Belum usai kasus penyakit African Swine Fever (ASF) pada hewan ternak Babi, kemudian muncul Kasus Lumpy Skin Disease (LSD) pada hewan ternak sapi, lalu merebak kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), kini muncul kembali kasus Flu Burung dengan clade baru.
Munculnya penyakit hewan yang sebelumnya tidak ditemukan di Indonesia itu tentu membuat kita prihatin. Apalagi, kita juga sejatinya masih dibayang-banyangi pandemi Covid-19 yang juga belum usai.
Sebagai bagian dari tenaga kesehatan hewan, saya merasakan betul bagaimana kolega saya di berbagai daerah tertular, menghadapi persoalan ini dengan penuh dedikasi yang tinggi.
Ketika ASF pertama kali menyerang Indonesia dan diumumkan secara resmi pada bulan Desember 2019 di Provinsi Sumatera Utara. Seluruh kolega dokter hewan di Sumatera Utara dan Pemerintah pusat, melalui Balai Veteriner Medan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan berjibaku untuk mengatasinya. Tercatat, saat itu lebih dari 47.143 ekor hewan Babi yang mati terkena penyakit ini. Bahkan, penularan penyakit ASF hingga kini telah meluas di hampir seluruh Indonesia.
Setelah ASF menyerang, penyakit LSD atau sering disebut penyakit kulit berbenjol juga menyerang. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada Februari 2022, tepatnya di Provinsi Riau. LSD sendiri semula dianggap sebagai penyakit Afrika karena hanya ditemukan di benua tersebut sejak 1929. Atas kejadian ini, kolega dokter hewan bersama paramedik veteriner dan tim kesehatan hewan juga berjibaku untuk menanganinya. Bahkan tidak sedikit mereka yang pulang larut untuk mengobati penyakit yang terus menyebar.
Kasus ini pun belum menemui titik akhir. Pada akhir tahun 2022, berdasarkan data pada Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (ISIKHNAS), telah ditemukan sebanyak 11.474 kasus LSD di enam provinsi di Indonesia.
Bagi hewan ternak yang tertular, penyakit ini mengakibatkan produktifitas ternak menurun dan dagingnya pun menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Sebuah kondisi yang tentu saja membuat terganggunya sistem peternakan nasional. Ibarat sebuah badai, dampak badai Covid-19 belum reda, badai LSD menerjang dan membuat prihatin peternak kita.
Sementara itu, kasus LSD belum usai, per tanggal 28 April 2022, dunia kesehatan hewan Indonesia kembali dibuat nestapa. Saat itu, muncul penyakit yang sebenarnya sudah tidak ada lagi di Indonesia. Yakni Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang terdeteksi di Kabupaten Gresik- Jawa Timur dan telah menyebar kewilayah lainnya.Â
Sebagai bentuk kesiapsiagaan, pada tanggal 05 Mei 2022 Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur mendeklarasikan adanya wabah PMK di Jawa Timur, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan wabah PMK oleh pihak Provinsi Jawa Timur pada tanggal 06 Mei 2022. Selanjutnya pada 9 Mei 2022 Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menetapkan wabah PMK pada dua daerah provinsi, jaitu Jawa Timur dan Aceh.
Munculnya kembali kasus PMK di Indonesia, oleh beberapa pihak dinilai sebagai indikasi masih lemahnya sistem kesehatan hewan nasional. Hingga jumat, 3 Maret 2023, kasus kesakitan PMK mencapai 604.322 ekor dan menyebabkan kematian pada hewan mencapai 11.350 ekor.
Flu Burung Clade Baru
Kini, di tengah beragam ancaman penyakit hewan yang belum usai, kesehatan hewan Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman flu burung (Avian influenza) clade baru. Penyakit ini merupakan penyakit yang diakibatkan oleh Virus Influenza A (H5N1) clade baru 2.3.4.4b. Bahkan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyatakan bahwa saat ini di Amerika, Eropa, dan Asia terutama di China dan Jepang sedang mewabah HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) subtipe H5N1 clade baru 2.3.4.4b. Â
Sementara itu, Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) memperingatkan bahwa akuisisi mutasi yang cepat dan konsisten pada mamalia dapat menjadi petunjuk bahwa virus ini memiliki kecenderungan untuk menjadi infeksi zoonosis, yang berarti berpotensi menyebar ke manusia. Inilah titik kritisnya. Flu burung bukan hanya menyerang pada hewan, tetapi juga dapat menularkan ke manusia (zoonosis). Sehingga, wajar jika seluruh pemangku, baik sektor kesehatan maupun kesehatan hewan dan lingkungan harus bersatu dalam pengendalian flu burung.
Meski Flu burung sejatinya juga bukan penyakit baru. Di Indonesia, flu burung ditemukan pada akhir tahun 2003. Kasusnya sudah hampir 20 tahun di Indonesia. Bahkan, telah meluas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan dalam empat tahun pertama, penyakit ini mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian pada unggas. Sedangkan menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus flu burung pada manusia di Indonesia berjumlah 200 dengan kematian sebanyak 168 orang.
Untuk Flu burung clade baru, di Indonesia sendiri juga telah teridentifikasi positif virus H5N1 clade 2.3.4.4b melalui uji PCR dan sekuencing di peternakan komersial bebek peking yang tidak divaksin di Provinsi Kalimantan Selatan. Artinya, potensi penularan flu burung yang lebih meluas, patut kita waspadai.
Kesehatan Hewan Bukan Urusan Wajib Bagi Pemerintahan Daerah
Terlepas dari beragam upaya dalam pengendalian penyakit hewan dan maraknya penyakit hewan yang merebak di Indonesia, nyatanya urusan kesehatan hewan bukan menjadi urusan wajib bagi Pemerintahan daerah (Pemda). Mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan penjaminan kesehatan hewan merupakan sub-urusan pertanian, akibatnya urusan kesehatan hewan menjadi urusan pertanian dan penyelenggaraannya pun bersifat pilihan. Pemda boleh memilih, boleh tidak.
Dampaknya, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengurusi fungsi kesehatan hewan digabungkan dengan urusan-urusan pilihan lainnya. Fokus penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner menjadi sangat lemah bahkan tidak menjadi prioritas daerah. Padahal, untuk menjamin kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat diperlukan upaya surveilans dan pemetaan, penyidikan dan peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan berbagai penyakit dan non-penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan hewan, masyarakat, dan lingkungan secara berkelanjutan.
Terbukti, tidak semua daerah menyelenggarakan urusan kesehatan hewan. Termasuk, tidak semua daerah juga memiliki dokter hewan dan pejabat otoritas veteriner. Tatkala menghadapi persoalan penyakit hewan, tentu saja tidak semua pemda memiliki komitmen yang sama.
Dengan demikian, sudah saatnya kita dorong pemerintah untuk merevisi aturan pembagian urusan pemerintahan. Urusan kesehatan hewan harusnya menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah. Apalagi, ditataran kampus, sejak tahun 2017, kedokteran hewan merupakan rumpun ilmu kesehatan. Satu rumpun dengan kedokteran, kedokteran gigi, apoteker, keperawatan, kebidanan dan rumpun ilmu kesehatan lainnya, tidak lagi rumpun ilmu pertanian peternakan, sebagaimana orang mengenalnya selama ini.
Semoga persoalan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Terlebih, masih banyak ancaman penyakit hewan menular berbahaya lainnya. Seperti ebola, hendra virus, flu unta, nipah virus dan lain sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H