Tahun 2016 merupakan tahun yang mengejutkan untuk grup musik populer Jepang, AKB48. Mungkin masih berbekas di ingatan kita soal kesuksesan Rino Sashihara menciptakan sejarah dengan menjuarai Senbatsu Sousenkyo back to back. Sangat jarang terjadi dalam sejarah AKB48 sendiri. Tahun ini juga disebut sebagai tahun dimana banyak anggota yang disebut sebagai bibit potensial harus mengundurkan diri dari segala aktivitas. Dimulai dari Miki Nishino, Shu Yabushita, dan banyak lagi. Keputusan-keputusan itu turut mengecewakan fans mereka. Sebagai seorang pengamat, saya mulai merasakan adanya peralihan para fans dalam hal kegemaran. Mulai dari adanya peralihan ke sister grup mereka, seperti SKE48, NMB48 ataupun HKT48. Bahkan, tidak sedikit juga yang beralih ke rival grup mereka, seperti Nogizaka46 ataupun Keyakizaka46.
Sebagai seorang fans AKB48, saya merasa ada sebuah penurunan semangat dari AKB48 apalagi pasca ditinggal oleh beberapa member pilar, seperti Minami Takahashi, Mariko Shinoda, Yuko Oshima, ataupun Atsuko Maeda yang bersusah payah membawa AKB48. Saya pun jadi teringat masa-masa dimana AKB48 sendiri awalnya dibentuk. Mulai dari mereka yang dijadiin bahan lelucon dan dianggap akan menjadi produk gagal. AKB48 di masa mereka telah mengalami cukup banyak liku-liku, dan secara tidak langsung, hal itu juga lah yang membantu mereka untuk tumbuh besar dan menjadi grup J-POP dengan penjualan terbanyak
Hampir setiap single yang mereka rilis, sukses menembus satu juta keping dalam minggu pertama. Sebauh prestasi yang bahkan belum tentu bisa dicapai oleh artis lainnya, bahkan artis pop Barat sekaliber Justin Bieber, One Direction ataupun Eminem belum bisa. Hal ini juga yang membuat saya tertarik untuk mengenal mereka, selain dari anggotanya yang berparas imut dan cantik dan bisa membuat para cowok terpikat. Diibaratkan sebuah tim basket, sekarang AKB48 sendiri sedang berada pada fase regenerasi. Yaitu fase membangun kembali, apalagi setelah ditinggalkan oleh member penting. Ibaratnya, Los Angeles Lakers yang ditinggalkan oleh Kobe Bryant dan Shaquille O’Neal. Ada beberapa teknik regenerasi yang diterapkan oleh produser AKB48, Yasushi Akimoto.
Teknik pertama ini tentu saja sangat umum sekali, yaitu membangun dari talenta muda. Dalam dunia sepakbola, tentu kita mengenal namanya akademi tim muda, atau dalam dunia basket, kita mengenal juga istilah drafting. Memilih talenta muda sesuai kebutuhan tim sendiri. Kedua approach ini juga pernah dilakukan oleh AKB48, baik itu menyeleksi talenta muda, seperti yang dirasakan oleh Mion Mukaichi, Nana Okada atau para member Team 8. AKB48 juga pernah menerapkan sistem drafting, dimana member AKB48 sendirilah yang memilih membernya. Proses drafting juga melahirkan talenta seperti Saya Kawamoto ataupun Mao Yamamoto.
Teknik kedua adalah teknik mengambil dari cabang. Untuk mempermudah penjelasan ini, kita coba sedikit berjalan ke dunia bola sepak. Dahulu, pernah muncul sebuah meme tentang klub Jerman, Bayern Muenchen yang disebut sebagai pengambil pemain Borussia Dortmund, meski sebenarnya hanya mengambil 2 pemain vital pada masa keemasan Dortmund sendiri, yaitu Mario Gotze dan Robert Lewandowski. Jika diaplikasikan ke AKB48, itu sama aja dengan manajemen AKB48 mengambil talenta dari cabang2 mereka. Hal ini dikenal dengan sistem kennin, dimana satu member itu bisa aktif di 2 grup. Contohnya, mereka mempromosikan Jurina Matsui yang sebelumnya berbendera SKE48, atau Sayaka Yamamoto yang dididik bersama NMB48.
Kedua teknik tersebut sebenarnya dapat terbukti ampuh jika diterapkan bersama-sama, misalnya jika manajemen AKB48 turut mempromosikan kedua member jebolan teknik tersebut. Tetapi, yang terjadi dalam kenyataan selama proses ini, yaitu hanya satu teknik yang dominan. Dan, dalam tahun-tahun terakhir ini, yang paling dominan justru teknik kedua. Memanfaatkan talenta muda dari sister group. Pada, proses ini sukses membawa satu member menjadi member super populer dengan tingkat mekar yang sangat signifikan.
Member itu bernama Sakura Miyawaki, member 18 tahun yang mekar bersama HKT48 dan berasal dari Prefektur Kagoshima. Sakura sendiri awalnya mendaftar sebagai anggota HKT48 tanpa berpikir apa yang akan terjadi setelahnya. Kepopuleran dia yang menanjak itu awalnya datang dari fans yang turut serta mendorongnya. Dan, tidak terasa dia seolah-olah mulai dianggap sebagai “the new face of AKB48”. Bahkan, hal ini sendiri juga diakui oleh Yasushi Akimoto, mega produser dari AKB48. Hal ini mulai terlihat pasca ditunjuknya Sakura sebagai member utama yang membawakan single bertajuk “Kibouteki Refrain” yang jika kita melihat videonya sendiri itu bercerita tentang regenerasi. Secara pribadi, saya mengakui bahwa Sakura merupakan seorang yang cakep, punya bakat terutama pada akting, dan merupakan seorang idol dengan transisi maha dahsyat. Ketika dia masuk HKT48, saya melihat Sakura sebagai seorang yang imut standar, kata tersebut sangat layak karena image HKT48 itu sendiri merupakan idol maha imut di kalangan grup cabang lainnya. Tetapi, semakin beranjak dewasa, transformasi Sakura sungguh tidak terduga, jarang sekali ada seorang idol jepang bisa berubah dengan sangat brilian. Jika tidak percaya, silahkan tanya Kanna Hashimoto dari Rev. From DVL. Sekarang, Sakura itu sudah mekar di hati para penggemarnya sebagai orang yang cantik dan punya bakat yang terasah, tanpa meninggalkan kesan imutnya. Termasuk saya, yang sampai sekarang masih memajang foto Sakura di dinding kamar tidur saya.
Berbicara tentang promosi besar-besaran, saya menjadi teringat sebuah album yang berjudul To Pimp A Butterfly dari artis favorit saya, Kendrick Lamar. Bagi yang tidak paham, kata “pimp” berasal dari Bahasa Inggris dan punya makna kasar yaitu sebagai “mucikari” dari sebuah kegiatan prostitusi. Tetapi, kata “pimp” ini sendiri punya makna informal berupa promosi besar-besaran. Album ini dirilis 2 tahun lalu, dan sukses memasuki rentetan album klasik, baik dari segi lirik dan juga musiknya. Album ini pun juga menjadi “Album Of The Year” disadur dari berbagai kritik musik yang terpercaya. Bayangkan, anda mendengarkan sebuah album yang mencampuri elemen mantap seperti funk, soul, jazz yang terkesan masih sangat langka di kuping kita. Tidak hanya itu saja, Kendrick menunjukkan skill lirik yang sangat ambisius, dan story telling yang kohesif.
Ketika kita meneropong lagu-lagu yang tertuang di album ini, Kendrick seperti seolah-olah curhat ke para pendengarnya, termasuk saya tentu saja. Curhat yang disajikan sangat banyak, multidimensional, kompleks, penuh dengan emosi yang beragam jumlahnya. Kendrick bercerita di sini tentang masalah mental, social, politik disajikan dengan teknik yang cukup ambisius dan aneh. Seperti pada lagu “The Blacker The Berry”, tidak seperti lagu-lagu hip-hop yang kebanyakan membela kaum kulit hitam, terutama lagi latah-latahnya berteriak tentang “Black Lives Matter” di seluruh penjuru Amerika. Kendrick sendiri malah ikut menyerang kaum kulit hitam, memaparkan tentang sisi munafik mereka. Sangat aneh dan tentu saja menarik. Kendrick tidak hanya membahas tentang masalah saja di album ini, melainkan menawarkan solusi menarik. Seperti, contohnya di lagu “Alright” yang akhir-akhir ini menjadi lagu yang sering dibawakan pada waktu demonstrasi damai (tidak di aksi damai 411 atau 212, sayangnya), ataupun lagu “I” yang mengajak kita mencintai diri sendiri dan selalu berpikir positif.
Kembali ke paragraf sebelumnya, alasan saya untuk membuka memori pada album “To Pimp A Butterfly” ini terletak pada lagu terakhir yang berjudul “Mortal Man”. Lagu yang saya rasa sangat bagus untuk menutup album yang super ciamik ini. Lagu ini seolah-olah menyimpulkan sebenarnya isi dari album To Pimp A Butterfly tersebut, seolah-olah memberikan sebuah konklusi dari apa yang disampaikan di album ini melalui percakapan dengan Tupac Shakur. Percayalah, bahkan ketika saya pertama kali mendengar percakapan yang terlampir di lagu ini. Saya merasa bahwa Tupac masih hidup, karena saking nyatanya percakapan di lagu ini. Memang, tidak sedikit media yang mengekspos isu tentang kematian Tupac yang terkesan palsu, meski sudah dinyatakan sejak 20 tahun lalu. Tetapi, konspirasi tersebut masih sukses menggelitiki otak kita, bahkan mantan Presiden Barack Obama sendiri pun juga ikut geli tentang hal itu.
Bagian yang cukup relevan dan menurut saya memberikan solusi yang baik untuk permasalahan AKB48 sendiri terletak pada puisi yang disampaikan di akhir lagu “Mortal Man” yang berdurasi belasan menit ini.
“The caterpillar is a prisoner to the streets that conceived it
Its only job is to eat or consume everything around it, in order to protect itself from this mad city
While consuming its environment, the caterpillar begins to notice ways to survive
One thing it noticed is how much the world shuns him, but praises the butterfly
The butterfly represents the talent, the thoughtfulness, and the beauty within the caterpillar
But having a harsh outlook on life, the caterpillar sees the butterfly as weak and figures out a way to pimp it to his own benefits.
Already surrounded by this mad city, the caterpillar goes to work on the cocoon which institutionalizes him
He can no longer see past his own thoughts He’s trapped. When trapped inside these walls,
certain ideas take roots, such as going home and bringing back new concepts to this mad city
The result?
Wings begin to emerge, breaking the cycle of feeling stagnant
Finally free, the butterfly sheds light on situations that the caterpillar never considered, ending the internal struggle
Although the butterfly and caterpillar are completely different, they are one and the same.”
Ketika saya mencoba menginterpretasi makna puisi ini, saya dapat menghubungkan puisi ini dengan apa yang sekarang sedang terjadi baik itu di AKB48 ataupun di industri musik Jepang sekarang ini. Saya salut dengan bagaimana Kendrick sukses membuat sebuah analogi tentang proses metarmofosis kupu-kupu. Benar-benar proses yang mungkin otak ilmiah saya tidak juga bisa membayangkan. Dari sini, saya dapat menyimpulkan bahwa Kendrick mengibaratkan dirinya bahkan Sakura sebagai kupu-kupu. Kupu-kupu sendiri dijadikan simbol dari transformasi, sama ibaratnya dengan proses metamorfosis.
Kendrick dan Sakura sendiri sudah berubah dari sosok yang mungkin belum dikenal banyak orang menjadi sosok yang dikagumi khalayak ramai, saya salah satunya. Sedangkan, sosok ulat (caterpillar) dianalogikan sebagai fans atau orang-orang yang memanfaatkan mereka demi keuntungannya. Bisa itu dari pihak manajemen, ataupun mungkin fansnya. Sehingga, untuk tetap membahagiakan mereka, Kendrick dan Sakura masih berjuang sekuat tenaga untuk kesenangan para kaum konsumtif tersebut, sampai mungkin melupakan jati diri mereka sendiri atau masa lalu mereka sendiri. Terutama dalam kultur AKB48 sendiri, fans merupakan elemen yang sangat penting, mengingat konsep mereka adalah “idols you can meet”.
Pada baris “Already surrounded by this mad city, the caterpillar goes to work on the cocoon that institutionalizes him” ini, Kendrick dan Sakura seolah-olah menginspirasi banyak orang untuk mengikuti langkah mereka atau tertarik mengikuti apapun tentang mereka. Dimana, Kendrick menganggap kata “cocoon” atau kepompong sendiri sebagai media, pemerintah, sekolah atau apapun yang dapat memberikan perspektif kuat tentang kesuksesan. Tentu saja hal ini tujuannya untuk menjadi kaya dan memenuhi hasrat konsumtif si ulat tadi. Contoh super nyata ketika kita menilik industri Jepang sendiri, begitu maraknya industri film biru, dan maraknya idol J-POP, yang menjadi kanker. Tetapi, hal itu didasari karena satu alasan, INGIN CEPAT KAYA.
Sehingga, yang terjadi adalah mereka tetap terjebak dalam pikiran menjadi KAYA dengan bekerja di situ. Tetapi, tentu saja, dalam kondisi terjebak dalam asumsi tadi, pasti muncul rasa depresi, atau muncul sebuah pikiran baru, sehingga yang terjadi adalah mereka memikirkan sebuah konsep atau pemikiran yang bagus untuk masa depan. Sama dengan Kendrick. Sama juga dengan Sakura sendiri. Sebagai orang yang telah melalui proses metamorphosis menjadi kupu-kupu. Mereka tentu mengalami hal tersebut. Dan yang akan diharapkan, adalah mekarnya sebuah ide, mekarnya sebuah pemikiran untuk konsep baru dan berbeda dari sebelumnya.
Pada usia AKB48 yang ke-11 tahun, tidak sedikit yang menyatakan bahwa AKB48 sendiri sudah melewati masa emasnya. Terutama, sejak ditinggalkan pendahulunya, seperti Yuko Oshima, Atsuko Maeda, maupun Mariko Shinoda. Belum lagi, beberapa member yang cukup senior yang tidak begitu fokus di grup AKB seperti Yuki Kashiwagi, Rino Sashihara, Mayu Watanabe, ataupun Sayaka Yamamoto yang mungkin akan mengakhiri masa kerja dalam waktu dekat ini. Memang, dalam industri musik Jepang, sangat susah bagi seorang artis yang populer di masa muda, untuk masuk kembali ke masa puncak untuk yang kedua kalinya.
Silahkan tanya artis-artis sepuh seperti Ayumi Hamasaki, Hikaru Utada, ataupun YUI. Dalam catatan saya, hanya satu artis saja yang sukses melakukannya yaitu Namie Amuro. Tetapi, itupun hanya satu dari sekian banyak artis yang pernah bermunculan. Terutama karena dinamika fans dan demografi fansnya sendiri. Sehingga, memang perlu bagi AKB48 untuk melakukan proses regenerasi dengan melihat trend dari member muda mereka. Mereka sudah melihat dari bagaimana mekarnya nama seperti Sakura Miyawaki, Mion Mukaichi, Nana Okada, dan lainnya, terutama dari Team 8.
Sekarang tinggal, bagaimana cara manajemen AKS memanfaatkan apa yang ada, baik itu dari segi konsumen (ulat) ataupun dari segi produsen talenta (kupu-kupu) itu, bagaimana cara mereka mengubah asumsi (kepompong) itu dengan baik. Mari kita tunggu saja kelanjutannya.
Our job as a fans or consumer?
TO PIMP A CHERRY BLOSSOM, Membesarkan bunga Sakura yang sudah mekar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H