Contoh simpelnya, kasus Dokter Ayu spesialis kebidanan dan kandungan yang sempat mencuat. Media dan hukum yang terkadang sok tahu dan sembarangan pun bisa saja memberikan catatan hitam kepada Dokter Ayu tersebut, atau kepada dokter-dokter lainnya. Meskipun, sebenarnya secara prosedur pun tidak ada kesalahan yang dilakukan. Namun, apapun bisa terjadi walaupun sudah berusaha maksimal.
Untuk menyesuaikan tanggung jawab kita terhadap semua kasus yang ditawarkan, tentu saja tugas yang harus dilakukan anda sebagai dokter itu adalah belajar, belajar dan belajar. Menjadi seorang dokter berarti sudah memperoleh kontrak untuk belajar seumur hidup. Seperti yang dikatakan oleh seorang dokter bedah di RSPAU Dr. Hardjolukito waktu saya menjalani koass stase bedah, bahwa kebahagiaan terbesar seorang dokter adalah belajar.Â
Sehingga, solusi terbaiknya adalah belajar hampir semua hal. Usahakan bahwa Anda selalu sarapan dengan berita kedokteran dan makan malam dengan jurnal kedokteran. Yup, Anda kelak akan bertanggung jawab dengan ilmu yang anda terapkan kepada pasien tersebut, tentu saja sesuai perkembangan terbaru. Berhubung, ilmu kedokteran itu selalu berubah setiap saat.
Dari kedua poin di atas, mungkin para pembaca sudah dapat menyimpulkan bahwa dokter sendiri akan menjadi profesi yang sangat berat untuk dijalankan. Setidaknya, "kids zaman now" itu pun mulai menyadari. Dibuktikan dari survei LinkedIn terhadap 1000 responden Indonesia yang berasal dari pelajar dan profesional muda. Di situ disebutkan bahwa lima pekerjaan impian para pelajar sekarang ini adalah pengusaha, spesialis IT, akuntan, serta ilmuwan atau insinyur.
Meskipun, hal tersebut masih bertentangan dengan survei yang dilakukan pada tahun 2015 oleh HSBC pada 350 orang tua Indonesia, di mana 31% dari mereka ingin anaknya berprofesi sebagai dokter. Jadi, jika mungkin orang tua ingin anaknya menjadi dokter ataupun si anak itu sendiri yang ingin, alangkah baiknya berpikir dahulu sebelum memutuskan. Di Amerika saja, 9 dari 10 dokter tidak merekomendasikan profesi dokter lho untuk anaknya. Didukung juga oleh survei tahun 2014 oleh American Medical Association bahwa 47% dari dokter sendiri mengaku sangat lelah secara emosional dan 35% dari dokter juga merasa tidak bernilai dalam kerjanya. Ketika ditanya, alasannya karena kurangnya kemandirian dan sistem penghargaan yang tidak sesuai dengan jasa yang mereka lakukan.
So, masih ingin menjadi dokter?
NB: Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan profesi dokter serta mengurangi populasi dokter di Indonesia. Saya tetap menghargai profesi ini, berhubung kebutuhan dokter di Indonesia masih belum mencukupi. Namun, saya pribadi berharap semoga kelak yang akan masuk ke Fakultas Kedokteran adalah calon dokter yang memiliki semangat dan tekad yang tinggi untuk menjadi dokter.
Karena, saya percaya, jika tekad kalian tinggi, maka segalanya akan dipermudah, M,eskipun mungkin jika saya sudah menyelesaikan masa koass saya, saya akan berpikir untuk mencari pekerjaan yang tidak menyentuh dunia klinis. Mungkin, sebagai penulis kesehatan ataupun sebagai jurnalis kesehatan, ataupun bisa juga menjadi peneliti. Saya sendiri sudah menulis buku pertama saya berjudul "Ketika DI Dalam Penjara" yang membahas tentang kecanduan pornografi dan berencana akan merilis buku kedua saya yang temanya masih dirahasiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H