[caption id="attachment_158729" align="alignleft" width="300" caption="Pasar tradisional di Banten sekitar tahun 1870. Sumber Wikipedia"][/caption] . Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar. Bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Kebenaran kami punya hobby fotografi, sehingga sering mengendarai mobil untuk mampir dibanyak tempat pariwisata. Selain lokasi pulau Jawa dan Bali, juga Lampung dan Sumatra selatan telah kami kunjungi. Dalam kesempatan hobby ini, kami selalu mengamati juga pola bisnis dipasar tradisional.
.
[caption id="attachment_158731" align="alignleft" width="300" caption="Pasar Rau, Serang-Banten, Foto tgl 27-01-2012. Dokumen Pribadi"]
Dengan bekal hobby dan pengamatan pasar tradisional, menjadikan kami sering berkumpul dengan teman pebisnis aneka macam produk maupun teman perbankan. Kami sering berdiskusi tentang kondisi ekonomi yang dirasakan makin sulit untuk segmen menegah kebawah. Artinya kondisi pasar tradisional dirasa semakin sulit. . Data yang paling aktual (data dari beberapa minggu terakhir), kami dapatkan dari Jakarta, Sukabumi, Serang, Krawang, Jogya, Solo, Tegal. Yaitu pasar tradisional yang menjual aneka macam produk seperti makan ringan, minuman, sembako, baju, emas, kemasan, asesoris, ikan dan buah.
[caption id="attachment_158733" align="alignleft" width="300" caption="Pasar Bintara - Bekasi, Dokumen pribadi"]
Parameter yang kami gunakan untuk mendeteksi kesehatan pasar tradisional adalah tutupnya pertokoan secara permanen (ditinggalkan kosong), rusaknya fasilitas gedung secara total, serta hilangnya pelanggan (hilangnya mata rantai kelanjutan bisnis).
.
Saat kami berbicara dengan para penjual di pasar, semua mengatakan bahwa pasar tradisional mati suri akibat banyaknya Mall maupun Minimarket. Walaupun menurut hemat kami, baik Mall maupun minimarket sama saja kondisinya, yaitu sepi pengunjung. (Tentu saja maksud kami adalah segmen Mall menengah.) Dan mereka menjelaskan bahwa pudarnya kejayaan pasar tradisional sudah bermulai sejak sekitar 2-3 tahun terakhir.
[caption id="attachment_158734" align="alignleft" width="300" caption="Dipasar Petojo Jakarta, pasarnya di tengah jalan dan bukan di dalam gedung. Dokumen pribadi"]
.
Seperti dalam keseimbangan alam, ada suatu mata rantai yang saling berkaitan dan saling menjaga keseimbangan. Apabila suatu bahan makanan habis, maka jenis serangga tertentu akan punah dan berefek lanjut pada binatang lainnya. Keseimbangan alam terjadi juga dalam dunia bisnis termasuk di pasar tradisional. Bila pasar tradisional rusak dan makin sepi, pasti terjadi hilangnya mata rantai pada produk tertentu. Dengan hilangnya mata rantai tersebut, menjadikan pergeseran secara alamiah dalam pola bisnis. Yaitu pergeseran dari pasar tradisional kearah pasar modern, minimarket, Mall maupun hypermart. [caption id="attachment_158735" align="alignleft" width="300" caption="Pasar Pagi - Batavia, dokumen pribadi"]
Akibatnya terjadi proses keseimbangan baru yang butuh waktu untuk saling menyesuaikan diri. Saling beradaptasi antara pasar modern, pemasok barang maupun para konsumennya. .
.
.
Disaat pergeseran ini, pasti ada produk/pabrik yang menjadi lebih besar dan pasti pula ada produk/pabrik yang mati alias bangkrut.
Dengan kondisi keseimbangan ini dan berbarengan dengan meningkatnya taraf hidup di Indonesia, maka terjadi segmentasi daya beli yang baru. Segmen yang mempunyai daya beli tinggi di sebut sebagai OKB (orang kaya baru). Ciri ciri OKB adalah :Sifat konsumerisme terhadap sesuatu yang “terkesan” mewah, premium, upper kelas, dan cepat berganti selera. Sedangkan segmen lainnya dikatakan sebagai segmen berdaya beli rendah. Bisa bisa mereka juga dikatakan OMB (orang miskin baru).
Karena itu tidak heran bila beberapa produk tidak lagi diminati oleh konsumen. Contohnya seperti : Anak kecil tidak lagi main mobilan dari kulit jeruk Bali atau mobilan dari bahan kayu. Anak remaja membelikan uang jajannya untuk pulsa Handphone daripada membeli makanan ringan. Makan tradisional banyak kalah dari makanan siap saji luar negeri.
Apabila memang kondisi yang kami amati seperti diatas, maka jangan heran bila terjadi kesenjangan taraf hidup yang lebih besar, antara OKB maupun orang yang mempunyai daya beli makin rendah. Termasuk makin kayanya pabrik besar dan makin matinya pabrik menengah kebawah akibat putusnya mata rantai di pasar tradisional.
Semoga saja para pejabat maupun pemda bisa segara membenahi pasar pasar tradisional sehingga tidak lagi sangat kotor dan kumuh serta berbau pesing. Memang tidak mudah, tetapi sangat ironis bila saja pasar tradisional makin terpuruk tetapi berita ekonomi Indonesia makin meningkat. Ironis bila Indonesia sudah menjadi negara sasaran Investasi dunia tetapi pasar tradisionalnya menjadi mati sungguhan. [caption id="attachment_158731" align="aligncenter" width="800" caption="Dilantai ini masih digunakan untuk jualan. Lokasi pasar masih bisa dibaca. Rata rata sekitar diatas 75 persen semua pasar tradisonal yang kami kunjungi sudah ditinggalkan pedagangnya. Dokumen pribadi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H