Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Dokter - Pejabat Otoritas Veteriner

Seorang Dokter Hewan | Diidentifikasi oleh Google sebagai Pengarang | Pejabat Eselon III di Pemda

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ancaman Antimicrobial Resisten Sangat Nyata, Harus Menjadi Atensi

15 Januari 2024   05:53 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:19 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini dunia sedang dihadapkan pada persoalan Antimicrobial Resistance (AMR) atau kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, fungi dan parasit menjadi resisten atau kebal terhadap pengobatan antimikroba (antibiotik, antivirus, antifungal dan antiparasit).

Padahal, obat ini awalnya sangat efektif untuk mengobati atau membunuh mikroorganisme tersebut. Dengan kata lain, antimikroba yang sebelumnya dapat mengatasi infeksi mikroba, saat ini justru menjadi tidak efektif atau berkurang efikasinya.

Penyebabnya beragam, di antaranya adalah penggunaan antimikroba yang berlebihan dalam pengobatan manusia dan hewan, penyebaran antimikroba ke lingkungan melalui limbah, serta kurangnya pengawasan dan penegakan regulasi dalam penggunaan antimikroba. 

Selain itu, faktor-faktor seperti kurangnya kebersihan lingkungan yang menyebabkan pertumbuhan mikroba patogen, akses air bersih yang sulit dan penyebaran infeksi yang tidak terkendali serta konsumsi antimikroba (terutama antibiotik) tanpa resep juga dapat berkontribusi pada AMR.

Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia), AMR bukan hanya berkaitan dengan kesehatan manusia saja, tetapi juga mengakibatkan dampak buruk pada kesehatan hewan. Sebagai contoh, beberapa mikroorganisme patogen telah mengalami resistensi. 

Escherichia coli yang dapat menginfeksi hewan dan manusia, ternyata telah mengalami resistensi dengan derajat yang bervariasi terhadap antibiotik ciprofloxacin, fluoroquinolone, carbapenem, dan chepalosporin generasi tiga.

Sementara itu, Mycobacterium tuberculosis penyebab penyakit Tubercolosis (TB) dilaporkan juga telah mengalami resistensi terhadap rifampicin. 

Kemudian Retrovirus (misalnya penyebab HIV) juga dilaporkan mengalami resistensi terhadap antiretroviral dan Parasit Plasmodium falciparum (penyebab malaria pada manusia) juga mengalami resistensi terhadap artemisinin (antimalaria).

Selanjutnya, ada juga fungi Candida auris yang mengalami resistensi terhadap beberapa antifungal seperti fluconazole, amphotericin B, voriconazole, dan caspofungin.

Jika antimikrobanya saja sudah tidak ampuh, sementara pengganti antimikrobanya masih belum ada, maka disanalah letak kekhawatiran itu. Inilah ancaman itu dan ini telah terjadi. 

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, pada seminar bertajuk "Bersama Cegah Silent Pandemic Resistansi Antimikroba" di Jakarta, pada Senin (20/11/2023) beberapa waktu yang lalu, pernah memaparkan bahwa angka kematian akibat resistansi mikroba mencapai 2,5 juta orang per tahun di seluruh dunia dan resistansi mikroba menjadi ancaman serius karena berpotensi menjadi pandemi tersembunyi (Silent Pandemi) dan lebih membahayakan dibandingkan dengan Covid-19.

Bijak dalam Mengonsumsi Obat (Antimikroba)

Uniknya, penggunaan antimikroba, sebut saja antibiotik justru semakin jamak dilakukan tengah masyarakat kita. Buktinya, ketika kita berobat di fasilitas kesehatan (faskes), kita kerap disuguhkan dengan obat yang namanya antibiotik. 

Seperti beberapa saat yang lalu, ketika anak saya sunat (khitan), ia dikhitan menggunakan metode modern. Alhamdulillah, khitannya berjalan sangat baik, minim pendarahan, minim penyayatan (menurut saya sayatannya kategori minor), dalam kondisi ruangan yang bersih/steril dan dilakukan dengan Lege Artis (sesuai aturan yang saya pahami). Namun, pasca tindakan, kami diberikan obat antibiotik.

Jujur saja, meski saya tetap terima obat itu dengan baik, namun sampai di rumah, antibiotik itu tidak saya berikan kepada sang anak. Pasalnya, bagi saya, dengan kondisi sunat yang "perfect" seperti itu, rasanya terlalu berlebihan jika diberikan antibiotik. Menurut saya, cukup dengan obat lain (obat salep atau penghilang rasa nyeri saja), tanpa harus mengonsumsi antimikroba. 

Bersyukur, anak saya pun kini sudah sembuh dari sunatnya dan tidak ada infeksi. Alhamdulillah. Artinya, penggunaan antimikroba sejatinya harus menjadi atensi bagi setiap individu kita, bukan hanya bagi petugas di fasilitas kesehatan. 

Kondisi lain yang kerap kita temui adalah ketika kita sedang flu. Di beberapa faskes, kita sering disuguhkan dengan resep antibiotik. Padahal, flu walaupun disertai radang, menurut saya juga tidak perlu antibiotik. Terlebih, penyebab flu biasanya adalah virus, dengan menjaga imun (kekebalan tubuh) dan istirahat yang cukup, tanpa obat pun bisa sembuh.

Menyikapi persoalan ini, pemerintah sejatinya juga sudah tegas. Untuk mendukung penggunaan antibiotik secara tepat dan optimal, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. 

Peraturan ini merupakan revisi dari Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB) yang dikeluarkan beberapa tahun sebelumnya.

Oleh sebab itu, mari kita tingkatkan kesadaran pribadi kita tentang penggunaan antimikroba. Jangan ragu, untuk bertanya ketika kita disuguhkan obat di setiap fasilitas kesehatan. 

Termasuk, sebagai dokter, saya juga berkomitmen untuk mencegah AMR. Di antaranya adalah saya tidak akan memberikan antibiotik tatkala saya tahu bahwa hewan ternak yang saya obati akan dikonsumsi masyarakat (dalam waktu tertentu). 

Misalnya, pada hewan kurban. Karena jika saya berikan antibiotik, ini artinya saya memasukkan antibiotik ke dalam daging yang kelak akan dimakan oleh manusia dan ini sama saja dengan masyarakat mengonsumsi antibiotik padahal dirinya tidak sedang sakit. Sebuah ancaman yang tidak boleh dianggap main-main.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun