Apa keistimewaan dari ibu saya? Setelah dilihat-lihat lagi, yang membuat ibu saya menjadi istimewa adalah beliau tidak pernah melakukan sesuatu yang istimewa sebagai seorang ibu. Ibu saya bukanlah dosen, peneliti, sosialita, selebgram, atau perempuan berpengaruh. Beliau adalah ibu rumah tangga biasa. Sebagai ibu rumah tangga, beliau melakukan pekerjaan-pekerjaan standar, misalnya mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Selain itu, bersama ayah saya, beliau juga membesarkan kelima anaknya, dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Walaupun memperhatikan dan menyayangi semua anaknya, tidak dapat dipungkiri ibu saya juga memiliki anak kesayangan, yaitu kakak laki-laki saya, Si Sulung.
Ibu saya juga seperti emak-emak pada umumnya. Meminjam istilah komika Abdur Arsyad, ibu saya adalah penonton sinetron garis keras, pernah khawatir ketika anaknya yang bontot (saya sendiri) kesulitan mendapat nilai bagus di sekolah, dan suka membicarakan anak-anaknya dengan ibu-ibu yang lain. Kerapkali di dalam pembicaraan itu beliau membandingkan anak-anaknya dengan anak-anak lain, termasuk tentunya dengan anak-anaknya sendiri. Ketika saya masih kecil, beliau juga memandikan, membantu saya cebok, menyuapi saya, dan menemani saya belajar. Ketika saya melakukan kesalahan, beliau juga menegur dan memarahi saya.
Singkat cerita, yang beliau lakukan itu rata-rata dilakukan juga oleh ibu-ibu lain di manapun, khususnya mereka yang menjadi ibu rumah tangga. Akan tetapi, bagi saya, justru itulah keistimewaan ibu saya. Tugas-tugas seorang ibu secara nyata dijalankan dengan tekun dan setia. Setiap hari, setiap saat.
Bukan berarti ibu saya tidak pernah mengeluh. Seperti manusia normal pada umumnya yang bisa lelah dan punya batas kesabaran, beliau pun pernah mengungkapkan kesulitannya membesarkan anak seperti saya, yang mungkin memang tidak mudah dipahami. Beliau juga pernah melakukan sesuatu yang menurut saya adalah suatu kesalahan, yaitu melarang saya membantu bersih-bersih. Karena tidak pernah dibiasakan bersih-bersih itu, saya baru mahir menyapu dan mengepel lantai ketika hidup di asrama pada masa SMA. Itu juga setelah seorang kakak kelas menertawakan saya yang tidak becus menyapu atau mengepel.
Hal lain yang juga, menurut saya, merupakan kekeliruan ibu saya adalah mengajari saya untuk menjauhi persoalan, bukan untuk menghadapi dan menyelesaikannya. Ketika saya terantuk, jatuh, lalu menangis, ibu saya selalu berusaha menenangkan saya sambil "memarahi" ubin tempat saya jatuh. Demikian pula, ketika saya, sebagai anak bungsu yang cengeng, menangis setelah diledek teman-teman saya, ibu saya justru mengatakan, "Ya kamu jangan mau berteman sama mereka lagi!"
Ibu saya adalah seorang ibu biasa, yang juga membawa seluruh kemanusiaannya saat menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Beliau pun mendidik saya untuk menjadi manusia biasa, yang berupaya memperlihatkan kualitas diri, bukan untuk disombongkan, melainkan untuk membantu orang lain sesuai kebutuhannya. Pada saat yang sama, bagi beliau, semakin unggul kualitas seseorang, semakin juga ia berani menatap kelemahan sekaligus mau dan tahu cara memperbaikinya. Dan, beliau ingin saya untuk mengenal beliau sebagai manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Alasannya adalah supaya saya belajar memperlakukan orang lain secara wajar, layaknya manusia biasa. Memperlakukan orang lain layaknya manusia biasa berarti dengan rendah hati mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain, tapi juga mau menerima kelemahan orang lain sekaligus membantu memperbaikinya.Â
Pada akhirnya, memang itulah keistimewaan ibu saya, yaitu dengan setia menjadi ibu biasa, yang mau berbagi kelebihan sekaligus bangga akan kelebihan anaknya, tapi juga mau dengan sabar menanggung kelemahan dirinya sekaligus kelemahan anaknya sendiri. Terima kasih, Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H