Kedua, Tenaga Kesehatan Hewan tidak merata. Sebagai imbas dari tidak dijadikannya Keswan sebagai urusan wajib, maka dampak lainnya adalah tidak meratanya keberadaan tenaga kesehatan hewan di daerah. Bahkan, masih banyak daerah yang tidak memiliki dokter hewan berwenang.
Sedangkan di satu sisi, saat ini hewan telah banyak menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Terbukti, petshop atau toko hewan semakin menjamur dimana-mana. Maknanya, interaksi kasus penyakit pada hewan yang menular ke manusia juga semakin tinggi.
Ketiga, anggaran kesehatan hewan kerap dikucurkan setelah ada kasus. Layaknya pemadam kebakaran, persoalan keswan kerap dinilai hanya akan diperhatikan tatkala ada kasus saja. Seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), kemunculannya kemudian menuntut pemerintah untuk membentuk satgas dan mengucurkan banyak anggaran dalam penanganannya.Â
Dapat diartikan, Perencanaan penganggaran untuk pencegahan penyakit hewan, masih sangat minim. Terlebih, SDM kesehatan hewan dan regulasi pemda yang tidak sebagai urusan wajib, semakin memperparah persoalan. Padahal, upaya pencegahan merupakan upaya penting. Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Keempat, payung hukum (regulasi) tentang persoalan hewan dan kesehatan hewan masih belum optimal. Kalaupun ada, beberapa aturan hukumnya masih menginduk pada aturan hukum yang sudah lama. Seperti Hondsdolheids Ordonantie, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 451 yo Stbl. 1926 Nomor 452 yang hingga kini masih menjadi pedoman dalam penanggulangan penyakit, khususnya Rabies.
Selain itu, Indonesia juga belum memiliki regulasi yang mengatur tentang Sistem Kesehatan Hewan Nasional. Bahkan, urusan kesehatan hewan dan atau urusan kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggungjawab secara nasional terhadap kesehatan hewan, hanya ditempatkan setara dengan eselon II, di bawah Kementerian Pertanian.
Sementara, Pencegahan dan pengendalian rabies pada manusia dan masyarakat menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, sedangkan pengendalian dan penanggulangan rabies pada hewan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, khususnya subdit eselon II tersebut. Sebuah kondisi yang tentu tidak berimbang jika ditinjau dari sudut eselonisasi.Â
Kedepan, perlu kita dorong pembentukan Ditjen Kesehatan Hewan tersendiri di bawah Kementerian Pertanian. Mengingat rabies sejatinya juga bukan hewan komoditas peternakan. Sehingga rasanya tidak terlalu relevan jika di bawah kewenangan Ditjen Peternakan.
Kelima, perlu kesadaran bersama bahwa Kesehatan hewan merupakan urusan yang sama pentingnya jika ingin mewujudkan kesehatan masyarakat. Konsep ini dikenal dengan konsep One Health (satu kesehatan). Apalagi, kesehatan hewan ditataran kampus juga masuk rumpun ilmu kesehatan, bukan rumpun ilmu hayat pertanian seperti dalam lingkup kerjanya selama ini.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H