Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Gempa Jogja 2006, Agar Selalu "Eling lan Waspada"

27 Mei 2020   17:06 Diperbarui: 27 Mei 2020   17:58 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gempa dahsyat yang mengguncang Jogja dan sekitarnya 2006 silam sangat membekas dalam ingatan saya. Sabtu pagi, 27 Mei 2006 saya duduk-duduk di ruang tamu menunggu sarapan yang sedang Ibu siapkan. 

Setengah melamun, saya memandang jalanan di depan rumah yang masih lengang. Tetiba bumi berguncang pelan kemudian tak lama terasa sangat kencang. Tanpa pikir panjang, saya lari keluar rumah. 

Samar terdengar dari dalam rumah, ibu berteriak panik. Begitu juga dengan para tetangga yang berteriak sambil berlarian keluar rumah. Suara mereka tersamarkan oleh gemuruh bumi yang bergetar semakin kencang. Hingga pada suatu waktu, saya tidak bisa mendengar suara apapun ketika melihat tanah yang saya pijak bergelombang seperti air.

Sekitar 12 tahun kemudian peristiwa yang hampir sama kembali terulang. Kali ini terjadi di Tanjung, Kabupaten Lombok Utara pada 5 Agustus 2018. Beberapa hari terakhir memang seringkali terjadi gempa-gempa kecil susulan dari gempa yang cukup besar seminggu yang lalu. 

Awalnya saya kira hanya gempa susulan biasa, namun karena lama-lama guncangan semakin kencang saya pun berlari keluar dari warung makan menuju jalan raya. Dari tengah jalan, warung dan kios-kios sebelahnya nampak berguncang ke kanan dan kiri. 

Sebagian tembok mulai runtuh, bersamaan dengan itu lampu padam, aliran listrik terputus. Suara teriakan panik, bangunan runtuh, dan guncangan bumi dalam kegelapan malam terdengar mengerikan.

Setelah gempa, orang-orang nampak ketakutan dan tak tahu harus berbuat apa. Menangis sedih ketika mendapati orang terdekatnya menjadi korban. Takut ketika gempa-gempa berikutnya datang menyusul. Kemudian panik karena isu tsunami beredar satu jam setelah gempa. 

Posisi kami saat itu berada satu kilometer dari pantai, jadi wajar bila orang-orang ketakutan. "Beruntung", pengalaman gempa sebelumnya membuat saya dan beberapa kawan yang berasal dari Jogja tidak terlalu panik. 

Meski banyak orang bergegas menuju area perbukitan, kami sempat mampir ke rumah salah seorang kawan untuk mengambil barang yang sekiranya diperlukan di tempat pengungsian sementara. Kondisi rumah tempat kami menginap tampak berantakan, pura di samping rumah rata dengan tanah. 

Setelah memastikan bangunan cukup aman, kami masuk lalu segera mengambil jaket, selimut, dan beberapa botol air mineral. Barang-barang itulah yang menjadi bekal kami mengungsi semalam di sebuah bukit tanpa tenda.

Saat terjadi gempa bumi, kita harus segera keluar dan menjauhi bangunan menuju tanah lapang atau jalanan. Sebelum berlari ke jalan raya, harus dipastikan dulu kalau tidak ada lagi kendaraan yang melintas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun