* * *
Setelahnya selama berminggu - minggu bahkan berlari dalam hitungan bulan aku kesana-kemari, ke pelosok kota Tangerang dari ujung ke ujung sampai kebingungan menderaku bertalu - talu. Hanya satu tujuanku, mencari informasi kampus untuk kuliah yang terjangkau. Di kota ini hanya 2 universitas yang bertengger dan selebihnya hanya sebuah sekolah - sekolah tinggi dan lembaga - lembaga yang patut di tanyakan keberadaan. Jadilah aku terdampar di suatu Sekolah tinggi ini karena tiga hal pokok yang tak dapat di tawar lagi, pertama lokasinya yang dekat dengan pabrik paling hanya 7 menit hanya dengan angkot, kedua jadwalnya yang fleksibel bagi seorang pekerja shif kambuhan kadang kerja malam atau pagi dan ketiga pastinya ini yang sebenarnya tak mampu aku pikirkan lagi biayanya yang dibawah standar dari kampus yang lain walaupun bagi seorang kuli sepertiku masih saja terlalu mencekik leher. Untuk makan esok hari saja harus benar - benar di perhitungkan. Namun semua keraguan dan ketakutan yang sempat merasukiku dan membuatku hampir berhenti berharap kini hilang sudah menguap bagai asap yang keluar dari cerobong pabrik - pabrik itu. Ternyata ada sebuah sinar keberanian yang muncul dari dalam diriku, merengkuh, mendorong untuk terus mengikuti kemana jalanya sinar terang tadi melalui kata naluri hatiku. Dan pikiranku tetap saja terhenti sejenak ketika aku memikirkan ini semuanya. Ya menempuh pendidikan setinggi mungkin, di tempat ini, tempat dimana sekarang aku berdiri benar - benar mematung diri. Pilihanku telah tertambat disini, paling tidak untuk sekarang ini. Berbagai lintasan pikiranku tadi ternyata telah membuatku tak sadar bahwa telah banyak mahasiswa dan mahasiswi yang lalu - lalang, mondar - mandir kesana kemari ketika aku masih terpaku memandang pemandangan outdoor melewati jendela walau pikiranku sedang berkelana jauh melampaui jauhnya jangkauan pandanganku di ujung parkir di depan CARREFOUR di sana.
* * *
Mereka semua berpakaian rapi, sampai aku tertegun ketika mataku bertemu pandang dengan salah satunnya. Ada yang hendak ke musolla karena sang maghrib hampir tiba, ada yang ke toilet dan ada yang hanya sekedar ingin main pingpong di ujung ruangan yang baru kumasuki tadi dengan Bp Han. Mereka semuanya memakai pakaian formal jas dan celana kain bagi mahasiswa dan rok kain dengan warna yang senada, Inilah tempat -tempat orang yang intelek pikirku sejenak ketika ingatanku kembali membandingkan dengan teman - temanku sesama kuli pabrik dengan pakaiaan seragam yang tak di gilas seterika, tak memakai ikat pinggang nan diperparah dengan kotoran yang seakan mereka acuh karena itu adalah teman karibnya sampai saat ini. Sesekali mereka menoleh kearahku, aku tahu dari sudut mataku, bahkan beberapa kaum hawa cekikikan tanpa risih, bergerombol mencuri - curi pandang kearahku. Sesaat kepercayaan akan pesonaku meninggi, namun ketika tak semuanya memberi respon serupa bahkan ada yang melayangkan tatapan tak kumengerti, dengan tak ramah menyiratkan siapa peduli. Yah tatapan - tatapan seperti terakhir itu pasti muncul, setelah ku tahu bahwa pakaian ku yang memang beda dari mereka. Mungkin mereka pikir, Siapa makhluk asing ini, kepala lontos, dengan seragam nyleneh yang tak seirama dengan komunitas mereka itu. Merekapun sebenarnya tahu jawaban itu, mahasiswa baru pastinya.
* * *
Karyawan dan mahasiswa itulah profesiku yang membahagiakanku sekarang ini. Karena amat jarang yang bisa mempunyai keduanya, atau bahkanpun salah satunya. Tapi bagaimana caraku untuk memberikan bandul keseimbangan keduanya, kini keyakinanku memudar memikirkanya. Aku tersenyum sendirian, otakku berbisik aku pasti bisa, bisa kapan membagi waktu kapan harus bekerja dan kapan harus belajar walaupun itu pasti tak akan mudah untuk kulakukan tapi bukankah sampai saat ini aku juga telah mempunyai bandul - bandul penyeimbang tadi, semuanya telah berada dalam gengaman keyakinanku saat ini. Khayalankupun mulai mempermainkanku, membayangkan bahwa aku bisa menjadi karyawan yang tak biasa tak hanya bermodal otot belaka karena memang benar aku tak mempunyai otot yang kekar itu. Menjadi seorang karyawan yang mampu berpikir lebih jauh, sesuatu yang inovatif, berwawasan luas dan akhirnya mampu memegang kewajiban yang besar yang telah menunggu di pintu masa depan, yang tak hanya kerja, kerja dan kerja yang biasa saja. Dan sebagai mahasiswa aku ingin melakukan, menembus batas - batas penghalang, dan melewatinya bahwa dalam belajar itu tak mengenal batas waktu. Pastinya bisa di capai tanpa harus membebankan semua beban - beban keuangan yang makin lama - makin menggunung kepada sang pemberi nama ketika kita lahir ke dunia, karena mereka, hanya mempunyai beberapa lembar uang untuk makan sekarang saja amat kurang ataupun hanya mempunyai sebukit sawah penopang hidup, bukan gunung - gunung uang itu. Karena tak semua orang tua itu seorang Gubernur yang mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri walaupun dengan segepok uang sogokan agar anaknya ditterima karena sang anak yang tidak mempunyai kemampuan standar, bahkan dibawah standar karena tak mampu membedakan pengucapan antara Smell dan Smile sehingga ketika hati bermaksud mengucapkan senyum anda berubah makna menjadi bau anda. Semua pasti bisa kulalui, dapat kuhadapi, bekerja untuk mendapatkan sebuah penghasilan sendiri, yang dapat di gunakan untuk menjadi pilar penopang jalanya pendidikan yang sedang di raih. Karena pendidikan tak boleh terhenti dengan adanya suatu ganjalan kecil, alasan klasik, yang mampu membabat mati mimpi - mimpi kita dimasa yang akan datang yaitu alasan tak ada biaya.
* * *
Tak ada biaya. Tak ada biaya untuk kuliah. Kemudian tanpa terasa air mataku mengalir perlahan ketika mengingat kata - kata itu. Masa itu, ketika mereka, kedua orang tuaku berucap, "Ya tak ada biaya untuk kuliah Do...."* * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H