Kita mengadakan rapat besar ini untuk menyambut jaman baru yang terbuka dalam sejarah Indonesia. Pada tanggal 7 bulan ini Tenno Heika dan Pemerintah di Tokyo menunjukkan kemurahan hatinya dengan menjanjikan, bahwa Dai Nippon Teikoku memperkenankan kemerdekaan segenap bangsa Indonesia kelak di kemudian hari, supaya dengan jalan demikian moga-moga kemakmuran segenap bangsa Indonesia yang kekal dan abadi, dapat dipertahankan seteguh-teguhnya..
Kita berkumpul di lapangan Ikada ini dengan keinsafan, bahwa dari mulai sekarang ini kita bekerja menyusun negara baru, menyiapkan lantai dan tiang perumahan bangsa kita: Indonesia merdeka. (M. Hatta, disampaikan pada pidato di Lapangan Ikada 11 September 1944).
Kemerdekaan yang dijanjikan semakin dekat, seiring dengan makin terdesaknya Jepang pada pertempuran Pasifik. Menindaklanjuti janji yang disampaikan oleh Tenno Heika (Kaisar Hirohito) tersebut, sejak tanggal 8 September 1944 lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih diperkenankan dinyanyikan dan dikibarkan.
Sebuah kabar yang menggembirakan bagi rakyat Indonesia, begitu juga dengan para tokoh nasional yang selama ini memilih untuk bekerjasama dengan Jepang. Meskipun menimbulkan berbagai kontroversi, namun strategi para tokoh tersebut semakin mendekati keberhasilan.
Rasa gembira disampaikan Bung Hatta melalui pidatonya. Setelah ditindas oleh imperialisme Belanda selama 3,5 abad, akhirnya pada masa pendudukan Jepang ini cita-cita kemerdekaan akan segera terwujud. Beliau juga menyampaikan bahwa jika kelak saat rakyat Indonesia menerima kemerdekaan, hendaklah menyatakan terima kasih yang seikhlas-ikhlasnya kepada Pemerintah di Tokyo serta kepada Bala Tentara Dai Nippon.
Bung Hatta juga mengajak rakyat untuk bekerja menyusun negara baru, menyiapkan lantai dan tiang perumahan bangsa: Indonesia Merdeka. Kerja ini akan berhasil jika rakyat mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran. Pemerintah Dai Nippon menjadi pemimpin untuk menyiapkan segala ramuan guna membangun negara merdeka. Beliau menambahkan, “...Indonesia hanya bisa mulia dan kuat terutama atas jasa dan kebaktian kita sendiri. Cita-cita besar kemerdekaan dapat dicapai dengan perjuangan yang tidak berkeputusan, dengan korban yang tidak berhingga. Kita boleh mengambil teladan kepada prajurit Nippon yang rela berkorban jauh dari tanah airnya, untuk menyelenggarakan cita-cita yang menjadi suruhan hidupnya.”
Hal pertama yang dianjurkan Bung Hatta adalah memadu kembali semangat persatuan bangsa yang sempat dirusak oleh Belanda dengan politik pecah belah. Di masa penjajahannya Belanda mengadakan politik pecah belah agar lebih mudah menguasai rakyat Indonesia. Selain politik memecah belah itu Belanda juga menganjurkan politik associatie (asosiasi), yaitu politik bersatu dan serasa dengan orang Belanda. Politik Asosiasi mendorong pribumi berasimilasi dengan budaya minoritas, dalam hal ini masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Asimilasi ini diharapkan dapat menghapus perbedaan sosial antara orang Indonesia dengan Belanda. Politik Asosiasi dilakukan untuk memengaruhi rakyat untuk melepaskan cita-cita kemerdekaan bangsa.
Politik asosiasi dijalankan dengan cara yang halus sekali. Bung Hatta mengatakan, “Kita sama kita disuruh berpecah belah, tetapi kita sama dia disuruh bersatu, artinya menjadi buntutnya.” Belanda berupaya menunjukkan bahwa persatuan Indonesia itu tidak ada dan yang dapat menyatukan bangsa Indonesia adalah Belanda.
Dua bulan kemudian, giliran Panglima Tertinggi Jepang yang menyampaikan Janji kemerdekaan kepada negara-negara yang diduduki Jepang, termasuk Indonesia. Melalui pidato radio pada 8 November 1944, Bung Hatta kembali menyampaikan rasa gembiranya dan tak lupa mengungkit jasa-jasa Jepang terhadap Indonesia. Dalam pidato ini kembali diulang semboyan “Asia buat bangsa-bangsa Asia”.
Berikut adalah penutup pidato radio yang disampaikan pada 8 November 1944 oleh Bung Hatta:
Indonesia luas tanahnya dan besar daerahnya dan sebagian Nusantara tersebar letaknya. Oleh karena itu pembangunan negara Indonesia yang merdeka dan kuat itu sulit. Pemerintah negara semacam itu harus dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggungjawab besar dan pandangan yang amat luas, lebih luas dari lingkungan kedudukannya sendiri. Rasa tanggungjawab itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan menjauhkan kepentingan diri sendiri dalam segala usaha kita sehari-hari, dengan memikirkan lebih dulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.
Untuk mendapat rasa tanggungjawab yang besar kita harus mendidik diri sendiri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya dari kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H