Mohon tunggu...
Sang Dokterandes
Sang Dokterandes Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat/Pengacara yang suka seni

Kata adalah hal pertama yang diajarkan Tuhan kepada Adam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dua Hari Pertama di Bulan Mei (Terakhir dari Dua Tulisan)

2 Mei 2010   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Barangkali juga kebetulan jika peringatan Hari Buruh Sedunia kemarin, kemudian hari ini diikuti Hari Pendidikan. Sekalipun keduanya berasal dari konteks budaya yang berbeda, tapi bukan kebetulan jika ada keterkaitan antara soal perburuhan dengan pendidikan. Setiap akhir tahun ajaran, institusi pendidikan selalu memasok persediaan manusia untuk diterjunkan di dunia kerja (industri). Sebelumnya memang telah ada kecenderungan bahwa pendidikan sedapat mungkin disesuaikan dengan ancar-ancar bidang pekerjaan (profesi). Karena itu pendidikan punya andil besar bagi kelangsungan industrialisasi. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa kepentingan industri sanggup menyelinap masuk ke ruang-ruang kelas. Keberatan atas simbiosis semacam itu agak berlebihan. Tapi kenyataannya ketika angkatan kerja tersedia, industri seringkali ingkar janji. Alhasil banyak pihak merasa kecewa karena sekolah jelas tidak murah. Rasanya sekolah terlalu mulia untuk hanya mempersiapkan orang-orang yang akan - meminjam istilah Dee - melumasi mesin-mesin uang yang sudah sangat karatan. Pendekatan seperti itu menyuburkan praktek komersialisasi pendidikan. Buktinya, ijazah dan gelar mudah diperjual-belikan. Orang-orang terampil dan profesional memang diperlukan. Namun ketika tempat untuk mereka belum lagi terbuka, maka keterampilan dan profesionalisme itu tidak berguna. Kalaupun peluang itu ada, orang-orang yang tidak punya keterampilan khusus untuk itu sering pula dapat menempatinya. Dalam prakteknya, banyak jenis pekerjaan bisa disiasati dengan pola learning by doing. Selain itu perusahaan sering pula memberlakukan masa percobaan (job training) selama tiga bulan. Ini menunjukkan bahwa membuat seseorang jadi cerdas jauh lebih penting daripada membuatnya terampil. Secara finansial, mencerdaskan manusia tidak akan mengecewakan seperti terjadi dalam proyek pencetakan tenaga kerja terampil. Orang cerdas tidak sulit dibikin terampil, sedangkan orang terampil tidak mudah diajak cerdas. Untuk proyek pencerdasan itulah mengapa mestinya gedung-gedung sekolah didirikan, kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan ditingkatkan. Sejumlah persoalan dewasa ini sebenarnya menuntut bangsa ini untuk cerdas dalam mengambil sikap dan tindakan; menghendaki manusia-manusia yang tidak mau dipecundangi sekaligus tidak suka memperdaya orang lain. Upaya mencerdaskan bangsa tentu bukan pekerjaan gampang. Selain terkendali faktor-faktor luar, dalam dunia pendidikan sendiri banyak terjadi preseden yang juga menyebalkan. Kasus kecelakaan kekerasan di institusi pencetak calon birokrat negeri ini sering terjadi. Ini memperlihatkan betapa kepada calon birokrat sejak dini ditanamkan hasrat untuk memperbudak warga. Serikat guru pun jadi rajin berdemo seperti buruh. Padahal mereka bukan tenaga kerja, dan sebagai pegawai negeri mereka punya undang-undang sendiri. Tapi mungkin ini bagian dari perjuangan mereka dalam mengajarkan siswanya bagaimana cara menuntut jasa. Standar kelulusan siswa juga dipaksakan. Untung saja pelaksanaan ujiannya banyak mengalami kecolongan dan sekaligus menjadi ajang latihan siswa untuk jadi munafik. Sejumlah kejadian konyol ini menunjukkan bahwa kendala pertama pendidikan adalah kebodohan itu sendiri. Atas dasar itulah kita tetap berharap bangsa ini semakin cerdas untuk tidak mengalami kebodohannya dalam menjawab setiap tantangan persoalan. Dan momentum Hari Pendidikan ini mengingatkan kembali bahwa perjuang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus dilanjutkan. Pada akhirnya Hari Buruh dan Hari Pendidikan hanyalah sekadar tema yang terlalu besar untuk tidak terlihat. Substansinya sendiri amat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tidakkah kita teramat bodoh untuk selalu sadar bahwa ada banyak pasang tangan ikut andil pada sepotong baju yang kita pakai dan untuk mampu memotret rangkaian peristiwa yang melatar-belakanginya? Mengaku bodoh tentu awal yang baik untuk bisa cerdas. Kebodohan kita sebagai bangsa tentu sudah mengajarkan bangsa ini untuk bisa bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan sebagaimana tersirat dalam semangat Hari Kebangkitan Nasional yang tidak lama lagi akan kita peringati. Masih di bulan ini. Semoga! Salam, Dokterandes - 0507

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun