Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Dokter - Pejabat Otoritas Veteriner

Dokter Hewan | Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukuman Kurungan Penjara vs Pemiskinan Koruptor, Mana yang lebih Efektif?

28 Desember 2024   09:20 Diperbarui: 28 Desember 2024   09:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Korupsi (Sumber Gambar: Freepik.com)

Persoalan korupsi di Indonesia tampaknya belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini setidaknya terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yakni Skor IPK Indonesia stagnan di angka 34 pada tahun 2014 dan 2023, dengan peringkat yang merosot dalam pemberantasan korupsi.

Sementara itu, korupsi masih menjadi salah satu masalah terbesar yang kita hadapi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. 

Selama ini, hukuman kurungan sering menjadi pilihan utama dalam menindak pelaku korupsi. Namun, efektivitas hukuman ini sering dipertanyakan. Sebagai alternatif, pendekatan pengembalian uang negara dan pemiskinan koruptor muncul sebagai solusi yang dianggap lebih adil dan memberikan efek jera. 

Oleh sebab itu, menurut penulis, setidaknya ada tujuh alasan mengapa pentingnya pendekatan pengembalian uang negara dan pemiskinan koruptor, daripada hanya pemidanaan (kurungan penjara).

Pertama, Efek Langsung terhadap Keuangan Negara.

Salah satu dampak paling nyata dari korupsi adalah kerugian finansial negara. Berdasarkan data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2022 mencapai lebih dari Rp 50 triliun. 

Hukuman kurungan tidak secara langsung mengembalikan kerugian ini. Dalam banyak kasus, uang hasil korupsi tetap tersembunyi atau telah dialihkan.

Sebaliknya, kebijakan yang mewajibkan pengembalian uang negara memberikan dampak langsung terhadap pemulihan kerugian. Misalnya, pada tahun 2021, KPK berhasil memulihkan aset negara sebesar Rp 419,9 miliar dari hasil tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa fokus pada pengembalian uang negara dapat membantu meminimalkan dampak finansial dari korupsi. 

Kedua, Efek Jera yang Lebih Kuat.

Hukuman kurungan sering kali tidak memberikan efek jera yang memadai. Dalam beberapa kasus, koruptor justru hidup nyaman di dalam penjara. Sebagai contoh, terungkapnya fasilitas mewah di beberapa lapas koruptor di Indonesia menunjukkan bahwa hukuman kurungan tidak selalu efektif sebagai bentuk hukuman.

Sebaliknya, pemiskinan koruptor, yaitu penyitaan aset-aset yang diperoleh dari tindak pidana, memiliki efek jera yang lebih kuat. Kehilangan aset yang diperoleh secara tidak sah memberikan tekanan psikologis dan sosial yang lebih besar daripada sekadar kurungan. Koruptor tidak hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga status sosial dan kenyamanan yang mereka peroleh dari uang hasil korupsi. 

Ketiga, Peningkatan Keadilan Sosial.

Hukuman kurungan cenderung hanya memberikan penderitaan kepada individu yang bersangkutan tanpa memberikan dampak langsung kepada masyarakat yang dirugikan.

Sebaliknya, pengembalian uang negara dan penyitaan aset koruptor berpotensi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Dana yang dipulihkan dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, atau pendidikan, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan publik.

Sebagai contoh, dana hasil penyitaan aset koruptor dalam kasus besar seperti BLBI dapat dialokasikan untuk program sosial yang mendukung masyarakat miskin. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya menghukum pelaku tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.

Keempat, Efisiensi Sistem Peradilan.

Proses peradilan dalam kasus korupsi sering kali memakan waktu lama dan biaya tinggi. Pengawasan terhadap pelaksanaan hukuman kurungan juga membutuhkan sumber daya yang signifikan. Dalam kasus tertentu, koruptor yang memiliki akses ke jaringan kekuasaan dapat memanfaatkan celah hukum untuk mendapatkan keringanan hukuman atau fasilitas khusus selama di penjara.

Pendekatan yang berfokus pada pengembalian uang negara dan pemiskinan koruptor dapat mengurangi beban sistem peradilan. Fokus utama adalah pada identifikasi dan penyitaan aset hasil korupsi, yang prosesnya dapat lebih cepat jika dibandingkan dengan proses pengadilan yang rumit. Dengan demikian, sistem peradilan dapat lebih efisien dalam menangani kasus korupsi.

Kelima, Mencegah Pengulangan Tindak Pidana.

Salah satu alasan utama mengapa korupsi terus terjadi adalah karena pelaku sering merasa bahwa mereka masih dapat menikmati hasil tindak pidana setelah menjalani hukuman. 

Dengan menyita semua aset hasil korupsi, pelaku tidak akan memiliki insentif untuk mengulangi perbuatannya. Pemiskinan koruptor juga mengirimkan pesan yang kuat kepada calon pelaku lainnya bahwa tindak pidana ini tidak menguntungkan.

Keenam, Keberhasilan di Negara Lain.

Beberapa negara telah menerapkan pendekatan pengembalian uang negara dan pemiskinan koruptor dengan hasil yang memuaskan. Sebagai contoh, Hong Kong melalui Independent Commission Against Corruption (ICAC) berhasil membangun reputasi sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia. Salah satu strateginya adalah fokus pada pemulihan aset dan memberikan sanksi finansial yang berat kepada pelaku korupsi.

Sementara itu, Amerika Serikat melalui Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) juga berhasil memulihkan miliaran dolar dari kasus korupsi perusahaan multinasional. Pendekatan ini menunjukkan bahwa fokus pada pengembalian aset dapat menjadi alat yang efektif dalam melawan korupsi.

Ketujuh, Potensi Implementasi di Indonesia.

Meskipun pendekatan ini menawarkan banyak keuntungan, implementasinya di Indonesia memerlukan perbaikan dalam beberapa aspek. 

Pertama, sistem identifikasi dan penyitaan aset perlu diperkuat. Saat ini, banyak aset hasil korupsi yang sulit dilacak karena menggunakan skema pencucian uang yang kompleks. 

Kedua, kerangka hukum perlu mendukung pendekatan ini. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi perlu direvisi untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada KPK dan aparat penegak hukum lainnya dalam menyita aset koruptor. Selain itu, perlu ada kerja sama internasional untuk melacak aset yang disembunyikan di luar negeri.

Ketiga, pengawasan terhadap penggunaan dana yang dipulihkan harus transparan dan akuntabel. Hal ini untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat dan tidak kembali disalahgunakan.

Oleh sebab itu, pendekatan pengembalian uang negara dan pemiskinan koruptor menawarkan banyak keuntungan dibandingkan dengan hukuman kurungan. Pendekatan ini tidak hanya membantu memulihkan kerugian finansial negara tetapi juga memberikan efek jera yang lebih kuat, meningkatkan keadilan sosial, dan mencegah pengulangan tindak pidana. 

Dengan belajar dari pengalaman negara lain dan memperkuat kerangka hukum serta sistem pengawasan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menerapkan pendekatan ini secara efektif. Korupsi adalah musuh bersama, dan pendekatan yang lebih strategis diperlukan untuk memberantasnya hingga ke akarnya. Mari kitaTeguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju.

 Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun