Mohon tunggu...
Dasril Piliang
Dasril Piliang Mohon Tunggu... wiraswasta -

Diam adalah seni terhebat dalam pembicaraan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maafkan Kami

11 November 2011   08:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:48 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hi sobat, bagaimana kabarmu di negeri sana...?
Sudah 66 taun sobat perjuanganmu kami rasakan...
Maaf awak lama tak ingat sama kau.
Pagi ini seorang mba' yg cantik di tivi mengingatkan awak tentangmu, sobat...
sobat...
Mungkin sobat memang tak kenal sama kami, selain beda masa, sebenarnya memang hal itu tak penting...
Tapi kami kenal betul sama sobat.
Guru2 kami waktu kecil dulu sering cerita tentang kalian.
Katanya kalian tu hebat, tak takut apa2 termasuk mati sekalipun.
Katanya lagi kalian berhatinya mulia.
Berjuang sampai matipun kalian tak pernah mengharap balasan apa2.
Saking hebatnya omongan mereka, kami sampai terobsesi menjadi seperti kalian..
Tapi kami beraninya cuma lewat Playstation, Time Zone atau apalah itu yang kalo aku jelaskanpun kalian mungkin juga ga tau...
Pernah juga kami cona dulu menapaktilasi langkah kalian lewat main perang2an..
Tapi kena peluru main2 aja kami dah nangis kawan...
Kawan...!
Guru kamipun juga berpesan agar kami selalu melanjutkan perjuangan yg telah kawan rintis...
Katanya kami harus belajar yang rajin agar bisa jadi orang berguna macam kawan..
Berguna bagi agama, nusa dan bangsa..
Saat kami berprestasi, membuat bangga sekolah dan kampung kami, kami dah di anggap pahlawan...
Orang2, khususnya orangtua kami selalu bercerita tentang kami...
Mereka bangga..
Kamipun bangga, sombong dan malah merasa butuh akan pujian itu...
Padahal kami juga tau, menjadi pahlawan ideal seperti kawan tu tak butuh semua itu...
Kawan...!
Maafkan kami..!
Kami sekarang lebih hapal lagu2nya Peterpen yg susah lagi panjang itu dari pada lagu Gugur Bunga yg liriknya cuma seupil itu...
Kami lebih terobsesi menjadi seperti Ariel Peterpen itu dari pada menjadi orang seperti kawan...
Bahkan kami lebih mengidolakan Kurt Cobain yg mati putus asa daripada WR. Monginsidi yg mati di depan regu tembak pasukan Belanda, atau Kapitan Pattimura yg mati di tiang gantungan karena mereka anggap extrimis...
Kami sekarang lebih sering perang saudara antar suku atau etnis, bukannya mencontoh Sentot Alibasya yg tak pernah mau mengkhianati Kaum Paderi setelah ia ketangkap saat perang Diponegoro...
Maafkan kami, kawan...!
Begitu banyakmya masalah di negara kita ini membuat kami lupa akan keberadaan kawan, termasuk teman2 kawan yg masih hidup...
Bahkan awak aja sampai lupa sama tetangga sendiri...
Berebut orang pengen jadi seperti kawan, mengabdi untuk rakyat dan negara...
Tapi mereka tak seperti kawan...
Mereka mengabdi demi uang dan gengsinya jabatan...
Bahkan tak jarang apa yg mereka sebut pengabdian itu, demi menyelamatkan ekonomi negara malah makin menggusur kami jauh ke dalam lembah derita...
Lalu apa yg harus kami lakukan, kawan...?
Demo2 yg kami lakukan hanya ibarat kentut di depan orang pilek...
Bunyinya sedikit mengganggu, tapi efeknya tak membawa pengaruh apa2...
Sungguh, perbedaan generasi membuat nilai2 perjuangan kawan menjadi samar, baik di hadapan kami ataupun mereka..
Sesungguhnya kami lebih dekat sama kawan daripada mereka..
Paling ga' kami tak pernah mengatasnamakan perjuangan atau pengabdian seperti mereka yg lantas menyalahgunakannya...
Jadi tetaplah kawan menjadi petai di warung kaki lima kami, agar kami selalu bisa ingat akan keberadaan kawan...
Tak usahlah kawan berharap menjadi stik di kafe bintang lima mereka, karena kami akan makin susah untuk mengenal kawan...
Tapi kawan juga tak usah berkecil hati...
Aroma petai juga sanggup menembus tingginya dinding hedung itu, biarpun belasan atau puluhan AC dan blower mencoba mencegah invasi aromanya...
Kawan hanya perlu bersabar menunggu mobil mereka berhenti di depan kedai, karena padunya kaca2 mobil mereka juga tak akan sanggup menahan tradisionalnya aroma petai...
Tak perlu kawan iri sama stik yg bahkan aromanya tak bisa dicium oleh para2 pejalan kaki yg lewat depan kafe itu...
SELAMAT HARI PAHLAWAN...

...my Brother....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun