Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Dokter - Pejabat Otoritas Veteriner

Seorang Dokter Hewan | Diidentifikasi oleh Google sebagai Pengarang | Pejabat Eselon III di Pemda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sistem Kesehatan Hewan Nasional Riwayatmu Kini

14 Juli 2023   08:55 Diperbarui: 20 Juli 2023   04:30 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang Tenaga Kesehatan Hewan sedang mengawasi hewan ternak (Dokumentasi pribadi)

Sejak munculnya kasus Penyakit African Swine Fever (ASF) pada hewan Babi untuk pertama kalinya di Indonesia pada Bulan Desember tahun 2019 di Sumatera Utara, sejatinya ada yang perlu dibenahi dalam sistem Kesehatan Hewan Nasional (siskeswannas) kita.

Pasalnya, ASF merupakan penyakit lama dan Indonesia berhasil bebas. Penyakit ASF mulai dilaporkan terjadi di Afrika bagian selatan kisaran tahun 1900-1905 yang selanjutnya menyebar ke Afrika bagian tengah dan utara, terutama negara-negara di sub-sahara. 

Pada tahun 1957, ASF dilaporkan terjadi di Eropa bagian barat, tepatnya di Portugal yang selanjutnya menyebar ke timur ke Eropa tengah hingga menyebar ke Rusia pada tahun 2008. Sementara di daratan Asia, ASF pertama kali terdeteksi di Negara Tiongkok pada Tahun 2018.

Namun, dalam perjalanannya, pemerintah Indonesia telah melakukan beragam upaya guna mencegah penularan ASF agar tidak menular di setiap provinsi potensial peternakan babi di Indonesia. 

Meski pada akhirnya, Provinsi Kepri yang awalnya adalah daerah bebas ASF, pada Desember 2021 telah tertular ASF di kota Batam. Bahkan, peternakan babi terpadu di Pulau Bulan, yang awalnya juga merupakan kawasan peternakan bebas ASF, pada April 2023 yang lalu juga dinyatakan tertular ASF.

Artinya, saat ini ASF telah menjadi momok bagi peternak babi di Indonesia. Meski bukan zoonosis (tidak menular dari hewan ke manusia), tetapi dampak akibat ASF dapat mengakibatkan kematian yang tinggi pada hewan babi dan berpotensi mempengaruhi perekonomian peternak.

Selanjutnya, belum usai kasus ASF, kita kemudian dikejutkan dengan adanya temuan kasus penyakit yang juga baru pertama kali masuk di Indonesia. Yakni penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) atau penyakit kulit berbenjol atau dikenal juga dengan penyakit Lato-lato.

Penyakit ini pertama kali terdeteksi di Indonesia pertama kali pada 17 Februari 2022 di Provinsi Riau. Hal ini setelah Gubernur Riau menerbitkan surat laporan status provinsi Riau terhadap kasus LSD dengan nomor surat: 524/Disnakkeswan/523 tanggal 17 Februari 2022 dan dilanjutkan melalui rekomendasi Pejabat Otoritas Veteriner Nasional dengan Nomor surat: 17004/PK.320/F4/02/2022 tanghal 17 Februari 2022.

Kemudian, ketetapan Indonesia telah tertular LSD ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 242 tahun 2022 tanggal 2 Maret 2022.

Setelah Riau, kemudian kasus LSD menyebar ke seluruh Indonesia dan di pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah, kasus LSD pertama kali terkonfirmasi di Jawa Tengah di Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal pada 15 Agustus 2022 dan terkonfirmasi pada 18 Agustus 2022 melalui Laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates.

Hingga kini, kasus LSD juga telah menyebar dihampir seluruh wilayah di Indonesia. Penyakit ini juga menjadi momok bagi peternak, khususnya ternak sapi. Padahal, penyakit LSD juga merupakan penyakit lama. LSD pertama kali ditemukan di Zambia, Afrika pada tahun 1929 dan Indonesia juga sebelumnya merupakan negara bebas LSD.

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Kembali Muncul

Belum selesai kasus ASF dan LSD di Indonesia, muncul kembali penyakit "legendaris" yang secara teknis sulit untuk diberantas. Penyakit itu adalah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). 

Dalam sejarahnya, PMK pernah mengjangkiti ternak di Indonesia, dan butuh waktu kurang lebih 100 tahun dalam pemberantasannya.

Artinya, Sejak tahun 1986 Indonesia telah dinyatakan bebas dari penyakit PMK dan telah diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) sebagai negara bebas penyakit PMK pada tahun 1990. Kini, setelah 32 tahun bebas, pada 2022, tepatnya pada 9 Mei 2022, Indonesia kembali dinyatakan sebagai daerah tertular PMK. 

Hal ini Sesuai dengan penetapan wabah PMK di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 403/KPTS/PK.300/M/05/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease) pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Timur tanggal 09 Mei 2022 dan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 404/KPTS/PK.300/M/05/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease) di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh tanggal 09 Mei 2022.

Munculnya kembali PMK di Indonesia juga semakin menambah daftar panjang kerugian peternak. Terlebih, hampir sepanjang satu tahun, lalu lintas dan perdagangan hewan ternak (terutama ternak rentan PMK) dilakukan pembatasan dan penutupan. Sebuah kondisi yang tentu saja membuat kita prihatin. 

Persoalan ekonomi pasca pandemi Covid-19 belum pulih seutuhnya, justru peternak kemudian dihantam oleh beragam persoalan penyakit hewan.

Selanjutnya, meski persoalan PMK kasusnya saat ini sedang melandai, namun PMK di Indonesia sejatinya belum usai. Kewaspadaan wajib dilakukan. Terutama bagi daerah zona hijau atau daerah bebas PMK.

Sementara itu, belum usai kasus PMK, kembali muncul kasus Flu Burung Clade Baru pada unggas yang juga tengah menjadi ancaman. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Nomor: 16183/PK.320/F/01/2023 tanggal 16 Januari 2023, perlu upaya peningkatan kewaspadaan dalam monitoring virus Influenza.

Penyebabnya, karena Adanya kenaikan wabah HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) subtipe H5N1 clade 2.3.4.4.b dan clade 2.3.2.1 c di dunia dan telah teridentifikasi positif virus H5N1 clade 2.3.4.4 b melalui uji PCR dan sekuensing di peternakan komersial bebek peking yang tidak divaksin di Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Mei 2022.

Mengulas tentang flu burung, Indonesia sejatinya juga belum berhasil mengatasi flu burung. Terbukti, sejak diumumkan Indonesia tertular flu burung pada unggas tahun 2004, hingga kini, kita belum dinyatakan sebagai negara bebas flu burung. Bahkan, kasusnya secara sporadis selalu muncul di beberapa wilayah.

Di samping itu, tatkala kasus flu burung belum usai, persoalan lainnya yang juga menyita perhatian masyarakat adalah merebaknya kembali kasus rabies dan antraks di beberapa wilayah.

Kasus rabies, antraks dan juga kasus penyakit hewan lainnya seakan menunjukkan tentang masih perlunya penguatan Sistem Kesehatan Hewan Nasional di negeri kita. 

Kasus penyakit hewan, tidak boleh lagi dianggap pilihan. Setiap pemda harus memiliki semangat yang sama. Tidak seperti sekarang, urusan kesehatan hewan, Boleh ditangani oleh Pemda, boleh juga tidak. Dampaknya, cepat atau lambat, kita khawatir seluruh penyakit hewan yang ada didunia kelak juga akan ada di Indonesia.

Solusi Penguatan Kesehatan Hewan

Salah satu caranya adalah dengan mendorong pemerintah atau DPR untuk merevisi UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya mengubah urusan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) yang awalnya urusan pilihan, menjadi urusan wajib bagi pemda.

Semoga bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun