Aku menuliskan kata-kata ini
Di kertas warna coklat hasil pinjaman warung kopi
Tempatku bersinggah untuk bertahan dari kepungan pesan.
Memintaku ini dan itu, sudah lelah kepalaku.
Berdenyut-denyut bersama dengan detak jantungmu.
Manusia jalang perindu cinta.
Cerita yang sudah usang bagi setiap insan.
Di warung kopi ini, kamu pernah bertanya padaku.
Kala itu, aku lagi mabuk membayangkan hasrat yang menari.
Bersama satu cangkir kudapan favoritmu.
Dengan burung kenari yang bersanggah di bahumu.
Pengaruhi alam bawah sadar aku yang lemah.
Aku yang kala itu masih polos dan tidak tahu apa-apa.
Indraku masih belum matang.
Kedewasaan pun masih sedang berkembang
Aku pun bingung menentukan kata untuk menjawab.
Aku menuliskan kata-kata ini.
Untukmu yang masih mengalir di rangkaian pikiran.
Entah kenapa, sejak dua cangkir itu,
Arus itu tak pernah berhenti berputar ke dua arah.
Tanpa resistensi atau impedansi.
Konslet pikiran, semua jadi wanprestasi.
Sebuah rencana matang yang menghilang perlahan
Tersapu ombak bayangan dirimu yang berlalu lalang
Aku menuliskan kata-kata ini.
Hanya untuk memintamu menjauh dari hidupku
Pelan-pelan, sampai akhirnya, selamanya.
Biarkan aku sendiri sekarang ini
Hingga, waktu yang akan menjawab pertanyaanmu.
Tentang satu cangkir dan cincin itu.
Gresik, 22 Juli 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H