Pemilihan umum (pemilu) yang digelar setiap lima tahun sekali ini sejatinya memiliki dampak psikologis yang patut menjadi perhatian. Selain masih ditemukannya anggota KPPS yang meninggal dunia, banyak pemilih juga mengeluh karena surat suaranya terlalu banyak dan membingungkan.Â
Pasalnya, pemilu kali ini masih menggabungkan antara Pemilihan yang sifatnya nasional dengan pemilu yang sifatnya daerah.
Bagi warga daerah, terus terang, pemilu dengan memilih lima kategori yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PPWP), DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota, ini cukup melelahkan dan terlalu meluas (Tidak fokus).
Dalam satu waktu, pemilih harus memilih lima surat suara dan sifatnya nasional dan daerah.
Akibatnya, pada saat Pemilu digabung seperti saat ini, masyarakat hanya fokus pada Pemilihan Presiden dan wakil presiden saja. Sehingga, pemilihan yang sifatnya daerah, relatif tidak selalu menonjol. Bahkan terkesan hanya sebagai pelengkap.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya lah kita usulkan pemilu dilakukan dalam dua kategori: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Pemilu nasional akan berfokus pada pemilihan kepemimpinan nasional, seperti Pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI dan DPD RI. Sehingga, saat pemilu nasional, hanya ada tiga surat suara saja.
Sementara itu, untuk pemilu daerah, ini akan berfokus pada pemilihan kepemimpinan daerah. Meliputi pemilihan Kepala Daerah: Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Sehingga, saat pemilu daerah: akan ada empat surat suara.Â
Setidaknya, jumlah surat suara ini masih sedikit dibandingkan dengan pemilu yang kita ikuti sekarang.
Di samping itu, memisahkan antara pemilihan umum nasional dan pemilu daerah juga memiliki beberapa manfaat dan alasan strategis, di antaranya:
Pertama, Efisiensi waktu dan sumber daya. Dengan mengadakan pemilu secara terpisah, akan mengurangi biaya dan sumber daya yang diperlukan untuk mengatur dan melaksanakan pemungutan suara, seperti personel, tempat pemungutan suara, dan peralatan.
Untuk pemilu nasional, anggarannya dibebankan pada anggaran APBN, sementara untuk pemilu daerah, penganggarannya dominan dibebankan pada APBD. Meski kombinasi antara keduanya dapat dilakukan.
Kedua, pemilu daerah dan pemilu nasional akan memiliki target yang berbeda. Faktanya, ketika pemilu nasional digabung dengan pemilu daerah, masyarakat sebagian besar kurang memahami Caleg (calon legislatif) di daerahnya.Â
Mereka justru hanya  memiliki fokus pada pemilihan nasional, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden saja. Sehingga, tujuan kepentingan daerah dalam pemilihan untuk caleg di tataran DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota sangat kurang, terabaikan dan mengalami ketimpangan.
Ketiga, Kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah seharusnya memang fokusnya dipisah.Â
Dengan pemilu legislatif DPRD yang berbeda pelaksanaannya dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada), nyatanya tidak terbangun koalisi yang seirama, antara partai pengusung dengan kepala daerah.Â
Akibatnya, tidak heran jika banyak anggota legislatif daerah (karena sudah duduk) yang kemudian berbeda dukungannya dengan calon kepala daerah. Walaupun di pemilu mereka dalam satu koalisi. Padahal, unsur pemerintahan daerah adalah meliputi Kepala daerah dan anggota legislatif daerah. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan.
Keempat, masa bhakti kepemimpinan daerah tidak serentak sama. Hal ini berbeda dengan kepemimpinan nasional. Karena pemilunya sama antara Legislatif nasional dan Presiden/ wakil presiden, maka masa kepemimpinannya pun berakhir dimasa periode yang sama. Akibatnya, pada satu titik, anggota legislatifnya berganti, namun kepala daerahnya tetap. Demikian sebaliknya.Â
Kelima, Meningkatkan partisipasi. Menjadwalkan pemilu dalam waktu terpisah dapat membantu meningkatkan partisipasi pemilih, karena pemilih akan lebih fokus dan muncul semangat untuk peduli terhadap daerahnya dan peduli terhadap bangsanya.
Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga lebih fokus pada kepentingannya masing-masing. Jika pemilu nasional, maka KPU RI yang lebih bertanggungjawab. Sedangkan pemilu daerah, KPU daerah akan lebih dominan. Tidak seperti saat ini, antara pusat dan daerah, masih bercampur baur dan tidak fokus. Sehingga wajar jika penghitungan real KPU membutuhkan waktu yang lama. Ketika KPU daerah sedang sibuk mengurus perolehan suara caleg DPRD, KPU pusat justru meminta untuk mempercepat hasil Pilpres, DPR RI dan DPD RI.
Keenam, Mengurangi kebingungan. Dengan pemilihan umum dilakukan secara terpisah, dapat mengurangi kebingungan di kalangan pemilih, terutama bagi pemilih pemula.
Ketujuh, Menyederhanakan proses administrasi. Pemisahan pemilu ke dalam dua kategori akan dapat menyederhanakan proses administrasi bagi pemerintah dan lembaga terkait, karena mereka hanya perlu fokus pada satu fokus saja. Yakni pemilihan nasional atau pemilihan daerah saja.
Sementara itu, pemilihan kepala daerah yang kelak digelar pada Rabu 27 November 2024 mendatang, juga hanya berisikan pemilihan Gubernur dan pemilihan bupati/walikota, tanpa pemilihan anggota DPRD. Sehingga wajar jika banyak yang berpendapat bahwa pemilukada merupakan pemilu yang tanggung dan kurang optimal jika berbicara kepentingan daerah.
Namun, perlu dicatat bahwa ada juga beberapa tantangan dan pertimbangan praktis yang perlu dipertimbangkan dalam memisahkan pemilihan umum daerah  dan pemilihan umum nasional. Seperti tidak bisa lagi seorang caleg DPRD yang numpang Baliho dengan Caleg DPR RI. Alhasil, modalnya juga makin berat.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga pemilu kedepan ada regulasi baru yang menyatakan bahwa Pemilu dikategorikan dalam dua jenis, yaitu pemilu nasional dan pemilu daerah. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H