Mohon tunggu...
Dody Rusli
Dody Rusli Mohon Tunggu... -

Creative Farm @BdgBerkebun|Contributor @MenyonMagz| Volunteer & Announcer Team @mcrpkbi program #YoungAndHealthy @paramuda937fm|little magician| manymore

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Gizi Sebagai Fondasi Pembangunan SDM

28 Maret 2013   14:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:04 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gizi Sebagai Fondasi Pembangunan SDM

[Diterbitkan dalam rangka Hari Gizi Nasional tgl 28 Februari 2013]

Oleh : M. Dodi Rusli

(Staff Bidang Profesionalisme Jurusan, Himpunan Mahasiswa Agroteknologi

UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Berbicara mengenai gizi tak akan lepas dengan topik kesejahteraan rakyat yang masih saja menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Munculnya beberapa kasus pelayanan kesehatan yang kurang layak, anak-anak yang mengalami defisiensi gizi, mahalnya biaya berobat dan harga obat dipasaran. Beberapa kasus yang muncul dimedia seringkali begitu memprihatinkan, jika kita bandingkan dengan kemewahan yang dinikmati oleh para penguasa negeri. Masalah ini begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, dan dekat dengan lingkungan kita berada. Sebagai bahasan tulisan ini, disajikan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010 ( seperti yang dirilis oleh situs resmi kementrian kesehatan nasional dan dipaparkan oleh menkes 25/1/2011 dilansir oleh berbagai media nasional) sebagai berikut:

1. Sejumlah 35,7% atau lebih dari sepertiga anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tingginya tidak sesuai dengan umur.

2. Tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9% atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini mengalami penurunan daripada tahun 1990 di mana 31% balita mengalami gizi buruk,

3. Sekitar 14% balita ditemukan mengalami gizi berlebih.. Hal inipun menimbulkan problem yang tak kalah  besar. Kelebihan gizi dapat mengakibatkan kasus obesitas,  gangguan  fungsi jantung  dan penyakit-penyakit degeneratif. Sebanyak 19,1% orang berusia diatas 15 tahun juga mengalami obesitas. “Gizi berlebih ini terdapat pada seluruh keluarga, baik miskin atau kaya. Sebanyak 13,7% keluarga miskin mengalami kelebihan gizi dan 14% pada keluarga kaya. Jenis kelamin dan pendidikan orang tua juga tidak berpengaruh terhadap kasus gizi berlebih ini.

Melihat angka-angka tersebut, hal paling menonjol adalah tingginya presentase masalah gizi buruk. Sejumlah 35,7% atau lebih dari sepertiga anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tingginya tidak sesuai dengan umur.

Kasus gizi buruk begitu popular ditengah masyarakat kita. Kasus ini seringkali muncul dari kalangan keluarga miskin. Golongan masyarakat kelas dua yang selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Mungkin karena dari golongan inilah negara terbebani untuk mengentaskannya tanpa bisa mendapat imbalan pajak yang besar dari mereka. Walaupun sebenarnya tugas mengentaskan kemiskinan hal tersebut telah diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah dan menjadi amanat UUD 1945.

Maka sejenak tengoklah bagi mereka warga kelas dua. Ya mereka yang tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin ilmu dan akibatnya miskin akhlak. Di komunitas besar inilah berbagai macam akibat kekurangan gizi mewabah. Mulai dari penyakit ringan akibat konsumsi makanan tak sehat hingga ke penyakit degenerative yang sangat memprihatinkan. Pada intinya adalah kemiskinan yang akut takkan mungkin mengenalkan mereka dengan makanan bergizi.

Jika hanya menyandarkan pada upaya yang dilakukan kementrian kesehatan sebagai poros dalam upaya penanggulangan berbagai penyakit gizi masyarakat tentu sangat naif. Tanpa kita sendiri sebagai masyarakat yang melek pengetahuan mau berpartisipasi. Berawal dari diri kita sendiri sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan bagian elemen-elemen bangsa ini harus ikut andil dalam upaya ini. Kita semestinya memperhatikan setiap nilai gizi dari makanan yang kita konsumsi setiap hari, dan sepatutnya memberikan informasi yang tepat tentang pentingnya gizi kepada keluarga, dan masyarakat terdekat kita. Mengubah paradigma dan kepercayaan - kepercayaan seputar gaya hidup yang menyesatkan terkait masalah kesehatan dan gizi makanan. Sehingga tercipta sebuah masyarakat besar yang paham akan pentingnya pemenuhan gizi untuk memperbaiki tingkat kehidupan.

Upaya tersebut akan menjadi sarana kita dalam pembangunan masyarakat dan bangsa. Karena suatu pembangunan  seharusnya memberi kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memenuhi hak-hak dasarnya. Salah satu hak dasar tersebut adalah hak atas pangan. Saat ini pendapat yang mengangap bahwa “perbaikan ekonomi harus menjadi fokus bagi penuntasan masalah gizi” harus diubah. Namun sebaliknya “gizi harus ditempatkan sebagai fondasi bagi pembangunan” sehingga pada gilirannya akan terjadi perbaikan ekonomi dan kesejahteraan. Sesuai dengan konsep yang sosialisasi oleh Bank Dunia. Bahwa gizi harus ditempatkan sebagai pusat dari pembangunan.

Konsep gizi sebagai pusat pembangunan memiliki 3 alasan besar seperti yang dipaparkan oleh Albiner Siagian, dalam sebuah artikelnya. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut.

a. kekurangan gizi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan karenanya akan melanggengkan kemiskinan.

b. dampak tidak langsung yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia. disebabkan oleh tingkat kecerdasan dan capaian tingkat pendidikan yang rendah.

c. beban biaya kesehatan yang meningkat akibat kekurangan gizi.

Alasan-alasan tersebut seharusnya ditangkap dengan baik oleh pemerintah. Kalau perlu dijadikan patokan yang jelas dalam pijakan membuat kebijakan yang adil terhadap investasi sosial dan pembangunan SDM. Sehingga ada harapan besar menuju kemakmuran rakyat. Kecukupan gizi, akan menghasilkan masyarakat yang cerdas, sehingga dapat meningkatkan pencapaian pendidikan. Setelah itu diharapkan dengan pembangunan SDM yang baik mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terkikislah kemiskinan.

Simpulannya, apakah bangsa ini akan membesarkan generasi penerusnya hanya untuk menjadi kuli bagi bangsa lain. Saya harap tidak. Sudah saatnya generasi penerus bangsa ini akan menggantikan para ilmuwan yang banyak terlahir di negeri Eropa sana. Bangsa yang dahulu menjajah nenek moyang kita. Tanah para penjajah yang sempat mengeruk kekayaan alam kita yang berlimpah, sehingga kita tak lagi terhormat di bumi sendiri. Haruskah kebodohan akan terus membelenggu bangsa kita, karena salah kita tidak menempatkan aspek gizi sebagai fondasi pembangunan.

Referensi :

·Artikel Albiner Siagian, Guru Besar Ilmu Gizi FKM USU.

·Kompas.com, Opini Kompasiana : Sepinya Hari Gizi Nasional, dipostkan tanggal 27 Januari 2011.

·Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun