Keluarga selalu menjadi tempat yang saya rindukan, apalagi sudah beberapa tahun terakhir ini saya tinggal jauh dari keluarga. Kedua orang tua saya sudah semakin bertambah usia. Akan tetapi, mereka tetap semangat dan sehat. Ayah masih senang mengisi masa pensiunnya dengan berolahraga.Â
Sementara itu, ibu tetap semangat memasak dan bersih-bersih rumah, walaupun ada asisten yang membantu. Mereka ditemani oleh salah satu kakak saya bersama suami dan anak-anaknya. Ketiga kakak saya yang lain juga masih sering menengok kedua orang tua saya. Mereka semua saling berbagi kehangatan satu sama lain.
Saya pun ingin sekali membagikan kehangatan kepada orang tua dan saudara-saudari saya. Seandainya pandemi Covid-19 sudah mereda, saya akan menyempatkan diri pulang untuk merayakan Natal dan Tahun Baru bersama mereka. Sayangnya, pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda.Â
Alhasil, tahun ini saya merayakan Natal dan Tahun Baru bersama teman-teman saja, jauh dari keluarga. Sempat juga saya melakukan video call dengan keluarga saya. Memang, jika melalui video call, kehangatan afektif tidak bisa dibagikan secara fisik, entah itu melalui sentuhan, apalagi pelukan. Kehangatan hanya dapat disampaikan melalui sapaan dan senyuman, sekadar keluarga nun jauh di sana melihat sendiri bahwa anak bontotnya ini sehat-sehat saja di perantauan. Akan tetapi, tampaknya pilihan tersebut lebih bijak dan realistis saat ini demi menjaga kesehatan dan keselamatan kedua orang tua saya yang sudah lansia.
Selain melalui video call, sebenarnya ada satu cara lagi yang ingin saya tempuh. Cara yang dimaksud adalah memberi makanan kesukaan kepada anggota keluarga, khususnya orang tua saya. Cara ini sudah diwujudkan ketika saya masih menjalani studi di Yogyakarta beberapa waktu lalu.Â
Ketika sedang mumet-mumetnya dikejar tenggat waktu penyelesaian tesis, saya memilih tidak pulang ke rumah. Akan tetapi, saya berpikir bahwa bolehlah saya tidak pulang, yang penting ada sesuatu dari saya yang harus sampai di rumah. Saya membatin, "Kira-kira apa ya yang bisa saya berikan untuk keluarga?"Â
Muncul di benak saya kakak dan ibu saya yang pernah mengatakan bakpia kesukaan mereka. Maka, bergegaslah saya membeli beberapa merek bakpia sesuai selera para anggota keluarga saya. Setelahnya, saya mencari kantor JNE terdekat. Dalam waktu sekejap saja transaksi berjalan lancar. Dua hari kemudian kakak saya mengabari, "Do, bakpia kiriman lu udah sampai ya!" (Walaupun keluarga Dayak, saya dan keempat kakak saya tumbuh besar di Jakarta. Akibatnya, cara komunikasi kami tentu saja a la Jakarta.) Tidak lupa pula ia mengirimkan foto sepaket bakpia yang saya kirimkan sebagai bukti.
Wah, rasanya saat itu bahagia sekali bisa membagikan kebahagiaan dan kehangatan kepada keluarga tercinta, walaupun "hanya" melalui sepaket bakpia. Yang pasti, sepaket bakpia itu adalah tanda cinta sederhana dari saya untuk keluarga. Dan, JNE ketika itu membantu saya menyampaikannya kepada keluarga. Ibarat kisah mitologi Romawi kuno, JNE ibarat anak panah Cupid yang membawa tanda cinta hingga diterima tepat sasaran oleh keluarga saya.
Bagaimana dengan tahun ini? Saya merencanakan untuk memberi tanda cinta dalam bentuk yang lain lagi. Bentuknya apa? Tentu saja masih rahasia, karena saya memang memaksudkannya sebagai kejutan. Yang pasti, saya berharap bahwa JNE masih bisa dipercaya untuk kembali mengantar tanda cinta itu sampai diterima oleh keluarga saya. Selain berbagi kebahagiaan bersama keluarga, muncul pula ide untuk, melalui JNE, menyantuni anak-anak yang membutuhkan bantuan, khususnya terkait pendidikan mereka. Orang-orang seperti mereka pasti juga berhak bahagia. Hmm...kira-kira bisa atau nggak ya?