Banyak transaksi Merger dan Akuisisi yang terjadi pada sector perbankan pada tahun 2019. Nilai transaksi juga fantastis. Aksi korporasi ini diambil oleh para banker untuk melakukan konsolidasi keuangan dan perluasan cakupan pasar yang lebih komprehensif. Meski demikian, tujuan aksi korporasi ini tetap menjadi pembahasan utama studi manajemen keuangan.
Merger dan Akuisisi sector perbankan di tahun 2019 diawali dengan konsolidasi PT Bank Agris Tbk (AGRS), PT Bank Mitra Niaga Tbk (NAGA) dan Industrial Bank of Korea (IBK). Pada 15 Januari 2019, IBK resmi menjadi pemegang saham pengendali AGRS dengan membeli 95,79% atau setara 5,03 miliar dengan harga pembelian Rp 288/saham, sehingga total transaksi mencapai Rp 1,14 triliun.
Pada akhir Januari 2019, IBK merampungkan transaksi pembelian atas 1,17 miliar saham NAGA dengan harga pembelian 409/saham. Ini berarti total transaksi senilai Rp 478,53 miliar. NAGA kemudian akan dilebur ke dalam AGRS dengan nama barunya yakni PT Bank IBK Indonesia Tbk yang dirampungkan pada 31 Juli 2019.Â
Sekadar informasi, saat ini pemegang saham Bank Agris adalah PT Dian Intan perkasa dengan kepemilikan 82,59% dan sisanya merupakan saham milik publik. Sedangkan pemegang saham mayoritas Bank Mitraniaga adalah Yeo Willy Yonathan dengan kepemilikan sebesar 72,07%. PT Sarana Steel Corporation juga memegang 9,89% saham Bank Mitraniaga. Adapun sisanya dimiliki Kamtono Kosasih sebanyak 5,1%.
Berikutnya adalah merger antara PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dan PT Bank Sumitomo Mistui Indonesia (SMBCI). Bank terbesar kedua di Jepang, SMBCI, resmi memegang kepemilikan atas 97,34% saham BTPN atau setara 7,93 miliar unit saham pada akhir Januari 2019. Proses negosiasi Bank BTPN cukup lama dan cukup alot terkait harga dan budaya kerja.Â
BTPN dan SMBC merupakan anak usaha dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC). SMBC merupakan pemegang saham pengendali di BTPN dan SMBCI dengan porsi kepemilikan saat ini di masing-masing bank adalah sebesar 40% dan 98,48%. Pengambil alihan tersebut tercatat seiring dengan transaksi penambahan saham sebanyak 3,33 miliar unit atau sekitar 56,98% pada harga Rp 4.282/saham yang dilaksanakan pada 31 Januari 2019. Ini berarti total dana yang dikeluarkan mencapai Rp 14,26 triliun. sejak tanggal 1 Februari 2019 terjadi perubahan komposisi pemegang saham PT Bank BTPN Tbk. Kini 97,34% saham BTPN dimiliki Sumitomo Mitsui Banking Corporation, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 0,15%, PT Bank Cental Asia Tbk (BBCA) 1,02% dan Publik 1,49%.
Yang lebih fantastis adalah merger dan akuisisi antara PT Bank Danamon Tbk (BDMN), PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BBNP) dan PT Mitsubishi UFJ Financial Group Bank (MUFG). Bank terbesar asal Jepang, MUFG, resmi menguasai 94,1% atau setara 9,2 miliar unit saham BDMN pada 29 April 2019. Bank Nusantara Parahyangan demerger oleh Bank Danamon, kemudian saham Bank Danamon diakuisisi oleh Bank MUFG. Total transaksi yang tercatat mencapai Rp 52,58 triliun, dimana ini termasuk nilai transaksi penggabungan BDMN dengan PT Bank Nasional Parahyangan Tbk (BBNP). Sebelumnya, pada 1 Mei 2019, BDMN dan BBNP telah resmi melakukan penggabungan usaha, dimana BDMN menjadi surviving entity atau entitas yang dipertahankan.
Merger dan akuisisi lainnya adalah antara PT Bank Dinar Indonesia Tbk (DNAR), PT Bank Oke Indonesia (BOI) oleh APRO Financial Co. Ltd (APRO). DNAR resmi mencatatkan penggabungan usaha dengan BOI pada 15 Juli 2019 setelah akhirnya mendapat persetujuan dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Sama halnya dengan BDMN, DNAR adalah entitas yang dipertahankan setelah penggabungan usaha. Namun akan dilakukan re-branding nama bank menjadi PT Bank Oke Indonesia Tbk, karena "OK Bank" adalah brand image dari APRO. Untuk diketahui, DNAR sebelumnya sudah diakuisisi oleh investor asal Korea Selatan, APRO, yang saat ini memiliki 77,38% saham DNAR dan 99% saham BOI. Sisa 1% saham BOI dimiliki oleh I Wayan Gatha selaku pendiri. Direktur Utama Bank Dinar Hendra Lie menuturkan sebelumnya, pihak investor asing asal Korea Selatan yaitu APRO Financial Co. Ltd sudah merampungkan proses akuisisi Bank Dinar pada 25 Oktober 2018 lalu.
Di penghujung 2019, BCA melakukan akuisisi Bank Rabo setelah sebelumnya menyelesaikan proses akuisisi Bank Royal. Dalam Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) yang ditandatangani oleh anak usaha BCA, BCA Finance sebagai pembeli dengan Cooperative Rabobank UA, PT Aditirta Suryasentosa, PT Anatarindo Optima, PT Antariksabuana Citanagara dan PT Mitra Usaha Kencana Sejati sebagai penjual. BCA Finance akan membeli sebanyak 3.719.070 saham Rabobank Indonesia yang mewakili seluruh modal yang ditempatkan dan disetor oleh para penjual dengan nilai transaksi diperkirakan sebesar Rp 397 miliar. Nilai tersebut akan dilakukan penyesuaian dengan memperhitungkan pendapatan atau kerugian Rabobank Indonesia pada saat tanggal penyelesaian rencana transaksi.Â
Sebelumnya, pada April 2019, BCA juga mengumumkan secara resmi mengakuisisi Bank Royal Indonesia. Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 16 April 2019, BCA dan anak usahanya BCA Finance sudah membeli seluruh saham PT Bank Royal Indonesia dari PT Royalindo Investa Wijaya, Leslie Soemadi, Ibrahim Soemadi, Nevin Soemadi dan Ko, Sugiarto. Transaksi akuisisi Bank Royal ini mencapai Rp 1,007 triliun dan transaksi ini tidak termasuk dalam transaksi material.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiatmadja mengungkapkan, BCA sudah menyusun rencana akuisisi sejak tahun lalu. Kala itu, BCA telah menyiapkan dana sekitar Rp 4,5 triliun untuk akuisisi bank dan menambah modal anak usaha. BCA juga menepis kabar rencana untuk mengakuisisi Bank Harda. Selain itu BCA juga pernah mengkonfirmasi kalau pihaknya tidak berencana mengakuisisi Bank Panin.Â
Selain itu, Jahja juga mengatakan kalau pihaknya tidak berencana mengakuisisi Bank Ina Perdana, Bank Mestika, Bank Index dan Bank Capital. Lebih lanjut Jahja mengatakan proses merger Bank Royal dengan BCA Syariah akan tuntas pada 2020. Adapun saat ini, Bank Royal memiliki aset sekitar Rp 400-500 miliar. Sedangkan BCA Syariah menghimpun aset Rp 800 miliar. Sehingga total aset bank syariah yang terbentuk diperkirakan mencapai kisaran Rp 1,3 triliun.
Rencana merger untuk membentuk bank syariah ini merupakan perubahan terbaru karena sebelumnya bank swasta terbesar di Indonesia itu ingin mengakuisisi Bank Royal dan menjadikannya bank yang berfokus pada digital perbankan. (Tempo, 12 Juni 2019) Namun, BCA merasa mampu mengakomodir layanan digital perbankan tanpa harus membeli entitas perbankan lain, atau membentuk anak usaha baru. "Kami bisa membuat digital tanpa menghapus yang lama (konvensional)," ujarnya. Dengan begitu layanan digital perbankan akan tetap menggunakan wadah induk usaha BCA.Â
Jahja mengklaim produk digital perbankan BCA seperti "One Click" dan "Kode QR" sudah meraup jumlah nasabah yang signifikan. Jika rencana merger BCA Syariah dan Royal itu terealisasi, maka bank yang terbentuk akan menjadi Bank Umum Kegiatan Usaha II atau BUKU II atau bank bermodal inti Rp 1 triliun- Rp 5 triliun. Jahja mengaku belum memilki rencana untuk membuat bank syariah tersebut sebagai perusahaan terbuka di pasar saham.
Maraknya transaksi Merger dan Akuisisi di sector perbankan memang menguntungkan bagi Pemerintah RI. Menurut Data OJK 2018, terdapat 4 bank BUMN, 74 bank Umum dan 27 Bank Pembangunan Daerah. Jumlah ini masih terlalu banyak mengingat beratnya unsur pengawasan dan semakin meningkatnya persaingan global. Konsolidasi perbankan akan mengurangi jumlah bank sekaligus meningkatkan nilai keuangan bank itu sendiri.
Kebijakan Bank Indonesia tentang Single Presence Policy juga memaksa untuk dilakukannya merger dan akuisisi di sector perbankan. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kebijakan Kepemilikan Tunggal Perbankan pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa kepemilikan tunggal perbankan adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) bank.Â
Kemudian Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 9/32/DPNP Tahun 2007 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia mengatur mengenai opsi pengalihan saham kepada pihak lain, dalam hal pemegang saham pengendali yang memiliki dua bank  atau lebih tidak bermaksud untuk melaksanakan merger atau konsolidasi, atau membentuk Bank Holding Company bagi bank-bank di bawah pengendaliannya, maka pemegang saham pengendali dapat mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank.
Pada dasarnya single presence policy bertujuan untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Hal ini selaras dengan prinsip utama dari arsitektur perbankan Indonesia yaitu mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan system keuangan dalam rangka membantu mendorong pertmbuhan ekonomi nasional.Â
Di samping itu, single presence policy merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung efektivitas pengawasan bank yang dalam hal itu dilakukan oleh BI. Single presence policy mengharuskan kepada para pemegang saham pengendali di bank yang satu grup usahanya untuk mengkonsolidasikan kepemilikan sahamnya di suatu bank yang dimaksud.
Merujuk pada regulasi single presence policy maka merger dan akuisisi di sector perbankan tersebut diatas diakibatkan oleh kepemilikan pada beberapa bank sekaligus sehingga harus dikonsolidasikan di suatu bank. Akhirnya, Bankers dari Korea dan Jepang yang telah membeli beberapa bank sekaligus dari berbagai jenis perbankan, namun harus dikonsolidasikan di dalam satu bank saja.
Secara umum, motif pengusaha untuk melakukan merger dan akuisisi adalah untuk memperoleh sinergi usaha, diversifikasi usaha, menghemat pajak, memperoleh asset dibawah replacement value serta mempertahankan pengendalian. Sehubungan dengan hal tersebut, Bankers dari Korea dan Jepang melihat bahwa pertumbuhan perekonomian di Indonesia sedang bertumbuh dengan pesat.Â
Untuk itu dibutuhkan bank yang besar dan kuat untuk menopang kebutuhan pembiayaan pembangunan. Dengan membeli beberapa bank menengah untuk kemudian dikonsolidasikan dalam satu bank maka akan diperoleh sinergi keuangan dan asset yang kokoh sehingga bank dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Disamping itu, pasar yang ada juga dapat didiversifikasi untuk memperoleh cakupan pasar yang lebih luas dalam pengembangan usaha. Kedua hal ini dapat memberikan nilai tambah pada bank hasil merger.
Penambahan nilai bank gabungan berkat perbaikan bauran aset produktif, perbaikan penentuan harga, pemangkasan biaya operasi per unit, kesempatan memasuki pasar baru, penawaran produk baru, dan akses ke core deposits. Semuanya itu dimasukkan dalam analisis pada harga berapa pengambil alih akan membayar bank target atau pada harga minimal berapa penjual mau menerima. Pemegang saham bank target memfokuskan perhatian pada premi relatif atas harga saham sebelum pengumuman transaksi.Â
Dalam transaksi dengan kas, premi mencerminkan kenyataan kenaikan nilai dari transaksi. Jika pengambil alih ingin mempertukarkan saham perusahaan pembeli dengan saham perusahaan target, pemegang saham target untung jika nilai dari saham perusahaan baru melebihi nilai dari saham perusahaan target sendiri. Itu menunjukkan suatu kenaikan dalam nilai jika saham dapat segera dilikuidasi untuk lebih daripada nilai saham target, atau jika arus kas yang diharapkan dengan memegang saham baru melebihi daripada hanya memegang saham target.
Prosedur lain adalah premi atas nilai buku. Kebanyakan bankir dan analis pasar mendiskusikan harga berdasarkan nilai buku, yakni ekuisitas pemegang saham seperti yang dilaporkan dalam neraca dan setara dengan jumlah aset dikurangi utang. Nilai buku per lembar saham setara dengan nilai buku dari  ekuisitas pemegang saham dibagi dengan jumlah saham yang beredar.Â
Premi atas nilai buku dalam transaksi adalah selisih antara harga per lembar yang ditawarkan kepada pemegang saham target dengan nilai buku per lembar saham bank target, biasanya dinyatakan dalam persen. Prosedur itu mempunyai kelemahan karena nilai buku tidak menunjukkan nilai ekonomi yang sebenarnya. Umumnya, premi atas nilai buku dipertimbangkan jika hasil yang diharapkan relatif lebih besar daripada risiko yang berkaitan atau jika akuisisi memberikan keuntungan yang tidak dapat diukur secara langsung.
Dari lima transaksi merger dan akuisisi sector perbankan tahun 2019, jelas nampak bahwa hanya transaksi yang dilakukan oleh BCA yang memakai pertimbangan premi atas nilai buku. Murah tapi bagus, mungkin begitu yang ada dipikiran pak Jahja. Sedangkan bankers dari Korea dan Jepang tetap memakai pertimbangan bahwa transaksi merger dan akuisisi ini akan memberikan keuntungan arus kas di masa mendatang baik itu berupa dividen ataupun berupa pertambahan nilai perusahaan. Itulah sebabnya kepemilikan yang diakuisisi lebih dari 90% sehingga dapat dikonsolidasikan sepenuhnya di dalam perusahaan induk.
Meskipun demikian, ada tujuh aturan main dalam merger dan akuisisi (the seven rules) yang harus dipenuhi agar merger dan akuisisi tidak mengalami kegagalan, yakni (a) visi setelah merger dan akuisisi; (b) kepemimpinan (menghindari kekosongan kepemimpinan agar tidak berakibat hilangnya motivasi karyawan); (c) pertumbuhan (fokusnya bukan jangka pendek, melainkan pertumbuhan yang sustainable); (d) early wins (faktanya pekerja belum tentu siap begitu merger diumumkan); (e) corporate culture (perubahan budaya tidak dapat secara cepat); (f) komunikasi (perlu formulasi komunikasi yang tepat); dan (g) manajemen risiko (perhatian lebih dalam terhadap risiko). Membandingkan kelima transaksi merger dan akuisisi perbankan yang terjadi di tahun 2019 terhadap seven rules ini dapat menjadi bahan materi skripsi dan thesis tersendiri bagi mahasiswa manajemen keuangan. Sekali-sekali skripsi dan thesis mahasiswa manajemen keuangan bersifat deskriptif kualitatif, tidak melulu analisis kuantitatif. Pembahasan untuk tiap variable dapat mencapai 100 halaman skripsi atau thesis.
Mengacu pada 7 variabel tersebut diatas maka penulis mencoba menyusun skoring terhadap kelima transaksi merger dan akuisisi perbankan 2019. Skor tertinggi sebesar 89,77 diperoleh Bank Dinar dengan Bank Oke yang menjadi Bank Oke dengan Pemegang Saham Pengendali (PSP) adalah APRO, Korea. Peringkat kedua dengan skor sebesar 76,51 dipegang oleh Bank Royal dan Bank Rabo yang di merger kedalam Bank BCA Syariah dengan PSP adalah Bank BCA.Â
Peringkat berikutnya dengan skor 72,15 diperoleh merger antara Bank BTPN dengan Bank SMBCI menjadi Bank BTPN dengan PSP adalah SMBC, Jepang. Selanjutnya diperoleh skor 62, 87 dari merger Bank Agris dengan Bank Naga menjadi Bank IBK Indonesia dimana PSP adalah IBK, Korea. Peringkat terakhir dengan skor 58,25 diperoleh dari merger Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan menjadi Bank Danamon dengan PSP adalah MUFG, Jepang.
Melihat uraian diatas, nampak bahwa konsolidasi perbankan merupakan hal yang penting dilakukan oleh para bankers agar perusahaannya lebih kokoh dan memiliki daya saing yang kuat. Seharusnya konsolidasi keuangan tersebut diikuti juga oleh sector industry lainnya di Indonesia. Hal ini perlu agar perusahaan milik Indonesia punya skala bisnis yang lebih besar dan mengesampingkan egois sectoral dari individu pengusaha. Hal ini mungkin dapat dimulai dari BUMN terlebih dahulu, misalnya penggabungan usaha Pelindo I -- IV yang diikuti dengan melepas 20% sahamnya ke Publik. Dengan melihat keberhasilan BUMN tersebut niscaya sector swasta juga mau turut melakukan konsolidasi keuangan.
@dokday 02022020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H