Persoalan yang paling mendasar dalam penanganan penyakit asal hewan di Indonesia, khususnya bagi pemerintahan daerah saat ini adalah urusan kewenangan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada pasal 12, ayat 3 bahwa, Pertanian yang di dalamnya termasuk urusan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) masuk dalam urusan pilihan bagi Pemda.
Sementara itu, Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah. Jika sebuah daerah tidak berpotensi pertanian, maka sangat mungkin untuk tidak memasukkan urusan pilihan ini dalam pemerintahannya.
Padahal, seharusnya, urusan kesehatan hewan masuk dalam urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Bukan hanya urusan pilihan.
Akibatnya, setidaknya terdapat lima dampak sebagai efek dari kekeliruan kebijakan ini.Â
Pertama, pemda tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan urusan kesehatan hewan dan Kesmavet. Sehingga, tatkala ada persoalan penyakit asal hewan dan zoonosis, sering terjadi keterlambatan penanganan dan tidak tuntas.
Kedua, dengan tidak semua pemda melaksanakan urusan keswan dan kesmavet, maka keberadaan tenaga kesehatan hewan, seperti dokter hewan dan paramedik veteriner juga tidak merata. Bahkan, banyak kabupaten/kota yang tidak memiliki dokter hewan berwenang di daerahnya. Kalaupun ada, jumlah dokter hewannya juga sangat minim dan tidak sesuai dengan kapasitas idealnya.
Ketiga, tatkala urusannya pilihan, pemda juga tidak memiliki kewajiban untuk menganggarkan pendanaan. Artinya, dana untuk penanganan persoalan kesehatan hewan di daerah juga sangat minim.
Bagaimana mungkin menghadapi persoalan penyakit tetapi tidak didukung oleh pendanaan yang memadai? Disatu sisi, pada sektor urusan kesehatan, persoalan kesehatan tidak memasukkan urusan keswan dan kesmavet sebagai bagian dari urusan kesehatan. Pasalnya, urusan keswan kesmavet masuk dalam lingkup Kementerian Pertanian, bukan kementerian Kesehatan.