Mohon tunggu...
Dayan Hakim
Dayan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - persistance endurance perseverance

do the best GOD do the rest

Selanjutnya

Tutup

Money

MA60 Penyebab Kebangkrutan Merpati

15 Agustus 2021   23:51 Diperbarui: 15 Agustus 2021   23:53 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) --selanjutnya disebut Merpati- didirikan pada tahun 1962. Pada tahun 1979, Merpati menjadi anak perusahaan Garuda. Pada tahun 1997, Merpati dilepas kembali dari Garuda. Pada saat itu, Merpati dikenal sebagai penerbangan perintis di wilayah Indonesia Timur. Terdapat 19 rute penerbangan yang hanya dilintasi oleh Merpati.

Pada akhir tahun 2006, posisi keuangan Merpati sudah menunjukkan kondisi yang tidak sehat. Operasional perusahaan tidak mampu memberikan kontribusi laba bagi perusahaan, akibatnya posisi keuangan perusahaan semakin tergerus. Posisi aktiva perusahaan adalah sebesar Rp 672.7 milyar dengan ekuitas sebesar minus Rp1,49 trilyun.

Di lain pihak Merpati diharapkan dapat menjadi jembatan udara terutama untuk wilayah Indonesia Tengah dan Timur. Untuk dapat berfungsi sebagai jembatan udara, PT MNA membutuhkan tambahan armada pesawat dan pembiayaan yang cukup signifikan. Usaha untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan tidak memperoleh hasil yang diharapkan, mengingat kondisi keuangan perusahaan pada saat itu yang kurang baik.

Pada tahun 2005, salah satu hasil dari "The 7th Indonesia China Joint Commision Meeting", Pemerintah China melalui Bank Exim of China menawarkan concessional loan kepada pemerintah Indonesia untuk pembelian pesawat MA-60 sebanyak 15 buah kepada XAIC, China.

Merpati menindaklanjuti tawaran tersebut dengan melakukan kunjungan dan bernegosiasi dengan XAIC untuk pembelian pesawat tersebut, yang diakhiri dengan ditandatanganinya kontrak pembelian (Purchase Agreement) antara Merpati dengan XAIC pada tanggal 7 Juni 2006. Dalam kontrak pembelian tersebut terdapat klausul bahwa kontrak tersebut akan berlaku efektif apabila (1) telah memperoleh persetujuan untuk pembelian pesawat tersebut dari Pemerintah RI, (2) Tersedianya loan untuk membiayai pengadaan pesawat tersebut, dan (3) Kontrak pembelian pesawat tersebut telah ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Setelah purchase contract ditandatangani, Merpati mengajukan permohonan kepada Menteri Negara BUMN untuk pengurusan concessional loan kepada Pemerintah China yang selanjutnya pinjaman tersebut akan diteruskan ke Merpati dalam bentuk Subsidiary Loan Agreement (SLA). Sementara menunggu loan agrrement tersebut ditandatangani, Merpati menyewa 2 (dua) unit pesawat MA-60 dengan lease agreement tanggal 30 Januari 2007. Berdasarkan lease agreement tersebut, 2 (dua) unit pesawat MA-60 yang disewa merupakan bagian dari 15 unit pesawat yang akan dibeli, dan biaya sewa/lease yang dibayarkan akan dikembalikan kepada Merpati apabila purchase contract telah berlaku efektif.

Pengadaan pesawat dilakukan dengan penunjukan langsung kepada Xian Aircraft Industry Group Co Ltd (XAIC) dengan sumber dana dari Pemerintah China (melalui Bank Exim China) dalam bentuk concesional loan. Penunjukan langsung ini sesuai dengan persyaratan dalam concessional loan yang mengatur bahwa loan hanya dapat dipergunakan untuk pembelian pesawat MA-60 dari XAIC. Government Concessional Loan Agreement for The Procurement of Aircraft for National Airbridge Project antara Pemerintah RI yang diwakili oleh Kementerian Keuangan dan The Export Import Bank of China telah ditandatangani pada tanggal 5 Agustus 2008.

Harga untuk 1 (satu) unit pesawat MA-60 berdasarkan purchase contract adalah sebesar USD 14,1 juta. Tidak ada data pembanding harga dari produk yang sama untuk menilai kelayakan harga pesawat MA-60 dimaksud, walaupun pesawat jenis yang sama telah dijual ke 6 (enam) negara lainnya (diantaranya Zimbabwe, Philipina, Laos, dan Cina). Berdasarkan hasil studi kelayakan yang dilakukan oleh Tim Pengadaan Pesawat Merpati, apabila dibandingkan dengan pesawat lain sejenis (50 seaters) dari pabrikan yang berbeda, seperti pesawat bombarder dan ATR, harga MA-60 tersebut masih lebih rendah. Namun demikian, dalam proposal Direksi kepada Menteri Perhubungan yang dilampirkan dalam Surat Direktur Utama No. MNA/DZ/003/4/3/OPS-349 tanggal 17 Oktober 2005 menyatakan bahwa harga untuk pesawat MA-60 adalah USD 12,5 juta (negotiable). Harga tersebut sejalan dengan informasi lain dari Wikipedia adan Nepalitimes serta Hasil Kajian Tim Restrukturisasi Merpati yang dilakukan oleh PT PPA, yang menyatakan bahwa harga pesawat MA-60 berkisar antara USD 11 -- 12,5 juta.

Pesawat MA-60 telah memperoleh sertifikat tipe validasi dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara, Departemen Perhubungan RI pada tanggal 9 Mei 2006. Departemen Perhubungan juga menyatakan bahwa aspek rancang bangun dan sertifikasi pesawat MA-60 sudah memenuhi persyaratan standar kelaikan udara termasuk dukungan purna jual dan continuous airworthiness dari XAIC. Sesuai dengan ketentuan ICAO Annex 8 dan Undang-Undang RI No. 1 Tentang Penerbangan Tahun 2009 tidak ada ketentuan yang mewajibkan pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia harus memiliki sertifikat tipe dari FAA atau EASA.

Laporan kinerja teknis atas 2 (dua) unit MA-60 yang telah disewa menunjukkan MA-60 tidak beroperasi secara optimal karena adanya kerusakan komponen dan airframe structure, baik yang bersifat normal maupun premature, dan mempengaruhi keselamatan maupun aspek operasi pesawat.

XAIC juga belum mengupayakan untuk memperoleh sertifikat kelayakan udara atas MA-60 tersebut dari Amerika (FAA) maupun negara Eropa (EASA). Hal ini akan menimbulkan kesulitan apabila PT MNA bermaksud menjual pesawat MA-60 tersebut dikemudian hari, sebab tidak akan mudah menemukan peminatnya dibandingkan apabila pesawat tersebut telah mendapatkan sertifikasi dari Amerika dan Eropa.

Berdasarkan data dari Wikipedia diketahui bahwa pengguna komersil MA60 hanya 7 negara dengan 11 unit. Indonesia dalam hal ini Merpati yang memiliki 14 unit MA60 (1 jatuh) sudah tidak terdaftar lagi sebagai pengguna MA60. Sedangkan pengguna militer MA60 ada 8 negara dengan 16 unit.

Hasil kajian dari tim restrukturisasi Merpati yang dibuat tahun 2008 menunjukkan bahwa jika kontrak dilaksanakan as is maka cash flow yang dihasilkan dari operasional pesawat MA-60 menunjukkan hasil yang tidak memuaskan, yang menunjukkan adanya risiko tidak dapat dilunasinya utang Merpati sebesar USD 67 juta dan akumulasi defisit kas sebesar Rp 1,2 triliun. Kegagalan Merpati dalam membayar kewajiban SLA akan menjadi beban pemerintah dalam memenuhi kewajibannya kepada Bank Exim China.

Namun demikian, realisasi kinerja keuangan dari 2 (dua) buah pesawat MA-60 yang disewa oleh Merpati menunjukkan bahwa secara umum, dalam kondisi normal, operasional pesawat tersebut masih memberikan contribution margin yang positif. Selain itu, Merpati juga telah telah menyusun proyeksi keuangan dengan mengasumsikan bahwa ke 15 unit pesawat akan diterima dan dioperasikan mulai pertengahan tahun 2010. Proyeksi yang dilakukan menunjukkan bahwa pengoperasioan ke 15 pesawat MA-60 tersebut akan memberikan hasil yang positif, baik terhadap net income maupun terhadap cash flow.

Jika Merpati/Pemerintah RI saat itu membatalkan perjanjian jual beli pesawat MA-60 maka akan berdampak pada somasi/tuntutan dari pihak XIAC karena PT MNA dianggap telah melanggar kontrak. Hal ini telah disampaikan oleh lawyer XAIC (Kelvin Chia) dengan surat No. JC/rr/SIN.2008003511-XA tanggal 21 Januari 2009, yang menyebutkan bahwa lambatnya penyelesaian/realisasi pembelian oleh PT MNA telah menimbulkan kerugian bagi XIAC sebesar USD 88.239.640. Dengan demikian, apabila pengadaan pesawat ini dibatalkan maka potensi kerugian yang harus ditanggung oleh PT MNA dan Pemerintah adalah minimal sebesar USD 88.239.640.00 tersebut.

Pihak Kementerian Negara BUMN mendorong Merpati untuk melawan ancaman itu. Merpati mengaku tidak rela dipaksa menerima kontrak pembelian pesawat dari pabrikan China. Kontrak tersebut dinilai sangat bisa membuat Merpati bangkrut. Hal ini disampaikan Sesmenneg BUMN sekaligus Komisaris Merpati Said Didu di sela-sela rapat dengar pendapat Pertamina dengan Komisi VII di gedung DPR, Jakarta, Senin (23/2/2009).

"Merpati tidak rela dipaksa menerima deal itu dan nantinya bangkrut," katanya. Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan baik-baik bagaimana dampaknya terhadap beban Merpati di masa depan. Namun ternyata pembelian MA60 jalan terus dan Subsidiary Loan Agreement juga telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan RI.

Akhirnya terbukti bagamana sebenarnya kinerja MA60. Pada 7 Mei 2011, Xian MA60X milik Merpati Nusantara Airlines jatuh ke laut saat akan mendarat di Bandar Udara Utarom, Kaimana, Papua Barat. Seluruh penumpang dan awak yang berjumlah 27 orang tewas. Tanggal 10 Juni 2013, Pesawat Merpati MA60 tujuan Bajawa-Kupang mengalami kecelakaan di Bandara El Tari Kupang, NTT. Pada 7 Januari 2012, pukul 15.45 WIB, Merpati jenis MA-60 dengan nomor MZ 536 terperosok di Bandar Udara Hasi ASan Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, Pesawat rute Surabaya-Sampit ini dipiloti oleh Kapten Saptono dan kopilot Fauldort. Pesawat ini membawa 46 penumpang dewasa, 10 anak-anak, enam bayi dan enam awak pesawat. Dalam insiden tersebut tidak ada korban jiwa dan seluruh penumpang selamat.

Kelanjutannya adalah pada tanggal 1 Februari 2014, Direksi mengumumkan Merpati berhenti beroperasi karena beban utang kepada sejumlah kreditur mencapai Rp10,72 triliun. Tak hanya itu, perusahaan juga masih memiliki tunggakan pesangon untuk mantan karyawan sebesar Rp365 miliar. Dahlan Iskan, Menteri BUMN saat itu menyampaikan pemulihan maskapai memerlukan dana mencapai Rp15 triliun untuk memenuhi pembayaran upah karyawan dan membayar utang. Kala itu, Dahkan menilai rencana untuk menghidupkan kembali maskapai sudah sulit dilakukan karena restrukturisasi aset tidak menguntungkan. Hal ini sesuai dengan ramalan Sesemenneg BUMN Said Didu pada tanggal 23 Februari 2009.

Tanggal 10 April 2016, Merpati lolos dari gugatan pailit yang diajukan karyawan dan eks karyawannya. Majelis hakim Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat menolak permohonan tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 17 Februari 2016, Merpati digugat dalam kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Prathita Titian Nusantara. Gugatan itu berlanjut hingga November dan Desember 2017. Dengan penggugat yang berbeda, pada Juni 2017 dan 15 Januari 2018, Merpati digugat oleh PT Parewa Katering, perusahaan jasa penyedia makanan yang memasok kebutuhan penumpang maskapai. Akhirnya, Pengadilan Niaga Surabaya tanggal 14 November 2018 mengabulkan permohonan PKPU dan memerintahkan tim pengurus memanggil Merpati dan kreditur untuk menyusun proposal perdamaian penyelesaian utang.

Tidak ingin berakhir pailit, Merpati menggunakan kesempatannya mengajukan proposal perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam proposal perdamaian tersebut, Merpati menawarkan sejumlah perjanjian kepada para kreditur (pemberi pinjaman) untuk memenuhi kewajibannya membayar utang yang selama ini tertunggak. Berdasarkan jenis krediturnya, Merpati memiliki utang kepada kreditur konkuren (kreditur tidak berjamin) sebesar Rp 5,2 triliun. Kemudian, utang kepada kreditur separatis (pemegang jaminan) sebesar Rp 3,3 triliun dan kreditur preferen seperti para pekerja mencapai Rp 1,7 triliun.

Terhadap para kreditur tersebut, Merpati menawarkan sejumlah mekanisme perjanjian penyelesaian utang atau restrukturisasi yang diajukan dalam proposal perdamaian. Dalam mekanisme tersebut, terdapat utang yang dibayarkan penuh dan sebagian. Kemudian, Merpati juga menawarkan opsi perubahan atau konversi utang menjadi penyertaan modal (debt equty swap). Tidak hanya itu, Merpati meminta kepada para kreditur untuk menghapus bunga serta denda dari pokok utang perseroan.

MA60 menyeret Merpati kepada kebangkrutan. Tiga tahun sudah berlalu, namun Merpati tidak kunjung terbang juga. Sangat berbeda dengan kondisi Djakarta Lloyd pasca PKPU. Perlu juga dipertanyakan kemampuan Direksi mengatasi berbagai permasalahan pasca PKPU.

==DR Dayan Hakim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun