Mohon tunggu...
Dolok Yosuadi
Dolok Yosuadi Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Senang menulis artikel umum mengenai film, hukum terkait Perbankan, Perdagangan Internasional, dan WTO

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sertifikasi Halal di Indonesia pada Produk Makanan di Mata Dunia Internasional

23 Oktober 2019   13:45 Diperbarui: 23 Oktober 2019   13:50 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: merdeka.com

            

Indonesia sebagai negara anggota WTO dan juga sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia (13% persen populasi dunia) kini mengandalkan sertifikasi halal dari MUI dan kini beralih ke Kementerian Agama untuk menjamin suatu produk makanan domestik ataupun impor yang masuk dalam perdagangan Indonesia layak dikonsumsi oleh umat Islam sesuai ketentuan agama Islam.

Bila membandingkan  di negara Amerika Serikat dengan Orthodox Union (NGO Keagamaan Yudaisme) yang berwenang memberi label makanan kosher di Amerika Serikat dan FAMBRAS (Federasi Umat Muslim Brasil) yang berwenang memberi label produk makanan halal di Brasil maka dengan analisa awam bisa disepakati bahwa sertifikasi mengenai food safety berdasarkan ketentuan agama merupakan hal yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan sosial masyarakat dunia.

Hal tersebut juga ternyata diakomodir dalam perjanjian negara-negara anggota WTO. WTO sendiri yang memiliki visi misi utamanya menghapus hambatan-hambatan domestik persaingan dagang dalam pasar bebas, namun ternyata membuat pengecualian terhadap produk-produk makanan dalam hal ini yang berkaitan dengan sertifikasi berdasarkan norma agama (halal, kosher, dsb).

Bila dilakukan legal scan dalam perjanjian-perjanjian dan yurisprudensi dalam WTO dapat diketahui pengecualian tersebut diakomodir dalam Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement) yang menyebabkan sertifikasi halal atau kosher dalam suatu negara dapat memiliki derajat yang lebih tinggi dari standar internasional untuk  dapat memutuskan rekomendasi suatu produk makanan layak dikonsumsi dan boleh masuk dalam peredaran dagang di suatu negara dengan label yang menjaminnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan mengenai definisi Non Governmental Body pada Annex 1 TBT yang menjelaskan bahwa Lembaga non pemerintah juga dapat ikut campur menentukan Technical Regulation produk tertentu. Technical Regulation sendiri definisinya dalam Annex 1 TBT adalah :

"Document which lays down product characteristics or their related processes and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply to a product, process or production method."

Dari sini maka dapat diketahui bahwa label halal dari MUI pada produk makanan dapat dikategorikan sebagai TBT dan hal itu merupakan hal yang sah-sah saja dipraktikan dalam perdagangan, lalu mengenai sertifikasi halal dari kemenag posisinya juga sama diatur dalam Annex 1 TBT terkait mengenai definisi Central Government Body  dan terikat pada definisi Technical Regulation yang sama.

Poin penting yang perlu diingat baik sertifikasi Halal dari MUI maupun Kementrian Agama Indonesia sebagaimana dengan label food safety berdasarkan norma agama sifatnya sebatas himbauan/rekomendasi kepada masyarakat tapi bukan menjadi dasar pertimbangan Lembaga pemerintah suatu negara untuk melarang, menghambat, memberi perlakuan berbeda pada produk makanan tertentu atau memberi kuota berdasarkan status sertifikasi tersebut. Hal ini juga berlaku untuk seluruh organisasi keagamaan dan Lembaga negara di dunia. Ketentuan tersebut sebagaimana yang sudah disepakati dan menjadi komitmen seluruh negara-negara anggota WTO dalam pasal 2 TBT mengenai Preparation, Adoption, and Application of Technical Regulations by Central Government Bodies dan pasal 5 TBT mengenai Procedures of Assesment of Conformity by Central Government Bodies.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sertifikasi Halal baik dari MUI maupun Kementrian Agama diakui oleh WTO sebagai himbauan tentang food safety produk makanan namun bukan sebagai dasar pertimbangan pemerintah untuk melakukan hambatan terhadap peredaran barang tersebut, hal ini berkaitan erat dengan konsep pasar bebas itu sendiri yaitu biarkan permintaan pasar yang menentukan.

sumber:

https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/17-tbt_e.htm#articleI 

https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds484_e.htm

Gambar: https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenag-dan-mui-perdebatkan-kewenangan-sertifikasi-halal.html 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun