Mohon tunggu...
Dokter Kusmanto
Dokter Kusmanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - .

.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Imlek Dalam Budaya dan Wisata

8 Februari 2016   07:19 Diperbarui: 10 Februari 2016   14:24 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto milik Pribadi, di foto oleh Yuni dan Yance"][/caption]Imlek identik dengan baju baru warna merah dan amplop merah sebagai ang pao.

Warna merah sebagai lambang keceriaan, sehingga perayaan imlek di penuhi dengan aneka warna merah.
(Foto diatas milik pribadi dan difoto oleh Yuni)

Saya di ceritakan oleh orang tua tentang artinya Imlek sebagai tahun baru warga Tionghoa yang masih menganut budaya leluhur. Imlek adalah pesta panen raya. Ungkapan suka cita terhadap yang maha kuasa dan sesama manusia, dalam bentuk pesta meriah dan kembang api.
Selain itu juga harus berhemat bila menghadapi musim paceklik, yang dapat dilihat dari makna kue Keranjang.

Berawal dari ribuan tahun sebelum masehi sampai di masa ke Jayaan Nabi Kong Hu Cu. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, kepercayaan Kong Hu Cu juga sudah diakui sebagai agama resmi di Indonesia.

Jaman sudah berubah. Mungkin kalimat itu adalah benar apa yang terjadi saat ini bila kita memperhatikan perayaan imlek.
Yang menjadi perhatian saya adalah dua lokasi vihara yang saya anggap sebagai rumah leluhur.

Yang Pertama adalah Vihara Sian Jin Ku Poh di Krawang Barat, yang memaparkan silsilah keturunan di papan leluhur dan masih tercatat dengan jelas. Dari silsilah Vihara Sian Jin Ku Poh, jelas tercatat silsilah generasi ayah saya.

Sedangkan dari beberapa keluarga generasi ibu yang tinggal di Tanjung Kait, kami tidak mempunyai catatan silsilah yang jelas.

[caption caption="Foto milik Pribadi"]

[/caption]

Dan saat ini dunia sudah dalam era digital, demikian juga imlek pun di Tanjung Kait sudah banyak berubah.

Waktu saya kecil sekitar tahun 1960an, Bio Tjo Su Kong sangat tenar sekali. Bisa dilihat dari pengunjung yang datang dari luar Pulau, Aceh, Medan, Padang, Palembang maupun dari Jawa Bali, Kalimantan.

Luar biasa kendaraan yang datang; disaat perayaan ditahun 1970an, mungkin ribuan mobil maupun bus.

Saat itu jalanan masih sangat kecil dan sangat buruk berlubang maupun sebagian jalan tanah.

Butuh mobil yang handal untuk bisa datang ke Bio Tjo Su Kong. Tetapi banyak pula mobil sedan baru sekelas Mercedes maupun Volvo, mungkin sebagai ucapan terima kasih atas doa di Bio Co Su Kong.

Termasuk sayapun, sekitar tahun 1970an selalu membawa truk besar atau truk/sedan yang baru untuk di doakan oleh saudara kami di Bio Tjo Su Kong.

Foto diatas adalah milik pribadi dan adalah saudara kami yang sangat akrab dengan alm. ibu kami. Beliau pernah memimpin pengelolaan bio Tjo Su Kong

Bio To Su Kong sungguh luar biasa, bukan saja Kong Co atau Dewa dalam budaya Tiongkok, ternyata juga ada embah maupun dewi Eneng yang berasal dari warga asli Tanjung Kait. Nama nama ini membuktikan pembauran budaya Tiongkok terhadap lokasi setempat.

Disaat tanggal perayaan di Bio Tjo Su Kong, bukan saja bus dan mobil yang sangat banyak berdatangan, termasuk pengemis pun berbaris di kanan kiri jalan maupun di pakiran. Luar biasa banyaknya pengemis saat itu, mungkin bisa mencapai 300an orang.

Sekarang Bio Tjo Su Kong sudah beda, sudah sepi bila di bandingkan era kejayaan. Termasuk pabrik lilin yang ada disekitar Tanjung Kait,  sudah banyak yang tutup. Warung makanan seafood juga sudah jarang.

Kejayaan eknologi digital telah merubah jaman.
Sekarang semua golongan maupun semua agama menuju Tanjung Kait.
Mereka datang bukan saja untuk sembayang di Bio Tjo Su Kong, tetapi sudah menjadi tempat wisata, terutama lokasi yang lagi tren untuk fotografer.

Ya…… jaman berubah.
Banyak orang datang ke Tanjung Kait untuk wisata selain sembayang di Bio Tjo Su Kong.
Tempat yang dahulu sangat sulit dikunjungi dan sangat ketat dijaga oleh angkatan laut.
Dulu harus meninggalkan KTP bila mau masuk area Bio Tjo Su Kong, karena wilayahnya masuk melalui area angkatan laut.
Sekarangpun masih tetap di jaga untuk ketahanan NKRI, tetapi sekarang sudah menjadi tempat wisata bahari dan juga menjadi tren untuk fotografer.

Beberapa foto saya lampirkan tentang Bio Tjo Su Kong.
Dan beberapa foto yang lagi tren untuk para fotografer.

Yuuuk… kita jalan jalan ke Tanjung Kait.

Lokasi berada di Tanjung Kait yang saat ini sudah bisa ditempuh dari dua arah, dari bandara Sukarno Hatta dan dari Tangerang lewat Sepatan.

Image Jalan menuju Tanjung Kait, bisa lewat Bandara Sukarno Hatta atau melalui Tangerang melewati Sepatan.

 

Foto gubuk nelayan tambak ikan yang ada disekitar Pantai Tanjung Kait ( foto milik pribadi )

Sekitar tahun 1970an, lokasi ini sebagai tambak Bandeng yang tidak di kunjungi oleh wisatawan, karena memang area nya juga lingkungan angkatan Laut. Tetapi sekarang sudah menjadi tujuan wisata warga lokal maupun para fotografer

 

 Foto jembatan bambu untuk para hobby memancing ikan (milik pribadi )

Foto perahu nelayan (foto milik pribadi )

Perubahan pola hidup nelayan juga telah terjadi sesuai jaman dan perubahan budaya.
Sekarang sudah banyak warung makan untuk para penikmat lokasi wisata.

 

[caption caption="Foto milik Pribadi, di foto oleh Yuni dan Yance"]

[/caption] 

[caption caption="Foto milik Pribadi, di foto oleh Yuni dan Yance"]

[/caption] 

Gambar foto adalag situasi di dalam lingkungan Bio Tjo Su Kong, yang sejak dari tahun 1970an tidak banyak berubah.
Hanya jumlah pengunjung saja yang paling berbeda sekali.

Beberapa puluh tahun yang lalu sangat penuh sesak pengunjung, sedangkan sekarang umat bisa sembayang dengan lebih leluasa.

[caption caption="Foto milik pribadi"]

[/caption]

Lilin besar yang nyalah bisa lebih dari satu tahun. Simbol sebagai jalan hidup yang diterangi oleh cahaya lampu.

[caption caption="Foto milik pribadi. Istri sedang di pabrik lilin"]

[/caption]

Istri sedang seolah oleh melukis di lilin imlek.
Dunia digital sudah sangat merubah gaya hidup, dan sudah banyak sekali fotografer amatir maupun profesional berkunjung ke lokasi yang mempersiapkan keperluan imlek, seperti lilin.

Tetapi tidak bisa di pungkiri akibat kelalai wisatawan atau fotografer yang berkunjung ke pabrik lilin, bisa membuat yang bekerja menjadi repot atau malah bisa ada produk yang rusak akibat ulah pengunjung yang kurang berhati hati di pabrik itu.

[caption caption="Foto milik pribadi"]

[/caption] 

Pabrik Hio pun untuk keperluan imlek mendapatkan rejeki yang belimpah.
Dari Teluk Naga, produk Hio ini bisa dikirim ke Medan maupun Pontianak.
Produksinya masih sangat manual dan sederharna.

[caption caption="Foto milik pribadi"]

[/caption]

Keperluan imlek butuh aneka banyak bahan baku, temasuk aneka warna untuk memeriahkan perayaan imlek.
Peran bahan cat juga mencerahkan aneka produk sehingga bisa mencerahkan tahun baru dan kecerahkan usaha / bisnis maupun kebahagiaan di tahun baru

[caption caption="Foto milik sendiri. Istri sedang ikut menanam padi di sekitar Bio Tjo Su Kong"]

[/caption]

Sekitar tahun 1970an, sawah dan ladang pohon kelapa masih lebih luas.
Sekarang sudah banyak penduduk yang berasal dari pendatang dan sudah berbaur dengan penduduk Tanjung Kait
Dalam foto ini, istri sedang ikut menanam padi disekitar Bio Tjo Su Kong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun