Mohon tunggu...
dody hendro susilo
dody hendro susilo Mohon Tunggu... -

dokjter yang berusaha memberikan yang terbaik untuk ummat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mewujudkan Kepuasan Masyarakat dengan Jaminan Kesehatan Nasional

24 Maret 2018   04:24 Diperbarui: 24 Maret 2018   04:29 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: tribunnews.com

Pelayanan  jaminan kesehatan nasional (JKN) telah berjalan selama 3 tahun terhitung 1 januari 2014, dimana  pada 2019 diharapkan semua penduduk indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.  Per 1 maret 2018, sudah 193.535.881 jiwa  atau 76% dari penduduk indonesia telah terlindungi  jaminan kesehatan nasional. 

Ini adalah pencapaian besar dalam waktu singkat ini dibandingkan negara lain yang juga melaksanakan jaminan kesehatan nasional. Indeks kepuasan peserta nasional dalam survey yang dilakukan oleh Frontier consulting group pada tahun 2017  naik sebesar  79,5%. Di rumah sakit, kepuasan peserta sebesar 79,2% naik 0,9% dibandingkan 2016 yang sebesar 78,3%. 

Indeks ketidakpuasan peserta nasional dimana tahun 2016 pada angka 1,4%  turun ditahun 2017 di rumah sakit  swasta menjadi 1,1 % dan rumah sakit pemerintah menjadi 0,9%.  Hal ini didukung semakin mudahnya masyakat dalam mengakses pelayananan kesehatan dimana pada 2016 Total pemanfaatan pelayanan kesehatan sebesar 177,6 juta pelayanan meningkat ditahun 2017 sebesar 219,6 juta pelayanan.  

Prestasi ini patut diapresiasi bahwa kerja keras bersama antara BPJS Kesehatan dan penyedia pelayanan kesehatan yang berada di fasiltas kesehatan tingkat pertama(FKTP) seperti Puskesmas, Klinik pratama , Praktik dokter dan dokter gigi maupun fasilitas kesehatan rawat tingkat lanjut (FKRTL)  seperti Rumah Sakit. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa sikap optimisme harus hadir dalam pemenuhan jaminan kesehatan semesta bagi penduduk indonesia di tahun 2019.

Keberhasilan program jaminan kesehatan nasional,dalam hal kuantitas jumlah peserta dan jumlah pelayanan, harus juga diiringi pada perbaikan pada aspek kualitas pelayanan yang bermutu (quality performance) oleh penyedia pelayanan kesehatan. Data pengaduan di FKTP dan FKTRL tahun 2017 yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan secara nasional  menunjukkan 2.401 keluhan di FKTP,  4037 keluhan di FKRTL dan 808 keluhan terkait pelayanan obat. 

Jika dikalkulasi sebesar 0,00003% dari pelayanan yang telah diberikan, namun perlu dilihat bahwa ini adalah fenomena gunung es dimana masalah sebesarnya lebih besar lagi sehingga tidak menjadikan berpuas diri dan menuntut pihak yang terlibat di JKN untuk tetap memperbaiki diri.  Keluhan yang muncul bervariasi seperti panjangnya antrian, minimnya sarana prasarana, penolakan peserta dari luar daerah, informasi yang tidak jelas, sulitnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sikap petugas dalam melayani peserta, kekosongan obat, dan iur biaya. 

Tenaga medis seperti dokter dan  perawat sering menjadi objek keluhan tersebut, hal ini dikarenakan mereka adalah petugas yang bersentuhan langsung dengan pasien sehingga dianggap sebagai pelaku yang menyebabkan ketidakpuasan tersebut dan tenaga medis tersebut dianggap sebagai gambaran dari sistem kesehatan. Namun apakah ini benar?  

Pasien akan merasa puas apabila penyedia pelayanan kesehatan dianggap mampu memberikan kinerja (hasil) yang dirasakan diatas dari harapannya. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pasien akan kecewa. Pengalaman pasien (patient experience) ini  dibentuk sejak pra pelayanan, proses pelayanan klinik , dan pasca pelayanan.  Di fasilitas kesehatan, pengalaman pasien tersebut dibentuk tidak hanya dilakukan oleh aktiftas tenaga medis semata, namun juga aktifitas pendukung lainnya, seperti pelayanan laboratorium, farmasi, pendaftaran, administrasi keuangan dan lainnya, yang semuanya sesuai manajemen fasilitas kesehatan tersebut, baik yang bersifat harta yang tampak (tangible assets) dan harta yang tak tampak (intangible assets).  

Patient Experience  yang merupakan  inti atau fokus dari pelayanan kesehatan berfokus pada pasien  (Patient Centered Care) adalah pendekatan pelayanan yang berkembang dalam satu dekade terakhir di negara maju. 

Patient Experience merupakan sebuah budaya yang harus dibangun oleh setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Patient experience (Pengalaman Pasien) yang baik akan memicu loyalitas pasien (Patient Engagement)  yang diharapkan juga akan dapat merubah gaya hidup pasien. Dengan mengembangkan pelayanan yang berfokuskan pada upaya dengan peningkatan pengalaman pasien  yang baik akan memperbaiki fasilitas kesehatan tersebut dengan sendirinya. Dua diantaranya ialah meningkatkan pendapatan rumah sakit, sehingga motivas kerja akan terpacu dan akan meningkatkan citra fasilitas kesehatan di tengah masyarakat.

Picker Institute, organisasi non profit yang mengembangkan pelayanan kesehatan berfokus pada pasien di eropa, menyebutkan yang diinginkan pasien adalah akses cepat ke rumah sakit yang andal, penanganan efektif oleh tenaga profesional, ikut serta dalam keputusan dan menghargai pemberi pelayanan, informasi mengenai kesehatannya yang cukup dan mendukung keperawatan mandiri yang berkelanjutan. 

Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan yang baik tidak hanya fasilitas kesehatan yang berwujudkan bangunan dan peralatan yang baru semata, namun juga yang fasilitas kesehatan yang mampu mewujudkan budaya kerja yang menjadi kesepakatan nilai bersama untuk mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh pasien dan tenaga yang lain untuk bekerja secara nyaman. 

Hal ini bisa dilakukan dengan hal yang mudah seperti mengucapkan atau menjawab salam, menyapa pasien dan tenaga lainnya,  meminta izin  memindahkan pasien ke tempat tidur, sikap dan komunikasi saat memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan orang lain  dan lainnya. Intangible asset yang jarang mendapatkan perhatian di pelayanan kesehatan inilah yang justru menciptakan patient experience yang lebih baik dan ini menjadi modal kuat bagi fasilitas kesehatan yang memiliki kapasitas fiskal yang tidak seleluasa penggunaannya dibandingkan fasilitas kesehatan yang lebih besar lainnya. intangible asset ini bisa kita terapkan di saat pelayanan konsultasi, pelayanan oleh staf dan dokter, pendaftaran, customer service  dan call center.

Akreditasi adalah instrumen terbaik hingga saat ini yang bisa digunakan untuk memastikan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Pelayanan kesehatan yang bermutu akan turut berkontribusi dalam pembentukan pengalaman pasien yang baik. Akreditasi mengandung arti suatu pengakuan yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. 

Rumah sakit yang telah terakreditasi, mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa semua hal yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan prasarana yang dimiliki fasilitas kesehatan, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada pasien juga sudah sesuai dengan standar. Akreditasi rumah sakit adalah salah satu akreditasi yang berfokus pada pelayanan kepada pasien  yang kuat dalam proses, output, outcome; kuat pada implementasi serta melibatkan seluruh petugas dalam proses akreditasinya. Hingga januari 2018, dari 2782 rumah sakit di indonesia, baru 1543 RS yang telah terkareditasi atau sebesar 55,46% dengan 20 rumah sakit diantaranya berada di Prov. Lampung. 

Pada tahun 2019, BPJS Kesehatan mensyaratkan akreditasi sebagai syarat wajib untuk melanjutkan kerja sama dalam penyediaan pelayanan kesehatan.  Selain itu, untuk mempertahankan kualitas outcome pelayanan akan ada mekanisme kesepakatan volume pelayanan minimal untuk mengurangi waktu tunggu, kesepakatan volume pelayanan maksimal untuk mencegah overuse pelayanan, hingga standarisasi fasiitas kelas rawat kelas 1, 2 dan 3.

Untuk melaksanakan semua, mampukah di era JKN?

  JKN menuntut pelayanan yang diberikan bermutu secara kualitas dan efisien secara biaya. Berita defisit dana JKN yang diperkirakan sebesar 9 triliun beredar dalam semester terakhir di media harus diakui menjadi faktor penghambat dalam pemberian pelayanan di fasiltas pelayanan kesehatan. Uniknya, di tengah naiknya indeks kepuasan peserta, terjadi  turunnya indeks kepuasan fasilitas kesehatan dari 76,2% di tahun 2016 menjadi 75,7 % di tahun 2017, hal ini. Indeks ketidakpuasan fasilitas kesehatan  juga meningkat dari 4,1%  pada tahun 2016 menjadi 5,3 % pada tahun 2017. 

Fasilitas kesehatan ibarat mobil, ketika telah terakreditasi dia menjadi mobil yang bagus dan mulus, namun membutuhkan bahan bakar dan disinilah fungsi dana JKN tersebut, tersedianya dana akan memastikan proses pelayanan fasilitas kesehatan akan berjalan dengan baik. Hal ini menuntut manajemen pelayanan kesehatan untuk bisa berinovasi dalam efisiensi namun tetap menjaga mutu ditengah keterlambatan proses klaim dan pembayaran oleh BPJS Kesehatan.

BPJS kesehatan menjelaskan bahwa defisit ini tejadi  akibat iuran JKN khususnya pada penerima bantuan iuran dan peserta kelas 2 yang belum sesuai standar aktuaria. Angka jumlah peserta sebesar 193.535.881 jiwa juga masih bisa dipertanyakan berapa persen peserta yang masih bayar aktif tiap bulannya dan diperberat dengan ketidak tahuan peserta terhadap hak dan kewajibannya yang menimbulkan masalah dalam pelayanan. 

Menurut UU nomor 40 tahun 2004 pasal 15 dan 16 ,dan UU nomor 24 tahun  2011 pasal 10 (g), pasal 13 (d, e dan f) BPJS yang berkewajiban memberitahukan hak dan kewajiban peserta secara baik. Sesuai UU no 24 tahun 2011 pasal 56, defisit tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga  kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program jaminan sosial yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Instruksi Presiden 8/2017 tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 

Dalam beleid tersebut, Beberapa Kementerian dan Lembaga seusai fungsinya diberi amanat khusus mendukung JKN. Termasuk pemerintah daerah mulai dari Provinsi hingga Kabupaten/Kotamadya untuk lebih mengalokasikan anggarannya untuk memberi bantuan iuran kepada warganya sebagai bentuk komitmen pemerintahan provinsi dan daerah menjamin terpenuhinya hak warganya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Awal 2018, BPJS menyebutkan sudah  3 Provinsi (Aceh, DKI Jakarta, Gorontalo), 67 Kabupaten, dan 24 Kota sudah lebih dulu UHC  dan yang berkomitmen akan menyusul UHC lebih awal yaitu 3 Provinsi (Jambi, Jawa Barat dan Jawa Tengah) serta 59 Kabupaten dan 15 Kota. Di provinsi lampung sendiri masih, cakupannya masih 56,4% per desember 2017.

Dari penjelasan diatas, kita dapat memahami bahwa untuk membentuk pengalaman pasien yang baik tidak hanya dilakukan oleh tenaga medis semata, namun juga butuh dukungan regulasi, komitmen pemerintah daerah, peserta yang melaksanakan kewajiban dan haknya,  dan lingkungan kerja yang baik agar tenaga kesehatan dapat memenuhi harapan pasien yang dikemukakan oleh Picker institute. 

Hingga akhirnya kedepan, JKN dapat   memuaskan peserta dan juga memuaskan pemberi pelayanan kesehatan. Pesan inilah yang didapatkan dalam seminar perumah sakitan yang diadakan oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Daerah Lampung  pada 22-24 maret dengan tema " Kolaborasi Stakeholder Perumah Sakitan dalam Menyukseskan Universal Health Coverage".  Ketika muncul pertanyaan, apakah puas dengan pelayanan kesehatan yang ada? Maka pertanyaan itu kembali ke penanya, seberapa keras usaha kita untuk mensukseskan program JKN?

Dody Hendro S

Anggota IDI Lampung Utara

Saat ini beraktivitas sebagai peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit dalam di UGM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun