"Sampeyan gak dengar tah, Mbak? Kemarin itu, dokter Gani ngigau lho, terus raut mukanya itu senyum gitu, Mbak. Mau tak rekam terus tak share ke grup perawat ICU, tapi gak enak aku."
"Eeee.. iyo tah? Waah, dokter Gani wis jatuh cinta tah? Ayo, dok. Aku juga tak sabar dengerin cerita itu."
Serangan dua arah dari Mas Aldi dan Mbak Tita di pagi itu turut membuatku bingung apakah aku harus mulai cerita atau tidak. Tentunya, jika aku cerita sepenuhnya, pasti akan jadi cerita yang sangat ambyar.
Aku tidak mau pagi yang cerah ini harus dimulai dengan kisah sedih. Aku tidak mau bertanggung jawab jika cerita itu akan berakhir menjadi kelabu. Sebuah warna yang sangat berlawanan dengan sinar mentari yang mulai menembus jendela ruangan ICU itu.
Aku hanya bisa menjawab
"Kalo aku ceritain, pastinya akan panjang. Aku tak mau bertanggung jawab atas risiko yang terjadi ke depannya. Bisa terjadi infeksi pada kenangan, perdarahan yang menyamar dalam bentuk air mata, atau komplikasi lainnya."
Setelah itu, aku melihat raut muka mereka yang sedikit berubah. Setidaknya, sebuah rahasia bisa aku simpan di detik ini. Namun, tidak memungkinkan jika itu bisa terbongkar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, satu orang yang mulutnya gampang bocor kayak Raka. Atau, orang yang jago dalam jurnalistik cabang investigasi.
Ah, aku jadi teringat kata Nina dulu saat koass di stase IPD.
"Hidupnya Gani itu kok ga menarik banget. Bosen banget, mendem mulu di rumah, ga pernah keluar-keluar. Hanya sibuk dengan pikiran introvertnya, tok. Gak asik ah, kamu."
OoOoOoOoOoO
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.50 pagi. Tanpa terasa, aku sudah cukup lama mempertahankan kerahasiaan mimpiku tadi di depan Mas Aldi. Mbak Tita hanya tertawa saja melihat kami berdua. Aku bahkan sudah mengeluarkan berbagai argumen supaya Mas Aldi bisa mengerti.