Sebagaimana penyakit yang ditularkan oleh kuman jahat (virus yang virulen), ASF memiliki tingkat kefatalan yang sangat tinggi. Bahkan, gejala klinis yang muncul pun saat ini sering tidak selalu sama antar satu peternakan dengan peternakan lainnya. Namun, secara umum gejala klinisnya adalah Babi mengalami demam (41-42 C), Lesu, leleran mata atau hidung, diare, bercak merah pada kulit atau ptekie, beberapa kasus ditemukan abortus atau keguguran dan kematian babi sangat tinggi.
Penularan ASF
Terdapat dua cara penularan penyakit ini, yakni :
Pertama, Penularan langsung: kontak langsung dengan babi tertular ASF. Hewan sehat tertular dari hewan yang sakit.
Kedua, Penularan tidak langsung, melalui Pakan sisa (Swill) seperti pemberian pakan babi dari sisa-sisa makanan di hotel, lalu lintas Orang (peternak, pedagang, dokter hewan, paramedis, anak kandang, dll) juga melalui Fomites (obyek atau material yang dapat membawa agen penyakit, antara lain: pakaian, sepatu atau sandal, peralatan, kendaraan) dan juga dapat ditularkan melalui Caplak Ornithodorus Sp. (merupakan vector biologis, namun caplak ini belum pernah ditemukan di Indonesia).
Upaya Pencegahan Penyakit ASF
Mengingat penyakit ini belum ada obat dan vaksinnya yang efektif, maka Biosekuriti adalah satu-satunya cara untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ASF.
Adapun Prinsip Biosekuriti diantaranya adalah Pisahkan dari orang, barang/ benda, hewan (OBH) yang berisiko terkontaminasi virus ASF, kemudian Desinfeksi kandang, orang dan barang. Saat melakukan desinfeksi, petugas harus menggunakan APD lengkap. Adapun Prosedur desinfeksi ada empat tahap, yakni:
Pertama, Pisahkan barang-barang yang bisa dipindahkan dan bersihkan secara terpisah.
Kedua, Bersihkan dari kotoran dan kontaminasi yang terlihat dengan cara menyapu (pembersihan kering)Â Â
Ketiga, Bersihkan dengan sabun dan deterjen dan kemudian dibilas sampai bersih (pembersihan basah)
Keempat, Desinfeksi dengan bahan kimia dengan waktu kontak paling tidak 30 menit.
Semoga bermanfaat!