Jarum jam belum tepat menunjuk angka delapan, beberapa teguk air baru saja saya tuntaskan selepas makan malam. Air dalam gelas yang masih seperempat itu mulai bergetar. Perlahan getaran terasa semakin kuat, sempat terpikir bahwa gempa itu hanyalah gempa susulan kecil biasa.
Tapi karena guncangan terus menerus terjadi dan bahkan bertambah kencang, segera saya lari keluar dari warung menuju jalan raya meninggalkan piring kosong yang belum terbayar. Listrik padam, sementara guncangan semakin kuat. Gelap menyergap ketika bumi masih berguncang, suasana begitu mencekam.
Dalam sekejap kepanikan melanda kota Tanjung, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Beberapa orang tampak saling berpegangan, berusaha menguatkan agar tidak tumbang.
Ada dua orang yang sempat memegangi tangan saya. Dari matanya terpancar ketakutan dan kecemasan, seperti perasaan yang kami alami saat itu. Sekitar semenit bumi berguncang, kemudian kembali tenang. Setelah berkumpul dengan teman-teman, kami pun berjalan mencari tempat yang aman. Terminal Tanjung menjadi tempat berlindung sementara, jauh dari bangunan dan tiang listrik.
"Jauhi tiang listrik!" menjadi peringatan yang sering saya dengar malam itu. Mungkin itu sebagai antisipasi jika ada tiang yang jatuh atau kabel putus yang masih beraliran listrik. Karena peringatan itulah saya berusaha untuk tetap berdiri meski sudah berada di tengah jalan dan jauh dari potensi runtuhan bangunan.
Sekadar untuk mengantisipasi kalau ada tiang listrik yang roboh maupun kabel putus. Selain potensi bahaya ambruknya bangunan, tiang listrik dan pohon dapat menjadi ancaman karena bisa roboh akibat guncangan gempa. Kabarnya memang ada tiang listrik yang jatuh di daerah Lombok Timur dan menutup badan jalan.
Posisi saya di jalan raya saat itu belumlah aman karena meski jauh dari bangunan dan pohon, masih ada potensi tertimpa tiang listrik. Namun dalam kondisi darurat, jalan raya menjadi salah satu opsi terbaik sebagai tempat berlindung sementara. Sebelum berlari ke jalan raya, harus dipastikan dulu kalau tidak ada lagi kendaraan yang melintas.
Guncangan gempa bisa jadi tak terasa bagi orang yang berada di dalam mobil yang sedang melaju kencang. Saat gempa susulan besar Kamis lalu, kami di dalam mobil tidak merasakan guncangan. Kami baru tahu kalau ada gempa saat beberapa orang berlarian ke jalan raya menjauhi bangunan. Untung saja jalanan yang kami lewati cukup lebar dan mobil mengambil lajur agak ke tengah sehingga dapat menghindari kerumunan yang berlari ke arah jalan raya. Â Â
Kawasan perbukitan rawan longsor juga patut diwaspadai saat gempa. Beberapa titik di daerah Lombok Utara dan Lombok Timur longsor saat terjadi tiga gempa besar (di atas 6 SR) dalam dua minggu terakhir. Saat gempa Kamis lalu jalan raya Pusuk yang menjadi jalur utama distribusi bantuan ke KLU sempat terputus karena longsoran bukit menutup badan jalan.
Belum pulih dari kepanikan akibat gempa, isu tsunami pun menerjang. "Air naik, air naik!!", teriak beberapa orang dari arah jalan raya. Warga pun berbondong-bondong menuju ke daerah perbukitan tak jauh dari pusat kota.
Posisi kota Tanjung hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai, jadi wajar jika mereka sangat khawatir terhadap tsunami. Kejadian yang sama seperti saat gempa Jogja 2006 silam. Isu tsunami menimbulkan kepanikan yang lebih besar, gelombang besar pegungsi bergerak menuju ke tempat tinggi. Kepanikan ini dapat dimanfaatkan maling untuk menjarah rumah yang ditinggalkan penghuninya. Â
Secara teori, wilayah Lombok Utara relatif aman dari ancaman tsunami. Gempa yang terjadi saat itu berpusat di darat sehingga tidak berpengaruh secara langsung terhadap kestabilan dasar laut. Selain itu, laut sebelah utara pulau Lombok bukanlah daerah tumbukan lempeng samudera yang menjadi penyebab terjadinya tsunami.
Pemahaman seadanya itulah yang membuat saya tetap tenang meski beberapa orang menyuruh untuk segera ikut mengungsi ke perbukitan. Bahkan saat mendengar kabar bahwa BMKG mengeluarkan peringatan tsunami, saya dengan seorang teman masih sempat mengambil logistik dan barang di rumah untuk bekal di pengungsian.
Sejak sore angin memang berhembus cukup kencang di sini. Beralas rerumputan kering, beratap langit kami menunggu pagi. Beruntung kami sempat mengambil beberapa potong selimut, jaket, beberapa botol air mineral, dan dua bungkus nasi yang ada di rumah. Namun sebagian pengungsi lain tidak seberuntung kami, ada diantara mereka yang hanya memakai pakaian seadanya dan tanpa bekal.
Sekitar pukul 9 malam, BMKG mencabut peringatan tsunami. Melalui megafon, seorang warga mengumumkan pencabutan peringatan tsunami tersebut.
Namun hampir semua warga masih memilih untuk bertahan di bukit termasuk kami. Menurut kabar, air memang sempat naik setinggi 0,5 meter di suatu daerah. Menurut pemahaman sederhana saya, kecil kemungkinan terjadi tsunami sebagai akibat dari gempa ini. Namun peristiwa naiknya air laut itu menjadi pengingat bahwa segala kemungkinan bisa terjadi atas kehendak-Nya. Terlepas dari benar tidaknya peristiwa tsunami kecil itu, sebaiknya kita memang harus mengantisipasi berbagai kemungkinan.
Jelang tengah malam, bulan sabit naik perlahan melengkapi ribuan cahaya bintang yang sudah lebih dulu menghias langit. Hadirnya bulan menjadi pelita di tengah gelapnya malam.
Sementara itu angin masih terus berhembus membawa hawa dingin. Beberapa pengungsi pingsan, lemas karena kelelahan dan hawa dingin. Mereka yang pingsan segera ditangani dengan perlengkapan seadanya. Di sisi lain, tampak beberapa orang membagikan air mineral dan selimut untuk pengungsi.
Di perkampungan, sebagian orang berjaga memastikan keamanan lingkungan yang ditinggal warganya mengungsi. Di tengah kepanikan masih ada sebagian orang yang melakukan sesuatu untuk menjaga ketertiban dan keamanan pasca bencana.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Beberapa kali sempat bisa tertidur namun guncangan gempa susulan membuat saya kembali terjaga.
Setidaknya belasan gempa susulan yang cukup besar kami rasakan malam itu. Setiap kali terjadi gempa, suara takbir terdengar dari para pengungsi yang ketakutan. Akhirnya pagi datang juga, berangsur-angsur pengungsi turun dari bukit. Menuju rumah masing-masing untuk melihat kondisi tempat tinggal mereka.
Gempa Lombok 5 Agustus 2018 lalu adalah gempa besar kedua yang saya alami setelah gempa Jogja 12 tahun silam. Kejadian ini mengingatkan bahwa saya tinggal di lingkungan rawan gempa.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dilalui rangkaian cincin api yang mengakibatkan sebagian besar wilayahnya berpotensi terjadi bencana geologi (gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus). Bencana ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena bisa terjadi sewaktu-waktu. Sehingga kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana menjadi keharusan bagi penduduk yang mendiami wilayah cincin api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H