Harapan pemerintah untuk membuat aturan yang lebih sederhana dalam satu Undang-Undang (omnibus law), sejatinya patut kita apresiasi. Termasuk, undang-undang yang mengatur tentang Cipta Kerja. Terlepas dari persoalan pro kontra. Â Nyatanya, negara ini memang sudah kadung terlalu banyak aturan. Sehingga, agar urusan lebih mudah, persoalan perundang-undangan ini memang harus disederhanakan.
Akan tetapi, ada persoalan yang justru kontra produktif dari semangat penyederhanaan. Salah satunya adalah persoalan tentang Izin praktik dokter hewan.Â
Layaknya sebagai seorang dokter, dokter hewan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sejatinya juga wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Dalam aturan Undang-undang yang lama, (sebelum disederhanakan dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja), yakni dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan sebagaimana telah di revisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014, pada pasal 72 ayat (1), Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memiliki Surat izin Praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota.Â
Sementara itu, penerbitan SIP Dokter Hewan yang diterbitkan oleh Bupati/walikota, selama ini tidak mensyaratkan kewajiban memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Hal ini sangat wajar, karena dokter hewan yang menjalankan praktik, belum tentu sebagai pemilik usaha. Bahkan, banyak dokter hewan yang hanya pekerja, mereka menjalankan layanan jasa profesinya dengan bekerja di perusahaan atau klinik hewan yang pemiliknya bukan seorang dokter hewan.Â
Akan tetapi, terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ternyata menambah persoalan baru bagi dokter hewan. Â Klausul pada pasal 72 ayat (1) diubah menjadi Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.Â
Dampaknya, persyaratan perizinan berusaha mensyaratkan wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), artinya dokter hewan dianggap tidak berbeda dengan pengusaha seperti petani, peternak atau pelaku usaha lainnya yang menjalankan usahanya di rumpun pertanian.Â
Oleh sebab itu, tidak salah jika dokter hewan melalui PB PDHI (Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) pada 2022 yang lalu, menggugat ke Mahmakah Konstitusi (MK). Organisasi ini menilai, pasal tentang kewajiban perizinan berusaha sebaiknya dihapus. Izin praktik dokter hewan disamakan saja dengan pelayanan perizinan pada tenaga kesehatan atau profesi lainnya.Â
Alasannya, bagaimana mungkin, sebuah profesi kedokteran, ketika akan menjalankan jasa praktik kedokterannya, diwajibkan memiliki NIB. Celakanya, salah satu syarat membuat NIB adalah pemohon wajib mencantumkan besaran modal, sehingga namanya sebuah usaha, bukan tidak mungkin, nanti akan ada kategori dokter hewan skala mikro, dokter hewan skala kecil, menengah dan seterusnya. Karena dokter hewan dinilai sebagai unit usaha.Â
Selanjutnya, menilik dari keputusan MK, Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Ciptaker mengenai perubahan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH) yang diajukan oleh PB PDHI dan beberapa pemohon dinyatakan ditolak. Penyebabnya, karena UU tersebut telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021.Â
Oleh sebab itu, mengacu pada hasil keputusan MK, sejatinya dokter hewan se Indonesia mengharapkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akan menjawab keresahan yang dialaminya. Namun ternyata, Perpu yang ditandatangani presiden Jokowi tanggal 30 Desember 2022 itu, justru tidak mengubah apapun. Â Pasal yang telah di ajukan ke MK, sama sekali tidak dilakukan perubahan.Â