"Tidak seharusnya rasa takut menyelimuti diri korban ketika keadilan dan tindakan hukum terhadap pelaku merupakan hak yang dimilikinya."
Jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia meroket 792 persen dalam dua belas tahun terakhir. Angka persentase tersebut menunjukkan bahwa selama dua belas tahun kekerasan terhadap perempuan telah melonjak sebanyak delapan kali lipat (Mashabi, 2020, 13 Agustus).Â
Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah mencatat terdapat 431.471 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2019. Di antaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang melibatkan alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ibrahim Malik.
Kasus mulai terungkap setelah korban melaporkan kepada Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta pada 17 April 2020. Dalam kasus pelecehan tersebut, Lani, korban dengan nama samaran, mengalami pelecehan seksual berupa paksaan dan kekerasan fisik. Pelaku sempat memojokkan badan korban ke dinding lalu berusaha mencium dengan paksa, dilanjutkan dengan menggesekkan alat kelamin di bagian perut, bersentuhan dengan kulit hingga terjadi ejakulasi (Adam, 2020, 15 Mei).
Kasus kekerasan seksual lain juga terjadi di lingkungan universitas yang menimpa Abraham (nama samaran). Abraham merupakan seorang mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual oleh salah satu rekan kampusnya.Â
Abraham mengatakan bahwa dirinya mengalami kekerasan fisik ketika sedang berboncengan dengan pelaku (laki-laki) di motor. Dirinya mengakatan bahwa sepanjang perjalanan tangan pelaku meraba-raba pahanya yang menyebabkan dirinya risih (Azizah, K. N., 2020, 21 April). Abraham merasakan ketakutan ketika pelecehan sedang terjadi dan enggan melapor.
Dua contoh kekerasan seksual di atas sudah dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi terhadap siapa saja dan di mana saja. Tidak ada tempat yang aman, yang memungkinkan tidak ada kekerasan seksual yang terjadi. Pada kenyataannya laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual.
Polemik dan Urgensi Pengesahan RUU PKS
Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual yang sangat tinggi di Indonesia selama dua belas tahun terakhir menandakan bahwa Indonesia telah mengalami krisis kekerasan seksual.Â
Namun demikian, mengapa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) justru tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.Â
DPR sebagai lembaga perancang hukum atas segala tindak kekerasan dinilai abai dan tidak kompeten dalam menyikapi krisis kekerasan seksual yang terjadi. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB, Marwan Dasopang mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan karena pembahasannya yang sedikit sulit (Gusman, 2020, 10 Juli).
Sedangkan menurut salah satu pengurus Komnas Perempuan sikap DPR menunjukkan tidak ada kemauan untuk memberikan keadilan bagi korban. "Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban," kata Fuad, Komisioner Komnas Perempuan (Prabowo, 2020, 1 Juli).Â
Peningkatan jumlah kasus tersebut menandakan bahwa RUU PKS dibutuhkan dan mendesak untuk segera disahkan. Di samping itu, jumlah angka kasus yang ada saat ini merupakan jumlah kasus kekerasan seksual yang terlaporkan dan tercatat tidak termasuk dengan kasus yang tidak terungkap.
RUU PKS sebagai calon instrumen negara dalam menjamin hak-hak perlindungan warga negara atas kekerasan seksual sebaiknya segera disahkan. UU PKS (jika disahkan) tidak hanya akan menjaga hak-hak pribadi seseorang (terutama korban) secara fisik namun juga secara psikologis.Â
Tidak jarang korban kekerasan seksual yang mengalami trauma dan meragukan orientasi seksualnya pascaperistiwa kekerasan seksual, seperti yang terjadi pada Abraham.
Tanpa adanya kepastian hukum bagi korban, jumlah kasus kekerasan seksual akan bertambah baik itu yang terungkap atau yang tidak terungkap. Ditambah lagi sebagian korban justru memilih untuk diam pascaperitiwa kekerasan seksual yang dialami. Sikap diam tersebut sebabkan oleh rasa takut terhadap balasan tuntutan yang dilakukan oleh pelaku (victim blaming) dan stigma negatif masyarakat.Â
Tidak seharusnya rasa takut menyelimuti diri korban ketika keadilan dan tindakan hukum terhadap pelaku merupakan hak yang dimilikinya. Kepastian hukum yang diterima oleh korban diharapkan mampu meningkatkan rasa percaya diri dan keberanian untuk melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya jauh di atas rasa malu terhadap stigma buruk masyarakat dan victim blaming. Keadilan adalah keadilan dan hak adalah hak.
Upaya penekanan kasus kekerasan seksual tidak dapat hanya dilakukan oleh pemerintah melalui undang-undang (UU) yang diterbitkan. Butuh sinergi antarelemen masyarakat baik itu dalam konteks politik atau sosial dan budaya untuk membantu menekan kasus kekerasan seksual.Â
UU hanya merupakan salah satu upaya dan tindak lanjut ranah hukum terhadap kekerasan seksual yang terjadi. Permasalahan kekerasan seksual sebaiknya diselesaikan melalui upaya yang nyata dan sistematis. Upaya sistematis yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan di setiap jenjang, kelas, dan lapisan kehidupan masyarakat.
"Kepastian hukum yang diterima oleh korban diharapkan mampu meningkatkan rasa percaya diri dan keberanian untuk melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya jauh di atas rasa malu terhadap stigma buruk masyarakat dan victim blaming."
Harapan Penghapusan Kekerasan Seksual kepada Penguasa
Pada prinsipnya setiap orang berhak dan memiliki kekuatan guna menekan kasus kekerasan seksual, namun siapa yang memiliki kekuatan sebenarnya? Aktor politik, seperti partai, organisasi publik, kelompok penekan, pemerintah; dan media.Â
Mereka merupakan representasi kekuatan yang sebenarnya. Ketiga entitas tersebut merupakan katalisator dalam upaya penekanan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah, aktor politik lainnya, dan media merupakan pemangku kekuasaan yang menentukan keputusan dalam sistem politik di pemerintahan Indonesia.
Meskipun dengan caranya masing-masing, ketiga entitas tersebut mampu memberikan pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan, terutama berkaitan dengan regulasi hukum yang berlaku di Indonesia. Media misalnya, memiliki mekanisme upaya pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui liputan berita dan artikel yang diterbitkan.Â
Upaya tersebut dapat secara tidak langsung mampu mengubah persepsi masyarakat terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual. Harapannya masyarakat tidak bersimpati terhadap segala perilaku kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat dan akan meningkatkan rasa percaya diri bagi korban untuk mengungkap kasus kekerasan seksual yang dialami.
Sedangkan bagi aktor politik mereka memiliki wewenang dan wadah dalam menguji, mengkritik, mengajukan, dan menekan pemegang kekuasaan pemerintahan terhadap keputusan isu tertentu, termasuk isu kekerasan seksual.Â
Melalui cara-caranya, para aktor politik berdinamika (saling berdebat, saling mengkritisi, berargumen) dalam upaya penghapusan isu-isu tertentu. Namun saat ini pemerintah tidak dapat memenuhi harapan dan tuntutan keresahan masyarakat terhadap kekerasan seksual yang menjamur meskipun RUU PKS tersebut sudah masuk dalam Prolegnas 2016 lalu.
Daftar Pustaka
Mashabi, S. (2020, 13 Agustus). Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Kenapa RUU PKS Tak Kunjung Disahkan?. Kompas.com.
Adam, A. (2020, 15 Mei). Dugaan Kasus Kekerasan Seksual: Di Balik Citra Baik Ibrahim Malik. Tirto.id.
Azizah, K. N. (2020, 21 April). Saat Remaja Laki-Laki Jadi Korban Kekerasan Seksual. Health.detik.com.
Prabowo, H. (2020, 1 Juli). Komnas Perempuan: Tak Ada Kemauan dari DPR untuk Bahas RUU PKS. Tirto.id.
Gusman, H. (2020, 10 Juli). Periksa Data Penarikan RUU PKS & Meroketnya Angka Kekerasan terhadap Perempuan. Tirto.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H