Mohon tunggu...
Dasril Piliang
Dasril Piliang Mohon Tunggu... wiraswasta -

Diam adalah seni terhebat dalam pembicaraan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerbong Tiga Ekonomi Jakarta

27 September 2012   03:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:37 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini tidak sama dengan hari yang kemaren. Namun, suasana di stasiun Bogor masih sama dengan yang kemaren, kemaren, bahkan kemarennya lagi. Tumpukan manusia berseliweran menunggu kereta jurusan Jakarta.

Hari ini tidak sama dengan hari yang kemaren. Tapi, diriku masih tetap seperti yang kemaren, kemaren, bahkan kemarennya lagi. Setiap pagi aku mesti berdesakan dengan ratusan manusia lainnya untuk dapat sekedar tempat berdiri di dalam gerbong kereta.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku telah menunjukkan pukul setengah delapan. Bergegas ku menyongsong kereta ekonomi yang baru memasuki stasiun. Dengan cepat kuselipkan badan kecilku diantara tumpukan manusia yang tak ingin ketinggalan waktu.

Begitu memasuki stasiun Citayem keringat telah mulai mengucur di keningku. Sekilas kudengar suara salam dari ujung gerbong.

“Gila,” pikirku, “ siapa lagi yang ngamen pagi-pagi begini.”

“ Sudahkan anda baca koran pagi ini?” kembali suara tersebut memecah kebisingan suara kereta.

Aku tak terlalu menghiraukan suara tersebut. Suara kereta membuat aku tidak dapat mendengar dengan jelas. Apalagi kereta mulai memasuki stasiun Depok baru. Aku mulai bergeser ke pintu. Penumpang yang semakin banyak menyulitkanku untuk sekedar memutar badan.

Masih kuingat beberapa hari yang lalu aku terlewat satu stasiun. Seharusnya aku turun di Pondok Cina. Tapi waktu itu saking penuhnya sebelum aku sampai di pintu, kereta telah berjalan. Untung aku masih bisa turun di stasiun UI.

Dengan gesit aku melompat turun begitu kereta berhenti di Pondok Cina. Bergegas ku berjalan keluar stasiun. Sekilas masih terdengar suara pengamen tadi berkoar-koar diantara puluhan orang yang memadati gerbong tiga, gerbong yang kunaiki tadi.

Dengan langkah cepat aku menuju halte. Kulirik tangan kiriku. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat.

“Telat lagi dah,” gerutuku.

Begitu sampai di kampus, bergegas aku berlari menaiki tangga. Di depan pintu kelas, aku berhenti sejenak. Mengatur nafas yang memburu. Kemudian kuketuk pintu. Dengan perlahan kuputar gagang pintu.

“Huuf…”

Kuhembuskan nafas panjang begitu memasuki kelas. Tak ada dosen. Yang ada hanyalah segerombolan mahasiswa yang lagi asik ngerumpi.

“Dosennya kemana?” tanyaku kepada Andi sang ketua kelas.

“Nggak masuk. Katanya lagi keluar kota.” jawab Andi dengan cuek.

Tanpa gairah kuhempaskan tubuh ke atas kursi.

“Dah capek-capek gak ada kuliah. Sial juga.” pikirku.

“Main futsal yuk!” ajak Fadli.

“Ayo! Dari pada bengong aja disini.” tukasku.

***

Hari ini bukan hari yang kemaren. Namun aku masih tetap seperti yang kemaren, kemaren,dan kemarennya lagi. Setiap pagi selalu berdesakan dengan puluhan orang di atas kereta jurusan Jakarta.

“Sudahkan anda baca koran pagi ini?”

Kembali suara itu menyapa telingaku. Persis sama seperti yang kemaren. Penasaran aku mencoba bergeser ke arah depan. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil mendekat kearah sumber suara.

Tampak seorang pemuda sedang asik bercerita. Wajahnya yang bersih tampak bersinar. Kemeja putih yang dipakainya membuat sinar di wajahnya semakin terang.

“Warga yang baik tentu tak kan melewatkan kesempatan ini.”

“Ataukah anda mau menyerahkan nasib anda kepada pilihan orang lain?”

Kata kata yang keluar dari mulutnya seakan-akan menyihir para penumpang. Kulihat tak seorang pun yang tidak memperhatikannya. Meski berdesak-desakan tapi pandangan mereka tertuju kepada pemuda tersebut. Aku juga yakin telinga mereka juga mendengarkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu.

“Percuma saja. Nantinya pas mereka sudah naik mereka lupa dengan rakyat.” Celetuk seorang penumpang.

“Makanya gunakan hak saudara. Pilih pemimpin yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan.”

“ Jika saudara-saudara tidak menggunakan hak pilih saudara bagaimana mungkin saudara dapat menuntut hak saudara?”

“Saudara tidak melakukan kewajiban sebagai warga yang baik. Tentu suatu yang aneh bila nantinya saudara menuntut kepemimpinan yang baik.”

Aku terpaku mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kharisma yang terpancar dari tubuhnya menyihir setiap orang. Tak ada yang berpaling darinya. Semua mata tertuju terhadapnya.

“Terima kasih atas perhatiannya. Maaf bila ada yang salah. Wassalamualaikum.” Ucapnya sambil meloncat turun dari kereta.

Aku terpana. Tiga detik kemudian aku baru sadar. Bergegas kuhampiri pintu kereta. Terlambat. Kereta telah meninggalkan stasiun UI. Kulihat jam telah menunjukkan pukul 8.15 menit.

“Terlambat lagi dah.”

Sambil menggerutu terpaksa aku turun distasiun UP. Bergegas ku menyeberang. Aku memang sial hari itu. Hampir tiga puluh menit baru kereta tujuan Depok lewat. Jam sembilan lewat baru aku sampai di kampus. Percuma masuk kelas. Paling 15 menit lagi pelajaran habis. Aku memutuskan masuk pelajaran kedua.

Dengan gontai kulangkahkan kaki menuju kantin.

“Bang, nasi goreng satu!” seruku sambil menjangkau sebotol air mineral.

“Telurnya dadar ya!.” tambahku.

Ku hempaskan tubuhku diatas bangku. Terus terang aku masih penasaran dengan pemuda tadi. Awalnya kukira dia pengamen dan sejenisnya. Ternyata pikiranku salah. Dia tidak meminta uang dari para penumpang. Ia turun begitu saja. Dilihat dari usianya, dia juga bukan petugas penyuluhan. Ia sepantaran denganku. Mungkin beda satu atau dua tahun. Melihat dia turun di stasiun UI, besar kemungkinan dia salah satu mahasiswa di sana.

Bergegas aku menghabiskan nasi goreng yang tinggal setengah. Pelajaran kedua hampir dimulai. Lagi asik-asiknya menyantap nasi goring, teman-teman kelasku muncul.

“Ada dosen nggak?” tanyaku

“Ada,” jawab Fadli.

“Kok belum masuk?”

“Biasa,makan dulu,” tukasnya.

“Tugas sudah selesai belum?” sambung Fadli.

“Sudah dong. Saya kan mahasiswa teladan. Ha.ha.ha.ha

Sambil tertawa aku bergeser ke tengah. Meski aku sering terlambat, soal tugas aku selalu mengerjakan. Aku tidak mau nilaiku semakin hancur. Cukuplah keterlambatan menjadi secuil catatan kelam dalam perjalanan kuliahku.

***

Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku tidak tahu apa dia masih tetap dengan kegiatan tersebut. Aku bosan terlambat terus, jadi aku berangkat lebih pagi. Sampai aku menyelesaikan kuliahku, tidak pernah lagi aku melihatnya.

Sampai suatu pagi, aku dalam perjalanan ke Kota. Sekarang aku telah bekerja di sebuah perusahaan asing.

“Sudahkah anda baca koran pagi ini?”

Suara itu kembali menyapa telingaku. Kuarahkan pandangan ke depan. Dia masih sama seperti terakhir kali ku melihatnya. Dengan kemeja putih. Wajahnya tetap memancarkan sinar yang menyejukkan hati.

“Harta mungkin tidak mempan terhadap sebagian orang. Tahta juga belum tentu. Tapi wanita adalah sesuatu hal yang lain.”

Kembali suaranya yang lembut dan berwibawa menggema di gerbong kereta ekonomi tujuan Jakarta. Persis di gerbong yang sama sewaktu aku mulai melihatnya.

“Zaman dahulu, hiduplah seorang kyai yang terkenal kealiman dan keta’atannya terhadap ALLAH. Segala cara telah di coba oleh Iblis yang ingin menjerumuskan sang kyai. Tapi selalu menemui jalan buntu. Sampai suatu hari sebuah keluarga datang menemuinya. Mereka adalah empat kakak beradik yang telah ditinggal pergi kedua orang tuanya.”

Suara itu masih tetap membuat ku terpaku. Magis yang ditebarnya selalu berhasil menyihir para penumpang untuk memperhatikannya.

“Sang kakak bermaksud menitipkan saudarinya, si bungsu kepada kyai karena mereka mau mengadakan perjalanan jauh. Iblis pun mulai menebar ranjaunya. Setiap hari selalu godaan dihadapi sang kyai. Setiap hari di pandangan mata kyai sang wanita semakin bertambah cantik. Sampai akhirnya sang kyai termakan bujukan iblis. Di gaulinya perempuan tersebut.”

Kulihat di sekeliling semua penumpang tercurah perhatiannya kepada pemuda tersebut. Mata mereka tak berkedip menatapnya.

“Setelah kejadian itu, kyai tersadar. Hatinya kalut. Gundah, takut, dan bermacam perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Iblis pun kembali menanamkan rayuan mautnya. Kalau orang-orang mengetahui perbuatanmu, maka mereka akan merajammu. Kamu harus melenyapkan bukti dan saksi.”

Pemuda itu berhenti sejenak. Diedarkannya pandangan kesekeliling gerbong. Senyum di bibirnya tidak pernah hilang.

“Karena takut sang kyai akhirnya membunuh wanita tersebut. Kemudian menguburkannya di belakang rumahnya.”

“Apa makna dari peristiwa tersebut?”

Pertanyaan tersebut keluar dari mulut pemuda tersebut. Penumpang hanya diam saja. mereka masih terpaku oleh magis yang terpancar dari tubuh dan suara pemuda tersebut.

“Wanita adalah sumber terbesar dari kehancuran seorang pria. Sekuat apapun keimanan seseorang, tidak akan menjamin mereka akan mampu bertahan terhadap makhluk Tuhan yang satu ini.”

“Tapi, tanpa wanita kehidupan ini akan kering, rumah tangga sampai Negara tidak akan semarak. Dengan adanya wanita suatu organisasi akan berjalan lancar, karena memang banyak peranan yang dapat dimainkan oleh seorang wanita. Terutama dalam menggerakkan roda organisasi.”

“Tugas wanita sangat mulia. Merekalah yang membentuk watak manusia. Mereka sangat berperan penting sebelum menikah. Setelah menikah, saat melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.”

“Bak pepatah minang, pulai batingkek naiak, maninggakan ruweh jo buku, mati rimau tingga balang, mati gajah tingga gadiang, mati manusia tingga jaso, jo katurunan nan elok. Padi ditanam padi tumbuah, lalang ditanam lalang tumbuah, jan disisiak padi jo lalang.”

“Apa yang bisa kita ambil dari pepatah tersebut?”

Kembali terlontar pertanyaan dari mulutnya. Dan lagi-lagi semua penumpang terdiam. Mungkin mereka tidak mengerti arti dari pepatah tersebut.

“Bahwa manusia terlebih wanita adalah cerminan sikap dari keturunannya. Jika seorang ibu mengajarkan yang baik pastilah sang anak akan menjadi seorang manusia baik juga. Begitu pun sebaliknya. Tugas wanitalah mengajarkan semuanya kepada anak-anaknya. Jangan sampai mencampur adukkan yang baik dengan yang buruk.”

Terlontar begitu saja dari mulutku. Aku memang mengerti benar dengan pepatah tersebut. Aku adalah urang awak yang mencoba peruntungan ke tanah Jawa ini.

“Benar sekali. Wanita merupakan penghancur paling ampuh terhadap kokohnya seorang laki-laki. Tapi, wanita juga tonggak utama menuju kemakmuran setiap bangsa.”

Senyuman yang memikat hati itu tertuju kepadaku. Beberapa saat mata kami saling bertatapan. Ada semacam getaran aneh menyelimuti hati ini.

“Terima kasih atas perhatiannya. Maaf bila ada yang salah. Wassalamualaikum”

Ucapnya sambil meloncat turun dari kereta.

Lagi-lagi aku terpana. Persis seperti waktu itu. Masih di tempat yang sama. Buru-buru aku turun dari kereta. Dengan langkah tergesa-gesa aku keluar dari stasiun. Tapi pemuda tersebut telah raib. Aku benar-benar bingung. Kuedarkan pandangan keseluruh area kampus UI. Tapi pemuda berkemeja putih tersebut benar-benar telah hilang. Raib ditelan bumi.

***

Besoknya pada jam yang sama aku kembali naik kereta jurusan kota. Sengaja aku memilih gerbong tiga seperti kemaren. Aku berharap bertemu dengan pemuda itu lagi. Bahkan aku sudah membulatkan tekad untuk berkenalan dengannya. Duduk berdua dan saling berbagi ilmu.

Tapi sampai stasiun UI, pemuda tersebut tidak juga kelihatan batang hidungnya. Aku heran. Apa selama ini Cuma kebetulan saja? Apa dia tidak tiap pagi naik kereta ini?

Dengan perasaan kecewa akhirnya aku meneruskan perjalanan sampai kota. Niat untuk izin dari kantor kubatalkan. Karena memang tujuanku awalnya hanya ingin lebih banyak mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.

***

Hari ini tidak sama dengan hari yang kemaren. Namun aku masih tetap seperti hari yang kemaren, kemaren, bahkan kemarennya lagi. Aku masih setia naik kereta ekonomi pada jam yang sama dan gerbong yang sama.

Aku masih seperti yang kemaren, berharap bertemu dan berkenalan dengan pemuda misterius tersebut. Rasa ingin bertemu itu terasa begitu besar. Sangat menyiksaku.

Aku rindu mendengar suara merdunya. Aku rindu dengan senyumannya yang bisa membuat setiap orang terlena. Aku rindu menatap wajahnya yang memancarkan cahaya. Cahaya yang akan membuat setiap insan terpana.

Aku ingin mendengar kata-kata mutiara yang meluncur dari bibirnya. Kata-kata sarat makna yang hanya akan keluar dari bibir manusia cerdas. Aku rindu dengan kharisma yang dipancarkan tubuhnya.

***

Hari ini tidak sama dengan hari yang kemaren. Tapi aku tetap seperti yang kemaren. Masih menunggu dan berharap akan pertemuan dengan pemuda tersebut.

Tapi memang hari ini bukan hari yang kemaren. Aku tidak pernah lagi bertemu dan melihat pemuda itu. Bahkan untuk sekedar nama pun aku tak tahu. Pernah kucoba mencari tahu dan bertanya kepada mahasiswa UI. Jawaban mereka tidak bias menemukan pencarianku.

” banyak mahasiswa dan dosen yang memakai kemeja putih,” jawab mereka.

Hari ini benar-benar bukan hari yang kemaren. Begitu juga dengan pemuda itu. Dia benar-benar raib ditelan bumi. Tidak pernah lagi aku melihat dan mendengar suaranya yang sungguh penuh daya tarik tersebut.

Ya….

Hari ini memang tidak akan pernah sama dengan hari yang kemaren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun