"Hati-hati, ini malam Jum'at pertama Suro lho," demikian celetuk seorang teman dengan wajah serius. "Anginnya kencang, ombaknya pasti besar," imbuhnya yang kemudian membuat wajah kami menegang. Alhasil, ada beberapa rekan mengurungkan niatnya untuk ikut setelah mendengar celetukan tersebut.
Pagi itu, Kamis (13/9/2018) sudah terjadwal kegiatan kunjungan ke dua pulau wisata di Kabupaten Sumenep, dimana saya dan beberapa rekan kerja ikut sebagai peserta bersama puluhan pelaku jasa wisata di Jawa Timur.Â
Kunjungan wisata ini digagas oleh konsorsium travel Jawa Timur bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat untuk menjajaki paket wisata bersama Gunung Bromo di Kabupaten Probolinggo dan Gili Labak serta Pantai Sembilan di Kabupaten Sumenep.
Kali ini kami menggunakan moda transportasi laut berupa kapal cepat. Jika selama ini perjalanan lewat jalur darat dari Probolinggo menuju Kabupaten Sumenep memakan waktu enam sampai tujuh jam, maka dengan kapal cepat perjalanan dari Probolinggo ke Sumenep hanya memakan waktu dua jam.
Perjalanan lewat jalur laut inilah yang membuat saya dan beberapa rekan sempat ketar ketir. Terlebih setelah mendengar celoteh teman tentang bulan Suro yang dihubung-hubungkannya dengan angin kencang dan besarnya gelombang laut.Â
Suro adalah sebutan orang Jawa untuk bulan Muharram. Kebetulan hari itu adalah Kamis pertama Muharram 1440 Hijriyah yang berarti malam Jum'at pertama bulan Suro, yang oleh sebagian orang Jawa dianggap keramat.
Waktu keberangkatan ternyata molor dua jam dari jadwal semula pukul 08.00 WIB. Sekira pukul 09.15 WIB kami diminta segera masuk ke dalam kapal untuk dilakukan pendataan penumpang. Petugas syahbandar pelabuhan turun langsung mendata penumpang. Entah memang seperti ini prosedurnya atau ada sebab lain hingga memakan waktu setengah jam lebih hanya untuk melakukan pengecekan penumpang. Mungkin demi alasan keamanan sehingga prosedurnya demikian.
 Pukul 10.00 WIB rombongan pun berangkat. Total 60 orang penumpang yang terdata dari kapasitas maksimal 70 penumpang. Berarti satu persyaratan keamanan sudah terpenuhi. Satu hal penting yang menjadi incaran saya begitu masuk kapal. Jaket keselamatan! Alhamdulillah, di atas deretan kursi penumpang nampak jelas puluhan jaket pelampung yang tersimpan rapi di rak dengan posisi yang gampang diraih. Lagi, persyaratan keamanan semakin terpenuhi.
Ditambah lagi 6 pelampung yang terpasang di beberapa sudut kapal. Sengaja saya menggali prasayarat keamanan dan kenyamanan tersebut untuk menghapus rasa "ndredeg" yang masih terasa hingga beberapa menit awal perjalanan.
Begitu cepatnya laju kapal yang kami tumpangi hingga tak sampai 10 menit lepas pelabuhan Tanjung Tembaga Kota Probolinggo, pulau Gili Ketapang sudah nampak menyapa. Padahal biasanya dengan menggunakan angkutan kapal setempat, butuh waktu hampir satu jam perjalanan untuk sampai di pulau berpasir putih yang masuk wilayah administratif Kabupaten Probolinggo itu.
Meski sudah beberapa kali berkapal menyeberang laut, namun perasaan was-was masih ada. padahal kapal yang kami tumpangi tergolong kapal cepat dengan standar keamanan tinggi. Kapal melaju sangat cepat sehingga goyangan akibat gelombang laut hanya terasa sesekali.Â
Menurut kru kapal, gelombang laut saat kami berangkat relatif kecil, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Penjelasannya bahwa walaupun gelombang besar kapal tersebut masih tangguh untuk melewatinya dengan aman, membuat hati ini menjadi tenang untuk melanjutkan perjalanan.
Ternyata dua jam perjalanan melewati lautan cukup menyenangkan jika kita bisa menikmatinya, apalagi saat berangkat cuaca sangat cerah. Sengaja saya duduk pas di pintu masuk sebelah kanan depan, dekat dengan ruang kemudi agar bisa leluasa melihat lautan luas di sekeliling.
Airnya juga sangat bening hingga dasar laut dengan aneka ragam ikan dan bebatuan karang nampak indah menggoda. Ingin rasanya langsung "nyemplung" berenang menuju pantai, tapi niat itu saya urungkan. Selain belum begitu fasih berenang, saya juga tak bawa pakaian ganti.
Sementara saya, setelah mengambil satu dua jepretan gambar lewat HP langsung berteduh di rest area yang telah ditentukan sebagai tempat kami beristirahat sejenak.
Pulau yang luasnya tak sampai 5 hektar ini hanya dihuni oleh 37 KK. Suasananya masih alami, lengkap dengan kebun kelapa dan pepohonan pantai yang cukup rindang bagi wistawan untuk berteduh.Â
Semilir angin pantai  membuat diri ini betah untuk duduk setengah berbaring santai sambil menikmati air kelapa muda. Banyak yang beristirahat sebagaimana saya. Tapi ada juga beberapa yang memanfaatkan dua jam jatah waktu di pulau tersebut untuk menjelajah menggunakan motor trail sewaan. Sementara mereka yang hobby snorkling, langsung "nyebur" bertamasya menikmati keindahan bawah laut Gili Labak.
Waktu bersantai semakin lengkap dengan sajian santap siang yang sudah disiapkan penduduk setempat. Menunya sederhana khas perkampungan pantai. Meski sederhana tapi pilihan menunya sangat beragam mulai dari ikan asap dan ikan goreng, tempe dan tahu goreng, telur dadar, dadar jagung, urap-urap, sayur asem lengkap dengan lalapan sambal trasi. Semua tampak lahap menikmati menu makan siang yang sederhana tapi sangat menggugah selera itu.
Usai istirahat dan makan siang kami kembali ke kapal pukul 14.00 WIB untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya, Pantai Sembilan di Pulau Gili Genting. Butuh waktu 20 menit perjalan laut dari Gili Labak untuk sampai di Pantai Sembilan. Dari jauh tampilan pulau ini mengingatkan saya pada pulau Gili Ketapang yang ada di Kabupaten Probolinggo. Mungkin karena keberadaan masjid, yang juga jadi ciri khas Gili Ketapang, yang terlihat saat kita mendekat bibir pantai.
Sepeda motor pribadi juga banyak terlihat di sekitar pantai. Gubuk-gubuk kecil dan bungalow untuk wisatawan banyak ditemui di pantai yang juga berpasir putih ini. Â
Karena keterbatasan waktu yang sudah semakin sore, kami hanya diberi waktu satu jam untuk menikmati keindahan pulau yang ada di wilayah Kabupaten Sumenep itu. Jika di Gili Labak saya dan rekan-rekan menikmati segarnya air kelapa muda, di Pantai Sembilan kami memilih untuk "ngopi" sambil berbincang santai.Â
Sementara peserta kunjungan yang lain sibuk dengan aktifitas hobbynya masing-masing. Hingga tak terasa hampir pukul 16.00 WIB kami kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Meskipun seluruh rangkaian kegiatan inti kunjungan wisata berakhir di Pantai Sembilan, namun keseruan perjalanan kami hari itu belum berakhir. Saat satu jam pertama perjalanan pulang cuaca masih nampak bersahabat. Air laut jauh lebih tenang dibanding saat keberangkatan pagi harinya. Sangat tenang bahkan gelombang laut nyaris tak terasa.
Dari kejauhan perahu nelayan nampak melintas matahari yang akan tenggelam. Tentu momen yang sangat indah dan jarang untuk bisa terulang. Langsung saja saya arahkan kamera HP untuk mengabadikan momen indah tersebut. Hasilnya, luar biasa!
Cukup lama saya dan mungkin juga penumpang lainnya terbuai dengan tenangnya suasana jelang petang itu. Hingga sekitar pukul 17.00 WIB saat kapal sudah meninggalkan perairan Sumenep memasuki perairan Probolinggo tetiba angin terasa kencang dan ombak cukup keras menerjang. Dari tempat saya duduk nampak sangat jelas air laut bergelombang semakin besar.Â
Dahsyatnya hantaman ombak membuat goyangan di atas kapal sangat terasa. Rasanya seperti naik truk dengan kecepatan tinggi di medan yang rusak dan bergelombang. Tak seperti saat berangkat, tidak ada yang berani mengeluarkan HP untuk foto-foto pada situasi seperti itu.
Hantaman ombak di lambung dan body kapal menimbulkan suara benturan cukup keras, membuat para penumpang terutama ibu-ibu menjerit spontan. Semua berpegangan pada apapun yang bisa dijadikan penopang tubuh agar tak jatuh saat badan kapal beradu dengan gelombang besar. "Ayo baca sholawat, berdoa," ujar seorang ibu mencoba menenangkan suasana.
Yang saya salut, para kru kapal terus tersenyum walaupun penumpang, termasuk saya mulai panik. "Ombak seperti ini sudah biasa kok. Bapak-bapak dan ibu-ibu tenang saja, dijamin aman," ujar seorang kru. Meski ketegangan sedikit berkurang mendengar ucapan tersebut, namun "dag dig dug" masih terasa. Apalagi daratan belum nampak, padahal sudah dua jam perjalanan kami tempuh.
Sekelebat teringat kembali ujaran seorang rekan sebelum berangkat yang mengingatkan jika petang itu adalah malam Jum'at pertama bulan Suro. Teringat pula saat petugas mendata penumpang, tak hanya sekali bahkan sampai tiga kali pagi hari saat kami akan berangkat. Ketika itu saya sempat berpikir...jangan-jangan... Ah! Saya hanya berusaha berpikir positif, mungkin karena berangkat molor dua jam dan terlalu lama di pulau sehingga kami baru masuk perairan Probolinggo saat hari sudah gelap dalam kondisi cuaca demikian.
Perasaan dan pikiran tak menentu itu berangsur reda saat melihat mercusuar dan warna-warni lampu di daratan yang berarti kami segera memasuki pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo.Â
Baru kali ini saya merasa sangat bersyukur bisa melihat kelap kelip lampu di daratan. Benar-benar lega ketika kapal bersandar dan kami semua kembali menjejakkan kaki di daratan. Rasa syukur yang teramat sangat, akhirnya kami bisa melewati perjalanan pulang yang sangat menantang itu.
Serunya suasana petang jelang malam itu masih jadi bahan perbincangan sesama penumpang hingga akhirnya rombongan kembali melanjutkan perjalanan dengan bis penjemput dan saya serta rekan-rekan yang lain pulang kembali ke rumah masing-masing, dengan perasaan lega dan amat bersyukur tentunya.
Perjalanan sehari itu sungguh merupakan paket perjalanan yang lengkap. Diawali dengan menikmati keindahan matahari terbit di Gunung Bromo. Kemudian dilanjutkan perjalanan menyusuri selat Madura menuju wilayah Kabupaten Sumenep untuk menikmati keindahan alam Gili Labak dan Pantai Sembilan. Diakhiri dengan keseruan perjalanan pulang yang sangat menantang, menembus gelombang besar hingga sampai kembali ke Probolinggo.
Tentu tak setiap hari kondisi cuaca dan alam seperti yang kami alami hari itu. Yang jelas, faktor keamanan dan kenyamanan harus tetap diutamakan. Bagaimanapun juga harus diakui, perjalanan lewat jalur laut menuju Sumenep dan daerah lain di Madura dari Probolinggo jauh lebih efisien, baik waktu dan biaya.Â
Akan sangat menyenangkan tentunya, jika perjalanan menuju ke dan dari pulau-pulau indah di selat Madura dilakukan saat cuaca dan kondisi alam benar-benar mendukung. Dengan demikian wisatawan dapat menikmati kunjungannya dengan tenang, aman dan nyaman. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H