Pandemi yang terjadi karena penyakit sudah ada dan beriringan dengan tumbuhnya peradaban manusia. Dunia, dalam rentang waktu yang beragam, pernah mengalami pandemi seperti pes, flu Spanyol, dan sekarang virus corona. Pandemi sudah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia.
Oleh karena sudah menjadi bagian dari sejarah, berbagai upaya dokumentasi dilakukan terhadap pandemi dan peristiwa-peristiwa terkait. Mewabahnya virus corona dan kejadian-kejadian di sekitarnya, misalnya, saat ini direkam secara audio dan visual. Ada yang dalam bentuk foto, video, tulisan ataupun kombinasi ketiganya. Sebelum foto dan teknologi audio ditemukan, perekaman dilakukan secara tertulis dan melalui seni rupa dua dimensi. Berkat dokumentasi ini generasi selanjutnya dapat mengetahui sejarah dan belajar dari kasus-kasus pandemi yang sudah terjadi.
Seni rupa dua dimensi secara khusus dibahas di dalam artikel ini. Baik dalam bentuk lukisan, kartun, poster, maupun ilustrasi buku. Sebagai suatu karya, seni rupa dua dimensi lebih dari sekadar dokumentasi zaman dan media pembelajaran bagi generasi pasca-pandemi, dibandingkan dengan media dua dimensi lainnya.Â
Perasaan, kritik sosial, dan sisi misterius pandemi dapat disampaikan melalui suatu karya seni rupa dua dimensi. Menurut saya, aspek-aspek tersebutlah yang kemudian berperan penting memelihara iklim berkesenian di dalam situasi apapun, termasuk masa pandemi dan setelahnya. Tanpa bergantung pada regulasi pemerintah, kebutuhan ekonomi dalam masa pemulihan setelah pandemi, dan pesatnya pertumbuhan teknologi.
Sebagai contoh, sebagian orang bisa jadi merasa takut dan sebagian lagi mengernyitkan dahi jika melihat gambar 'plague doctor' atau dokter wabah saat penyakit pes menjangkiti Eropa pada abad XVII. Lihat saja karya berjudul "Doctor Schnabel von Rom" yang dibuat Paulus Furst dari Nuremberg, Jerman. Seperti ditampilkan dailyartmagazine.com, di dalam gambar tahun 1656 yang disimpan di British Museum, London, itu dokter wabah mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan wajah ditutupi masker berbentuk paruh burung.
Bagi penggemar film ber-genre thriller, sepintas gambaran dokter wabah bisa diasosiasikan dengan tokoh-tokoh psikopat. Karena wawasan yang kurang, gambaran itu dapat dikira kiasan atas mengerikannya wabah pes yang membunuh jutaan warga Eropa saat itu. Apalagi kalau melihat gambaran itu di atas wadah karya seni dua dimensi.
Padahal, kostum dokter yang Furst gambarkan itu sejatinya bukan kiasan ataupun sebentuk karya seni. Kostum dokter di masa pandemi saat itu memang demikian adanya. Jubah panjang hitam dimaksudkan sebagai semacam alat pelindung diri (APD). Sementara itu, masker paruh burung digunakan untuk menampung rempah-rempah yang menetralisir bau tidak sedap dari para pasien pes.
Yang ingin saya tunjukkan di sini adalah iklim berkesenian terpelihara ketika rasa ingin tahu orang tergelitik karena melihat gambaran dokter di masa serangan "Maut Hitam" (Black Death) itu.Â
Ada sisi misterius kostum dokter wabah yang berhasil diikutsertakan di dalam dokumentasi berbentuk gambar sehingga membangkitkan rasa ngeri sekaligus penasaran penikmatnya pada masa sekarang. Gambar dokter wabah itu lalu mendorong orang mencari tahu dan belajar mengenai pandemi masa itu. Dan, karena mampu merangsang orang untuk belajar itulah gambar dokter wabah dari Furst itu menjadi penting.
Contoh lain seni rupa dua dimensi menanggapi pandemi dapat dilihat dalam "Ignorance = Fear 1989". Disebutkan oleh dailyartmagazine.com, poster karya Keith Haring ini dibuat untuk menanggapi pandemi HIV/AIDS yang mewabah pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Ia sendiri juga diketahui telah divonis mengidap AIDS. Mengetahui informasi mengenai latar belakang sang perancang akan memperkuat pemahaman atas pesan poster yang dibuatnya. Bukan hanya pemahaman, ikatan perasaan antara audience dan posternya akan terbentuk oleh simpati.
Akan tetapi, tanpa pengetahuan akan informasi tersebut, poster ini sendiri sudah "mengundang" karena menggambarkan tiga sosok yang menutup mata, mulut, dan telinga. Orang awam bisa jadi akan mengasosiasikan gambaran itu dengan ketidaktahuan, kesalahpahaman, atau kekeliruan informasi.Â