Flu Burung Clade Baru
Kini, di tengah beragam ancaman penyakit hewan yang belum usai, kesehatan hewan Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman flu burung (Avian influenza) clade baru. Penyakit ini merupakan penyakit yang diakibatkan oleh Virus Influenza A (H5N1) clade baru 2.3.4.4b. Bahkan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyatakan bahwa saat ini di Amerika, Eropa, dan Asia terutama di China dan Jepang sedang mewabah HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) subtipe H5N1 clade baru 2.3.4.4b. Â
Sementara itu, Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) memperingatkan bahwa akuisisi mutasi yang cepat dan konsisten pada mamalia dapat menjadi petunjuk bahwa virus ini memiliki kecenderungan untuk menjadi infeksi zoonosis, yang berarti berpotensi menyebar ke manusia. Inilah titik kritisnya. Flu burung bukan hanya menyerang pada hewan, tetapi juga dapat menularkan ke manusia (zoonosis). Sehingga, wajar jika seluruh pemangku, baik sektor kesehatan maupun kesehatan hewan dan lingkungan harus bersatu dalam pengendalian flu burung.
Meski Flu burung sejatinya juga bukan penyakit baru. Di Indonesia, flu burung ditemukan pada akhir tahun 2003. Kasusnya sudah hampir 20 tahun di Indonesia. Bahkan, telah meluas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan dalam empat tahun pertama, penyakit ini mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian pada unggas. Sedangkan menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus flu burung pada manusia di Indonesia berjumlah 200 dengan kematian sebanyak 168 orang.
Untuk Flu burung clade baru, di Indonesia sendiri juga telah teridentifikasi positif virus H5N1 clade 2.3.4.4b melalui uji PCR dan sekuencing di peternakan komersial bebek peking yang tidak divaksin di Provinsi Kalimantan Selatan. Artinya, potensi penularan flu burung yang lebih meluas, patut kita waspadai.
Kesehatan Hewan Bukan Urusan Wajib Bagi Pemerintahan Daerah
Terlepas dari beragam upaya dalam pengendalian penyakit hewan dan maraknya penyakit hewan yang merebak di Indonesia, nyatanya urusan kesehatan hewan bukan menjadi urusan wajib bagi Pemerintahan daerah (Pemda). Mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan penjaminan kesehatan hewan merupakan sub-urusan pertanian, akibatnya urusan kesehatan hewan menjadi urusan pertanian dan penyelenggaraannya pun bersifat pilihan. Pemda boleh memilih, boleh tidak.
Dampaknya, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengurusi fungsi kesehatan hewan digabungkan dengan urusan-urusan pilihan lainnya. Fokus penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner menjadi sangat lemah bahkan tidak menjadi prioritas daerah. Padahal, untuk menjamin kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat diperlukan upaya surveilans dan pemetaan, penyidikan dan peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan berbagai penyakit dan non-penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan hewan, masyarakat, dan lingkungan secara berkelanjutan.
Terbukti, tidak semua daerah menyelenggarakan urusan kesehatan hewan. Termasuk, tidak semua daerah juga memiliki dokter hewan dan pejabat otoritas veteriner. Tatkala menghadapi persoalan penyakit hewan, tentu saja tidak semua pemda memiliki komitmen yang sama.
Dengan demikian, sudah saatnya kita dorong pemerintah untuk merevisi aturan pembagian urusan pemerintahan. Urusan kesehatan hewan harusnya menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah. Apalagi, ditataran kampus, sejak tahun 2017, kedokteran hewan merupakan rumpun ilmu kesehatan. Satu rumpun dengan kedokteran, kedokteran gigi, apoteker, keperawatan, kebidanan dan rumpun ilmu kesehatan lainnya, tidak lagi rumpun ilmu pertanian peternakan, sebagaimana orang mengenalnya selama ini.
Semoga persoalan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Terlebih, masih banyak ancaman penyakit hewan menular berbahaya lainnya. Seperti ebola, hendra virus, flu unta, nipah virus dan lain sebagainya.