Suatu hari, kala hujan telah setengah musim mengguyur rajin segenap permukaan bumi, dari Tempat-Nya yang Maha Tinggi, Tuhan melihat bahwa manusia semakin mengagungkan peradaban mereka sebagai hal yang luhur hingga mengesampingkan Dia. Dalam hati-Nya yang penuh cinta tapi cemburu, Dia menyaksikan bagaimana hasil ciptaan-Nya saling membinasakan satu dengan yang lain tanpa peduli pada hukum yang telah Ia tetapkan bagi mereka. Alam yang Ia ciptakan dengan begitu indah untuk memayungi segala kehidupan yang ada, dengan sengaja telah dirusak hanya untuk kepentingan sesaat. Manusia dengan sombongnya menghalalkan segala cara untuk berkuasa atas kehidupan yang lain. Mereka menjadi hakim agung atas pergumulan hidup orang lain, bahkan dengan tega melukai dan membunuh sesamanya hanya untuk memuaskan nafsu mereka untuk berkuasa. Kekerasan yang terjadi dan menimbulkan perih teramat sangat ini disebut manusia sebagai pendirian tonggak kerajaan Allah di muka bumi ini. Ke-tak segan-seganan mengatasnamakan Sang Pencipta oleh manusia untuk mensahkan ketega-an mereka sungguh adalah suatu hal yang tidak hanya menyedihkan hati Sang Pencipta, tapi juga semakin menambah coreng di daftar dosa manusia. Tidak hanya itu, seorang manusia kecil yang belum sewindu mengenyam pahitnya dosa menjadi manusia bertanya polos “adakah Tuhan Allah membolehkan semua itu terjadi? Lalu mengapa ia harus melarang manusia dalam hukum-hukum yang ia tetapkan?”
Mendengar tanya ini, semakin bertambah sedihlah hati Tuhan, hingga akhirnya Ia tak mampu lagi menahan murkanya atas manusia yang semakin berpengalaman berbuat dosa. Ia lalu mengutus alam yang telah dirusak manusia untuk memberi teguran dan peringatan kepada manusia, agar manusia sadar bahwa Ia sangat murka dengan semua kepalsuan juga kemunafikan yang telah dibuat oleh mereka. Tuhan memberi kuasa kepada alam untuk menghakimi manusia dengan cara-cara alam, maka mulailah alam menjalankan misinya membalas kejahatan manusia. Angkara Tuhan ini akhirnya berwujud dalam rupa-rupa bala bencana. Barisan gunung-gunung meledakan amarahnya, dimulai dari isi perutnya yang terus mengeluarkan lahar dan gumpalan awan panas, juga beberapa bagian dari sisinya sengaja dia gugurkan, lalu semuanya ramai-ramai meluncur menghancurkan peradaban yang diagungkan manusia. Di daerah dataran yang juga telah diistimewakan manusia sebagai tempat memamerkan kesombongan dan keserakahan, dikirimi air bandang. Kehancuran akibat semua itu tak mampu dicegah oleh teknologi manusia secanggih apa pun. Beberapa orang tenar yang memproklamirkan diri sebagai orang budiman lalu menyerukan kepada sesamanya yang dianggap kafir untuk merefleksi diri, tanpa melihat bahwa sesungguhnya kotoran di matanya lebih besar dari gunung himalaya. Alhasil, ketika alam mulai meredakan hukumannya bagi manusia, seruan refleksi diri hanya tinggal seruan saja.
Tuhan lalu membuat cara yang lain lagi, yang baginya lebih halus agar manusia bisa kembali melihat lagi dirinya. Dibuatnya para raja negeri untuk rembug merancang sebuah proses sederhana untuk kedamaian. Maka mulailah daya khayal para raja dan hulubalangnya melambung mencipta imajinasi di pusat pikiran masing-masing. Sayangnya, terlalu tinggi mereka berimajinasi, sehingga ketinggian itu melebihi tempat di mana Tuhan dengan sedih sedang duduk melihat kesombongan mereka yang kali ini kembali salah memahami maksud Tuhan. Hasil imaji mereka akhirnya menghasilkan sebuah rancangan yang bagi mereka bisa mendamaikan dunia ini. Di sebuah kota yang penduduknya bisa dibodohi, para pesuruh raja membuat sebuah taman eden versi mereka. Taman itu berdiri megah melebihi keindahan eden, dana agar taman itu menjadi megah diambil dari pajak hasil jualan singkong para rakyat jelata di pasar-pasar kecil nun di desa. Di tengah-tengah taman sesempit pikiran mereka itu sebuah patung kitab raksasa berdiri megah melambangkan keangkuhan, di depan kitab itu ada sebuah pena yang mungkin bisa dipakai untuk menulis lagi segala dosa-dosa. Di samping kitab itu tersebut digantung sebuah gong raksasa yang lantas disebut manusia sebagai gong perdamaian, harapannya ketika gong itu ditabuh, gemanya yang mengantar pesan damai dapat terdengar hingga ke seluruh penjuru negeri.
Maka datanglah yang dipertuan agung seluruh negeri ke kota di mana eden jadi-jadian dibuat. Sebelumnya, untuk menyambut sang raja pembawa dana, para punggawa istana telah mempersiapkan dengan matang segala rencana penyambutan. Lembah-lembah telah ditimbun, gunung dan bukit diratakan, jalan yang berliku telah diluruskan dan yang berlekuk diratakan, yang kotor di sepanjang jalan yang akan dilewati juga harus dibersihkan dari segala kotoran, termasuk rakyat kecil yang dianggap kotoran, walaupun selalu membayar upeti bagi raja.
Singkat cerita, kedatangan sang raja yang juga untuk menghadiri pesta sebuah kelompok insan yang mendewakan diri mereka sehingga tak boleh disalahkan oleh siapapun ini disambut dengan sangat meriah. Para pencari ilmu yang masih belia dan belum mengerti apa-apa karena selalu dibohongi di ruang pembohongan publik terbesar di jagad ini dipaksa berjejer rapi di sepanjang jalan untuk mengelu-elukan sang raja yang akan lewat. Di taman yang menjadi tujuan pertama dari semua rencana kunjungan mahal sang raja, para perempuan cantik berjejer untuk menari bagi sang raja. Taman itu diresmikan dengan gelegar histeria seluruh rakyat. Gong perdamaian ditabuh dengan keras sebanyak 5 kali, agar gaungnya yang bernada damai terdengar seantero negeri.
Entah bagaimana, seiring dengan bunyi gong yang menggema itu, di tempat lain yang masih satu negeri, lagi-lagi ada manusia-manusia perkasa yang mengatasnamakan Tuhan membantai sesamanya tanpa sedikit pun belas kasih sambil meneriakan nama Tuhan. Rusuh di mana-mana. Hasilnya, kuil-kuil ibadah, rumah dan harta diabadikan dengan api untuk menjadi arang.
Sang raja yang dipertuan agung tersentak, dalam hati ia bertanya “terlambatkah gaung damai sampai ke tempat itu? Ataukah terlalu keras gong itu dipukul? Ataukah terlalu banyak gong itu ditabuh? Bukankah biasanya hanya 3 kali?”
Namun, tanya itu hanya tinggal tanya dalam hati sang raja, kemudian terdiamlah sang paduka, yang ke-diam-an itu mampu diterjemahkan salah seorang hulubalangnya sebagai sebuah titah yang dengan cepat menyebar ke seluruh negeri bahwa, sang raja menitahkan para panglimanya untuk menangkap dan membubarkan kelompok-kelompok yang terlibat dalam kekacauan tersebut. Sang raja sendiri lalu meneruskan rencananya bernostalgia di sebuah tempat di mana ia pernah memimpin sebuah perang. Para panglimanya yang ia titahkan dalam diam untuk bertindak terhadap aksi anarkis ternyata hanya diam tak mampu berbuat apa. Bagaimana tidak terdiam, kelompok yang diancam akan dibubarkan justru balik mengancam akan mengadakan revolusi untuk mengkudeta sang raja. Sungguh kasihan.
Sampai saat ini, sang raja yang telah kembali ke istananya yang megah di ibukota raja masih juga diam. Mungkin karena dia sendiri juga takut bertindak karena takut tahta sucinya terenggut alias jatuh ke tangan orang lain. Maka sebagai rakyat, perlukah kita juga terus diam melihat ke-anarkisme yang terus dilakukan kelompok sombong ini?? perlukah kita terus diam melihat raja kita yang diam terhadap apa yang menimpa rakyat di samping istananya??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H