Gizi Sebagai Fondasi Pembangunan SDM
[Diterbitkan dalam rangka Hari Gizi Nasional tgl 28 Februari 2013]
Oleh : M. Dodi Rusli
(Staff Bidang Profesionalisme Jurusan, Himpunan Mahasiswa Agroteknologi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Berbicara mengenai gizi tak akan lepas dengan topik kesejahteraan rakyat yang masih saja menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Munculnya beberapa kasus pelayanan kesehatan yang kurang layak, anak-anak yang mengalami defisiensi gizi, mahalnya biaya berobat dan harga obat dipasaran. Beberapa kasus yang muncul dimedia seringkali begitu memprihatinkan, jika kita bandingkan dengan kemewahan yang dinikmati oleh para penguasa negeri. Masalah ini begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, dan dekat dengan lingkungan kita berada. Sebagai bahasan tulisan ini, disajikan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010 ( seperti yang dirilis oleh situs resmi kementrian kesehatan nasional dan dipaparkan oleh menkes 25/1/2011 dilansir oleh berbagai media nasional) sebagai berikut:
1. Sejumlah 35,7% atau lebih dari sepertiga anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tingginya tidak sesuai dengan umur.
2. Tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9% atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini mengalami penurunan daripada tahun 1990 di mana 31% balita mengalami gizi buruk,
3. Sekitar 14% balita ditemukan mengalami gizi berlebih.. Hal inipun menimbulkan problem yang tak kalah besar. Kelebihan gizi dapat mengakibatkan kasus obesitas, gangguan fungsi jantung dan penyakit-penyakit degeneratif. Sebanyak 19,1% orang berusia diatas 15 tahun juga mengalami obesitas. “Gizi berlebih ini terdapat pada seluruh keluarga, baik miskin atau kaya. Sebanyak 13,7% keluarga miskin mengalami kelebihan gizi dan 14% pada keluarga kaya. Jenis kelamin dan pendidikan orang tua juga tidak berpengaruh terhadap kasus gizi berlebih ini.
Melihat angka-angka tersebut, hal paling menonjol adalah tingginya presentase masalah gizi buruk. Sejumlah 35,7% atau lebih dari sepertiga anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tingginya tidak sesuai dengan umur.
Kasus gizi buruk begitu popular ditengah masyarakat kita. Kasus ini seringkali muncul dari kalangan keluarga miskin. Golongan masyarakat kelas dua yang selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Mungkin karena dari golongan inilah negara terbebani untuk mengentaskannya tanpa bisa mendapat imbalan pajak yang besar dari mereka. Walaupun sebenarnya tugas mengentaskan kemiskinan hal tersebut telah diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah dan menjadi amanat UUD 1945.
Maka sejenak tengoklah bagi mereka warga kelas dua. Ya mereka yang tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin ilmu dan akibatnya miskin akhlak. Di komunitas besar inilah berbagai macam akibat kekurangan gizi mewabah. Mulai dari penyakit ringan akibat konsumsi makanan tak sehat hingga ke penyakit degenerative yang sangat memprihatinkan. Pada intinya adalah kemiskinan yang akut takkan mungkin mengenalkan mereka dengan makanan bergizi.