yang menetap di hati, namun juga mewujud konkrit dalam perjumpaan antarpribadi: mendapati senyuman tulus dan pelukan lembut dari orangtua, cengkerama hangat dengan saudara, dst. Wujud cinta seperti itu tak bisa diganti dengan apa pun juga.
Soal cinta itulah yang kiranya menjadi alasan kuat bagi kita untuk menafikan segala kesusah-payahan dalam tiap perjalanan mudik. Sebab orang-orang yang kita cintai sedang menanti di rumah. Cinta mereka memberikan kekuatan bagi kita untuk setia bertahan dalam keriuhan penumpang, kepadatan kendaraan di jalan, dan jarak tempuh yang melelakan. Cinta itulah yang menggerakkan kita untuk selalu kembali pulang (mudik) ke rumah asal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H