"Bapak ngajarnya ribet banget, apa ada cara mudah untuk investasi saham?" adalah pertanyaan yang sering diajukan mahasiswaku. Ini gambaran umum Gen Y, maunya serba instant.Â
Sementara itu ilmu manajemen keuangan semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Pengolahan data membuat semakin mudah menyusun simulasi model harga saham untuk menyusun peramalan harga saham yang semakin realistis.
Banyak teori yang dapat dipelajari untuk menyusun portofolio yang ciamik seperti Single Index Model, Constant Correlation Model, Capital Asset Pricing Model, Arbitrage Pricing Model dan masih banyak lagi.Â
Semua membutuhkan ketekunan dan ketelitian dalam menyusun model-model tersebut. Perhitungan tersebut mengacu pada data historis pasar modal untuk kemudian disusun model yang akan dihitung dengan mempergunakan SPSS ataupun eViews.
Model perhitungan sebenarnya cukup mudah dipahami dan hasilnya pun cukup akurat untuk dimanfaatkan sebagai prediksi harga saham. Namun demikian, banyak trader dan investor yang malas baca.Â
Mereka menyederhanakan persoalan dengan melakukan analisis fundamental dan analisis teknikal dalam melakukan penilaian atas harga saham.
Untuk newbee dan ibu rumah tangga yang melakukan investasi saham atas 2 atau 3 jenis saham saja, model ini boleh saja diterapkan. Kriterianya adalah saham tersebut memiliki trend positif dan memberikan hasil yang memadai diatas bunga deposito.Â
Apakah investasi tersebut dapat memberikan hasil yang optimal? Belum tentu, karena model yang dibangun ini terlalu sederhana.
Model dibangun dengan menyusun prediksi harga saham terlebih dahulu. Bagi newbee dan ibu rumah tangga sebaiknya mulai dengan saham yang ada dalam LQ30.Â
Misalnya harga saham BBCA tanggal 1 Desember 2017 sebesar 20.350 dan tanggal 2 Januari 2018 sudah naik menjadi 21.900. Yield yang diperoleh adalah ln dari (21.900/20.350) atau sebesar 7,34%.Â
Ini hanya sekedar contoh, bukan rekomendasi. Sekarang kita bandingkan dengan rata-rata tingkat bunga deposito per 2 Januari 2018 sebesar 6,2%. Hasil yang diperoleh sudah cukup baik dengan selisih 1,34% diatas bunga deposito.
Langkah pertama yang dilakukan adalah analisis fundamental. Terdapat beberapa variable yang umum dipergunakan dalam melakukan analisis fundamental.Â
Analisis fundamental dilakukan terhadap kondisi perekonomian secara umum. Hal ini untuk melihat bagaimana pengaruh kondisi perekonomian terhadap harga saham.Â
Untuk contoh perhitungan kali ini kita hanya mempergunakan 2 variabel saja misalnya tingkat bunga kredit dan tingkat inflasi. Dari data diketahui tingkat bunga kredit (prime lending rate) per 1 Desember 2017 sebesar 9,8% dan per 2 Januari 2018 sebesar 9,9% sehingga terdapat kenaikan sebesar 0,1%.Â
Dengan kondisi seperti ini, seharusnya kita memperoleh yield sebesar 8,45% yang diperoleh dari kenaikan tingkat bunga kredit dibagi hasil saham yang diharapkan dikalikan tingkat bunga deposito. (0,1/7,34 x 6,2)
Variabel berikutnya adalah inflasi. Data inflasi per 1 Desember 2017 sebesar 3,49% dan per 2 Januari sebesar 3,02% sehingga terdapat penurunan sebesar 0,47%.Â
Kondisi demikian, seharusnya yield yang diperoleh  -0,01% yang diperoleh dari kenaikan tingkat inflasi dibagi hasil saham yang diharapkan dikalikan tingkat bunga deposito. (-0,45/7,34 x 6,2).Â
Bila kedua variable masing-masing diberi bobot 0,6 dan 0,4 maka penjumlahan hasil kedua variable tersebut menjadi 3,37%. Artinya yield sebesar 7,34% lebih tinggi dibandingkan kondisi fundamental ekonomi yang diwakili oleh kedua variable tersebut.
Selanjutnya kita lakukan analisis teknikal. Analisis teknikal dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh kinerja perusahaan terhadap harga saham. Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan analisis teknikal ini.Â
Banyak variable yang biasa dipergunakan dalam melakukan analisis teknikal. Untuk contoh perhitungan kali ini kita hanya mempergunakan 2 variabel saja misalnya pertumbuhan laba usaha (income growth) dan Return on Equity (ROE).Â
Dari data laporan keuangan emiten yang dipublikasikan diketahui bahwa pendapatan usaha BBCA tahun 2016 diketahui sebesar Rp20,6 triliun sedangkan tahun 2017 sebesar Rp23,3 triliun sehingga terdapat kenaikan 1.131. Bila dimasukan dalam perhitungan ln diperoleh 0,12. Dengan kondisi pertumbuhan laba bersih seperti ini maka yield yang diharapkan sebesar 10,40 yang diperoleh dari perhitungan (0,12/7,34) x 6,2%.
Variabel berikutnya adalah ROE dimana dari data yang ada diketahui ROE tahun 2016 sebesar 20,5% dan tahun 2017 sebesar 19,2% sehingga terjadi penurunan ROE sebesar 1,3%.Â
Bila dimasukan dalam perhitungan (-1,3/7,34) x 6,2% maka diperoleh angka sebesar -0,03% yang artinya dengan adanya penurunan ROE maka hasil yang diharapkan hanya sebesar -0,03%.Â
Bila kedua variable masing-masing diberi bobot 0,6 dan 0,4 maka penjumlahan hasil kedua variable tersebut menjadi 4,14%. Artinya yield sebesar 7,34% lebih tinggi dibandingkan kondisi teknikal internal yang diwakili oleh kedua variable tersebut.
Kedua analisis tersebut harus dilakukan terpisah. Model perhitungan seperti ini dapat diterapkan pada hampir semua jenis saham. Namun perlu diingat bahwa prediksi perhitungan ini hanya berlaku bagi 2 atau 3 saham saja dan tidak digabungkan dalam satu perhitungan hasil (portofolio) dengan nilai yang tidak signifikan.Â
Batasannya biasanya adalah dibawah Rp50 juta untuk masing-masing saham. Model perhitungan ini tidak teruji secara akademik dan terlalu disederhanakan. Model perhitungan ini hanya untuk membantu para newbee dan ibu rumah tangga dalam melakukan investasi saham sendiri.
==rgds / dokday
DISCLAIMER
Artikel ini bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Segala risiko dan kerugian yang timbul akibat penggunaaan informasi dalam artikel ini merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing trader dan investor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H