Mohon tunggu...
Dayan Hakim
Dayan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - persistance endurance perseverance

do the best GOD do the rest

Selanjutnya

Tutup

Money

Kisah Sedih Terpuruknya Djakarta Lloyd

9 Januari 2017   13:02 Diperbarui: 9 Januari 2017   14:14 5385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berawal dari mimpinya si kecil Prof BJ Habibie untuk membangun perusahaan pelayaran Indonesia yang hebat maka tahun 1995 Pemerintah RI memberikan Djakarta Lloyd berupa 12 unit shipset Caraka Jaya Niaga III container 200 teuss buatan Jerman , 12 unit shipset Caraka Jaya Niaga III container 200 teuss buatan Jepang yang ditujukan sebagai feeder dan 5 unit shipset Palwo Buwono container 1600 teuss buatan Jerman yang ditujukan sebagai poros tersebar di 9 galangan kapal. Apa daya, pada tahun 1998 krisis moneter melanda Indonesia.

Pada periode awal tahun 1990-an, sebenarnya Djakarta Lloyd telah memiliki 22 unit kapal yang tangguh dan hebat yang berlayar sampai ke Hamburg, Durnham dan New York. Namun di awal tahun 1990 pola angkutan laut mulai berubah. General Cargo yang biasanya dibungkus dengan palet kayu atau polybag kini sudah dimasukkan ke dalam container 10” atau 20”. Struktur kapal yang ada juga berubah, yang semula kapal besar dengan palka tertutup menjadi kapal datar dengan palka terbuka. Prof BJ Habibie memahami hal tersebut dan mempersiapkan Djakarta Lloyd untuk melakukan transformasi bisnis dan management changedari angkutan breakbulk menjadi container regular liner.

Sayangnya Direksi Djakarta Lloyd saat itu dibawah pimpinan Muntaqa tidak mampu mengemban amanat sang Profesor. Padahal Djakarta Lloyd hanya ditugasi menyediakan biaya jahitnya, shipset-nya sudah disediakan oleh Pemerintah. Muntaqa cs bahkan menyisakan hutang Medium Term Notes yang amat besar yang kelak menjadi malaikat pencabut nyawa bagi Djakarta Lloyd. Dari 24 unit shipset Caraka Jaya Niaga III container 200 teuss tersebut, Djakarta Lloyd hanya mampu menyelesaikan pembangunan 9 unit saja, sisanya kini menjadi sampah belaka.

Kepemimpinan Djakarta Lloyd kemudian beralih kepada Manoppo cs yang dapat menyelesaikan pembangunan 5 unit Palwo Buwono seluruhnya. Namun saat itu, ternyata Pelindo I-IV belum siap melayani angkutan peti kemas (container regular liner). Manoppo cs kemudian menyewakan kelima unit kapal Palwo Buwono keluar negeri sedangkan 9 unit CNJ III dimanfaatkan untuk pelabuhan tertentu saja yang sudah siap dengan Terminal Peti Kemas kapasitas kecil. Pembangunan sisa shipset CNJ III dihentikan. Disisi lain, 22 unit kapal Djakarta Lloyd yang sudah tua dan telah berumur lebih dari 30 tahun secara berangsur di scrap. Kebijakan ini membuat berang pihak Kementerian Perhubungan.

Hanya dua tahun, Manoppo cs diganti dengan Tantawi cs. Tantawi sebelumnya adalah Direktur Keuangan Pelindo II. Disinilah mulai keterpurukan Djakarta Lloyd. Lima kesalahan fatal Tantawi cs membuat Djakarta Lloyd mulai menggali liang kuburnya. Kesalahan pertama adalah membatalkan sewa dengan pihak luar negeri yang dilakukan oleh Manoppo cs dan mencoba membangun sendiri container regular liner. Setelah dua tahun dijalani akhirnya terbukti bahwa TPK Kodja dan TPK Berlian memang tidak sanggup untuk melayani kapal container berkapasitas 1600 teuss. Karena terpaksa, akhirnya 5 unit kapal Palwo Buwono tersebut kembali harus disewakan keluar negeri dengan nilai sewa yang menyakitkan hati.

Kesalahan kedua Tantawi cs adalah mengembalikan seluruh asset tanah Djakarta Lloyd kepada Pelindo. Pada jaman dahulu Djakarta Lloyd adalah penguasa lahan pelabuhan, namun karena Undang-undang, seluruh areal pelabuhan adalah Hak Pengelolaan Pelabuhan yang dipegang Pelindo maka Djakarta Lloyd harus mengalah dan merelakan assetnya dengan gratis kepada Pelindo dengan syarat Djakarta Lloyd memiliki hak prerogatif atas areal pelabuhan untuk pengembangan bisnisnya. 

Dibawah kepemimpinan Tantawi cs ini, areal milik Djakarta Lloyd yang strategis dikembalikan kepada Pelindo sehingga Djakarta Lloyd tidak memiliki areal untuk Depo container dan warehouse. Djakarta Lloyd sebagai perusahaan pelayaran angkutan container regular dengan 5.500 unit container tidak memiliki depo container. Akhirnya Djakarta Lloyd terpaksa menyewa tempat ke anak-anak perusahaan Pelindo untuk menyimpan container miliknya.

Kesalahan ketiga Tantawi cs adalah memisahkan operasional dua anak perusahaannya yang semula dilaksanakan dilakukan one stop service dengan system layanan satu atap. PT Dharma Lautan Nusantara yang bergerak di bidang staffing, stevedoring, cargodoring dan warehousing harus mencari customer-nya sendiri sedangkan staff Djakarta Lloyd diperkenankan mencari staffing, stevedoring, cargodoring dan warehousing pihak ketiga dengan harga yang kompetitif. PT Daya Laut Utama yang bergerak di bidang shipping maintenance dan depo container-workshop and repair diminta untuk mencari customer-nya sendiri sedangkan staff Djakarta Lloyd diperkenankan mencari shipping maintenance dan depo container-workshop and repair pihak ketiga dengan harga yang kompetitif.

Kesalahan keempat Tantawi cs adalah menjadikan hutang Medium Term Notes yang semula tidak memiliki hak agunan dan hanya memiliki hak sisa menjadi memiliki memiliki hak agunan dan hak tagih terlebih dahulu. Disisi lain, kinerja operasional Djakarta Lloyd tidak memuaskan sementara hutang bank semakin membengkak.

Kesalahan kelima Tantawi cs adalah tidak memulai untuk membangun Good Corporate Governance, Management Risk, dan Internal Control yang memadai di Djakarta Lloyd. Pada tahun 2005, disaat hampir seluruh BUMN mulai berbenah dengan menerapkan GCG, MR dan Internal Control dalam setiap lini operasinya, ternyata Djakarta Lloyd tidak ikut berbenah. Pembusukan manajemen dari atas sampai ke lini terbawah telah terjadi. Setiap unsur Djakarta Lloyd berlomba-lomba mengambil dari perusahaan. Tidak ada yang peduli kepada kinerja operasional perusahaan. Djakarta Lloyd dibiarkan membusuk.

Kepemimpinan Tantawi cs kemudian digantikan oleh Capt. Bravo. Kepemimpinan Capt Bravo yang sepupunya Rano Karno – keponakannya Benyamin S tidak sampai setahun. Beliau mengundurkan diri dari Dirut dan ikut nyaleg di DPR. 11 November 2008 kepemimpinan beralih ke Capt Adrian cs. Prahara di Djakarta Lloyd dimulai tanggal 16 Mei 2009 dengan disitanya 2 unit kapal CNJ III di Singapura oleh ANL perwakilan Singapura. Kemudian 2010, 3 unit kapal CNJ III disita oleh PT PANN Persero dan di tahun 2011 3 unit kapal CNJ III disita oleh PT Globex. 

Tindakan Globex “the butcher” tidak kepalang tanggung. Tidak puas hanya dengan itu, usai melakukan lelang eksekusi 3 unit kapal CNJ III, PT Globex melelang kantor unit usaha keagenan di Cikini tahun 2012 dan melelang kantor pusat Djakarta Lloyd di Senen Raya 44 tahun 2013. Majalah tempo tahun 2011 menulis di Djakarta Llyod Tidak Sanggup Lagi Beroperas menyebutkan bahwa Djakarta Lloyd sudah tak sanggup lagi beroperasi. Capt Adrian cs gagal menyelesaikan masalah Djakarta Lloyd.

Dari tahun 2008 sampai tahun 2011, Direksi dan Komisaris Djakarta Lloyd harus bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas seluruh kerugian yang terjadi pada Djakarta Lloyd disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

  • Mengacu pada UU PT no 27 tahun 2007 pasal 63 ayat (1) ternyata Direksi dan Komisaris tidak menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.
  • Mengacu pada UU PT no 27 tahun 2007 pasal 66 ayat (1) ternyata Direksi dan Komisaris tidak menyampaikan Laporan Tahunan kepada RUPS yang seharusnya disampaikan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.
  • Mengacu pada UU PT no 27 tahun 2007 pasal 66 ayat (4) ternyata Direksi dan Komisaris yang bertugas saat itu tidak menunjuk Kantor Akuntan Publik untuk melakukan audit Neraca dan Laporan Laba Rugi dan menyampaikan hasil audit tersebut kepada Menteri.
  • Mengacu pada UU PT no 27 tahun 2007 pasal 69 ayat (3) ternyata dengan hasil audit laporan keuangan yang dilakukan kemudian oleh Direksi setelahnya menghasilkan opini tidak menyatakan pendapat yang dikeluarkan oleh KAP Ellya Noorlisyati dan Rekan sehingga perlu dinyatakan bahwa anggota Direksi dan Dewan Komisaris bertanggungjawab secara pribadi dan secara renteng terhadap pihak yang dirugikan bila ada.
  • Mengacu pada UU PT no 27 tahun 2007 pasal 97 ayat (3) ternyata pada periode 2008 sampai dengan 2011 perusahaan selalu memperoleh kerugian yang nilainya hampir mencapai Rp 100 milyar setiap tahunnya dan hal kerugian perusahaan tersebut merupakan tanggung jawab setiap anggota Direksi secara pribadi kecuali dapat membuktikan:
  • kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  • telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  • tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  • telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut

Sayang, salah urus dan korupsi telah menghancurkan Djakarta Lloyd.

--rgds / dokday 09012017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun