Mohon tunggu...
Dr. Aimee Nugroho
Dr. Aimee Nugroho Mohon Tunggu... profesional -

Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Saat ini bekerja sebagai residen Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) di RSUD dr. Soetomo, Surabaya. Pendiri dan Pengasuh page Facebook : Mentis - Healthy Mind , yang berisi artikel kesehatan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Memanusiakan Manusia dengan Gangguan Jiwa

10 Oktober 2015   18:15 Diperbarui: 10 Oktober 2015   18:27 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingatan saya melayang ketika saya masih SD. Saya ingat, saya sangat dekat dengan Mbak Dina (bukan nama sebenarnya). Mbak Dina adalah pegawai di kantor orang tuaku di Surabaya. Namun karena ia dari Klaten, maka ia tinggal di rumahku, dan setiap malam ia tidur denganku. Setiap malam ia membacakan dongeng untukku dan adikku.

Saat itu, bagiku Mbak Dina adalah idolaku. Parasnya yang cantik, tutur katanya yang lembut, mengukir kenanganku akan dia. Ia adalah pegawai yang sabar , cerdas dan cekatan sehingga ia menjadi orang kepercayaan orang tuaku.

Suatu hari, ia pamit berhenti bekerja dan berkata bahwa ia hendak dinikahkan. Kami pun mengizinkannya pulang untuk menikah. Kami berharap bahwa ia tentunya akan bahagia. Kami mendengar beberapa kabar (saat itu belum zamannya telepon genggam, dan di rumah Mbak Dina di Klaten juga tak tersedia telepon), bahwa Mbak Dina jatuh sakit. Namun kami tak mengetahui ia sakit apa.

Beberapa kali ia menelpon keluarga kami dari sebuah wartel di Klaten dan berkata "Mee, Mbak Din sakit flu tulang. Mbak Din mau mati. Kamu nggak kesini ta, ngunjungin Mbak Din." Saat itu, hatiku senang karena mendengar suaranya, dan tentunya berharap bisa mengunjunginya, meski saya masih anak-anak dan tak tahu kapan orang tuaku bisa mengajakku mengunjungi Mbak Din. Kukira ia sakit flu tulang biasa.

Hingga suatu hari, ada famili yang menikah di Solo, maka saya dan ibuku berkunjung ke Solo dan berencana mampir di Klaten untuk mengunjungi Mbak Din. Hari yang kunanti akhirnya pun tiba, aku senang karena aku bisa bertemu dengannya. Setelah melalui perjalanan yang panjang, kami berhasil menemukan rumahnya di sebuah desa di Klaten. Aku mencari Mbak Dina. Mbak Dina yang kukenal dengan senyumnya yang mengembang dan tutur sapanya yang lembut. Namun tak kutemui gambaran kenanganku itu.

Aku kaget, terhenyak, dan terpaku melihat Mbak Dina. Mbak Dina yang manis, kakinya dirantai di pilar gubug rumah orang tuanya. Rambutnya awut-awutan. Bau pesing berhembus merasuki hidungku. Kulihat ia sedang makan nasi yang mengering, nasi yang mungkin anjing peliharaanku pun tak mau memakannya. Ia makan nasi di atas piring seng yang jelek dan kotor. Bajunya kumal dan kusam, tak diganti berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Ia tak pernah lagi merasakan segarnya air mandi. Bahkan buang air besar pun, ia melakukannya di tempat yang sama.

Bagaimana mungkin ? Bagaimana mungkin Mbak Dina, idolaku, menjadi seperti ini? Begitu pikirku saat itu. Ia masih mengenali aku dan ibuku saat kami mengunjunginya. Namun ketika kami mengajaknya bicara, ia mulai bicara tidak relevan dengan pembicaraan kami. Ia berbicara ngalor ngidul yang kami pun tak paham maksudnya. Saat itulah, kami baru menyadari, bahwa Mbak Dina sebenarnya bukan sakit flu tulang seperti yang ia katakan, melainkan ia sakit gangguan jiwa, yang kini baru kupahami bahwa itu adalah gejala gangguan psikotik.

Pertemuan itu mengharu biru. Aku dan ibuku menangis dan berpikir "Kok bisa, Mbak Din jadi seperti ini?". Keluarganya bercerita bahwa Mbak Din sakit jiwa, ia sempat telanjang jalan di desa. Sehingga keluarga merasa malu, dan memutuskan untuk merantai Mbak Dina. Oh Mbak Dina yang manis, dirantai bagaikan hewan peliharaan saja, begitu pikirku. Ibuku berkata kepada keluarga Mbak Dina untuk melepas rantainya. Namun keluarga bersikukuh tidak mau melepasnya. Setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keluarga mau membuka rantai. Mbak Dina kami ajak berjalan sebentar keluar rumah dengan digandeng oleh ibuku. Lalu kami kembalikan Mbak Dina ke rumah, dan kami pamit pulang.

Beberapa bulan kemudian, tak disangka, ibuku menerima surat dari keluarga Mbak Dina. Kami terharu membaca surat tersebut. Keluarga menuliskan dalam surat tersebut, bahwa sepulang kami dari rumah Mbak Dina, Mbak Dina mau diajak mandi. Ia kemudian mau diajak tidur sekamar dengan saudaranya. Kami begitu bahagia mendengarnya. Ayah Mbak Dina menuliskan dalam surat tersebut, apakah kiranya keluarga kami masih bersedia menerima Mbak Dina kembali bekerja? Oh, tentu saja iya ! Ya, Mbak Dina kembali bekerja untuk usaha ayah dan ibuku, hingga saat ini, setelah berpuluh tahun kejadian itu, ia kembali menjadi sosok Mbak Dina yang manis, sabar, dan cekatan. Peristiwa itu begitu membekas dalam ingatanku. Mungkin juga, ini adalah salah satu pengalaman penting yang melatarbelakangi keinginanku menjadi psikiater dan terjun dalam dunia kesehatan jiwa.

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya. Tahun ini, WHO mencanangkan tema 'Dignity in Mental Health' atau 'Bermartabat dalam Kesehatan Jiwa'. Mengapa tema ini yang diambil ? Seperti yang kita ketahui, banyak orang dengan gangguan jiwa yang diabaikan hak asasinya. Didiskriminasi dan tidak dimanusiakan oleh bahkan keluarganya sendiri.

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke Bali dan bertemu dengan dokter Alexandre Wettstein. Ia adalah seorang dokter anestesi dari Swiss dan mendirikan Yayasan Fair Future Foundation yang bergerak untuk kesehatan masyarakat Bali yang tidak mampu. Ia memiliki sebuah restoran di Ubud, yang mana dari setiap makanan yang kita beli dapat membiayai kesehatan 2 orang penduduk Bali yang tidak mampu. Kami berkenalan, dan ia mengetahui bahwa saya adalah seorang dokter yang bergerak dalam bidang kejiwaan (psikiater). Ia berkata bahwa ia juga ingin mengembangkan yayasannya untuk mengatasi orang dengan gangguan jiwa. Ia mengamati bahwa di Bali, ketika ada anjing yang kelaparan, maka ada orang yang kasihan dan memberi makan anjing tersebut. Namun ketika melihat seseorang dengan gangguan jiwa berat, menggelandang, tanpa pakaian, dan kelaparan, maka banyak yang mengabaikan orang tersebut seolah-olah orang tersebut tak pernah ada.

Sudahkah kita memperlakukan orang dengan gangguan jiwa dengan baik ? Adakah stigma yang menempel di otak kita ketika kita melihat mereka? Kita menganggap mereka 'aneh, gila, gendeng, sempel, edan' , dan berbagai ungkapan bahasa yang berkonotasi negatif terhadap mereka. Padahal gangguan jiwa dapat mengenai siapapun, tak peduli warna kulit, usia, pendidikan, ataupun agama. Sudahkah kita memanusiakan orang dengan gangguan jiwa ? Be kind, because we never know the battle they are fighting about.

Banyak orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang didiskriminasi, dipinggirkan, diabaikan. Mereka rentan untuk mendapatkan perlakuan yang tidak pantas. Yang saya tuliskan di sini adalah nyata, dan saya pernah melihat sendiri. Ada orang dengan skizofrenia yang diperkosa menjadi obyek seks, hamil, lantas siapa yang merawat bayi tak berdosa itu? Ada yang dipukuli. Ada yang dihina dan dimaki. Ada yang dirantai dan dipasung, tanpa memiliki kemerdekaan atas hidupnya. Ada yang hartanya diambil oleh saudaranya sendiri (yang notabene menjadi pengampu ODGJ).

Kini saatnya kita bangkit untuk kesehatan jiwa. Kini saatnya orang dengan gangguan jiwa dimanusiakan. Kini saatnya hak mereka diperhatikan. Sudah bukan jamannya, gangguan jiwa dianggap sebagai kerasukan setan dan menyalahkan iblis atas suatu penyakit. Gangguan jiwa dapat dijelaskan secara medis, bahwa ada ketidakseimbangan neurotransmiter di dalam otak, yaitu dopamin dan serotonin. Gangguan jiwa dapat ditangani. Mereka, orang dengan gangguan jiwa, layak untuk hidup bahagia. Mereka layak untuk dimanusiakan.

Sudahkah kita memanusiakan orang dengan gangguan jiwa ? Mulailah dengan hal sederhana, menghilangkan kata-kata berkonotasi negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa. Senyum dan mau berteman dengan mereka. Menjadi pendengar yang baik untuk keluh kesah mereka. Ini adalah hal yang sederhana. Kita mungkin tidak bisa melakukan hal-hal besar untuk mereka. Maka mulailah dengan hal-hal kecil dengan cinta yang besar untuk mereka.

Stand Up for Dignity in Mental Health

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun