Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Merangkai Mutiara Karimata (2): Berlabuh di Pulau Karimata

5 Januari 2015   20:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:46 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapal melaju cepat melewati pulau Maya. Kabut asap semakin tebal menggantung di atas permukaan laut. Kabut asap ini berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan saat musim kemarau. Posisi pulau dan karang sebagai penanda arah nyaris tak terlihat karena tertutup kabut. Dibutuhkan pengalaman dan kewaspadaan ekstra untuk mengemudikan kapal saat situasi seperti ini. Selat Karimata merupakan pertemuan arus antara laut Jawa dengan laut China Selatan. Besarnya gelombang dan kuatnya arus laut di kawasan ini sudah terkenal mampu membalikkan kapal-kapal yang kurang beruntung. Kebetulan saat itu musim angin selatan sudah mulai reda sehingga kapal cepat ukuran kecil yang kami tumpangi berani dibawa sampai pulau Karimata. Jika sedang musim angin selatan, nelayan-nelayan lokal yang handal pun urung melaut. Meski sudah reda, arus laut yang datang dari arah selatan cukup mengkhawatirkan bagi kami yang baru pertama naik kapal kecil di tengah laut. Tinggi gelombang yang bisa mencapai 3 meter membuat kami merasa was-was. Belum lagi gelombang-gelombang lain yang susul menyusul membuat kapal terhempas berkali-kali. Sementara itu di kokpit terlihat bang Sema dengan santainya ngobrol dengan bang Yos, kawannya yang bertugas sebagai navigator sekaligus co-pilot. Perlu diketahui, bang Sema seringkali ditugaskan untuk mengantar bupati Kayong Utara dalam melakukan kunjungan ke kepulauan Karimata. Kapal ini dikemudikan oleh pengemudi kapal VIP kabupaten, jadi kenapa mesti khawatir? Lagi pula ini rute yang biasa dia lalui. Tanpa sadar, hempasan gelombang yang menggoyang kapal membuat saya tertidur.

[caption id="attachment_388662" align="aligncenter" width="448" caption="bang Sema menyiapkan kapal"][/caption]

Tiga jam sudah kapal mengarungi selat Karimata, jam 10 kami sudah sampai di dermaga dusun Betok, Pulau Karimata. Terbentang sepanjang 500 meter, dermaga Betok menjadi jembatan menuju ke area perkampungan. Di ujung dermaga terdapat keran air yang menjadi pemasok air segar dari pegunungan pulau Karimata. Keran yang masih saja mengalirkan air tawar meski saat ini sedang musim kemarau. Tepat di bawah dermaga, terlihat sekumpulan ikan renyok yang berenang bebas tanpa khawatir akan terjaring atau masuk perangkap bubu nelayan. Bagi nelayan dusun Betok, ikan kecil macam renyok bukanlah “level” mereka.

[caption id="attachment_388663" align="aligncenter" width="448" caption="sekumpulan ikan renyok yang berenang bebas"]

1420438238774570018
1420438238774570018
[/caption]

[caption id="attachment_388671" align="aligncenter" width="448" caption="mengambil air tawar"]

14204397751665719981
14204397751665719981
[/caption]

Selamat Datang di Desa Betok Jaya, sebuah gapura sederhana menjadi pintu masuk ke area pemukiman dusun Betok. Desa Betok Jaya merupakan bagian dari Kecamatan Kepulauan Karimata, sebuah kecamatan baru pemekaran dari kecamatan Pulau Maya Karimata. Betok adalah nama ikan yang dijadikan nama sebuah sungai dan kemudian menjadi nama kampung karena letaknya berada di muara sungai Betok. Betok awalnya hanya dijadikan sebagai tempat singgah para nelayan dari Belitung yang mencari ikan di perairan selat Karimata. Karena kesulitan air, pada tahun 20-an para nelayan memindahkan lokasi singgahnya tempat baru yang lebih dekat dengan sumber air tawar. Tempat baru itu kemudian berkembang menjadi perkampungan yang kini dihuni 248 KK atau sekitar 900-an jiwa. Tidak hanya dihuni orang Belitung saja, orang Bugis dan Buton pun juga banyak yang bermukim di sana.

[caption id="attachment_388665" align="aligncenter" width="448" caption="jetty Betok"]

1420438414924578238
1420438414924578238
[/caption]

Penduduk pulau Karimata memang didominasi oleh para perantau dari pulau seberang. Melimpahnya hasil laut menjadi alasan utama bagi mereka untuk tinggal di kepulauan Karimata. Hasil laut biasa mereka jual ke Belitung dan Ketapang. Jarak antara Betok – Belitung dan Betok Ketapang sama jauhnya yaitu sekitar 94 mil laut yang biasanya ditempuh dalam waktu lebih kurang 15 jam oleh nelayan setempat. Nilai jual hasil laut ke Belitung jauh lebih tinggi karena menjadi komoditas ekspor sedangkan di Ketapang hanya dijadikan konsumsi rumah tangga. Karena itu, para nelayan lebih tertarik menjual hasil tangkapannya ke Belitung. Hanya hasil laut berkualitas rendah saja yang mereka jual ke Ketapang.

[caption id="attachment_388667" align="aligncenter" width="448" caption="perkampungan dusun Betok"]

1420438686229248272
1420438686229248272
[/caption]

Sebagai kampung yang terisolasi di tengah selat Karimata, Betok bisa dikatakan memiliki fasilitas yang cukup memadai. Listrik sudah bisa dinikmati oleh sebagian besar penduduk di sini dengan menggunakan genset pribadi. Parabola juga sudah banyak ditemukan terpasang di banyak rumah. Untuk memenuhi kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan, di dusun ini sudah ada Pustu dan Sekolah SD-SMP Satu Atap. Bahkan untuk kebutuhan komunikasi sudah tersedia tower seluler meski sudah beberapa bulan mati akibat kerusakan di salah satu komponennya.

[caption id="attachment_388666" align="aligncenter" width="448" caption="bangunan sekolah di Betok"]

14204385641713970332
14204385641713970332
[/caption]

Walaupun fasilitas sudah cukup lengkap, namun hidup di pulau yang terpencil seperti ini tidaklah mudah bagi para pendatang seperti beberapa guru yang ditugaskan di sini. Pak Edi, Kepala Sekolah yang sudah beberapa tahun mengabdi di Betok. Di usianya yang baru 30-an beliau dipercaya memimpin sebuah sekolah di pulau terpencil ini. Tidak mudah bagi pria yang bertempat tinggal di Seponti, KKU (Kabupaten Kayong Utara) bertugas di pulau dan harus rela meninggalkan keluarga. Hanya sebulan sekali beliau pulang ke rumah di sela-sela tugas mengantar laporan bulanan ke dinas pendidikan KKU. Lain lagi cerita Bu Sunarti, beliau ditugaskan ke Betok saat tengah mengandung. Beliau pun rela menempuh puluhan mil laut mengarungi selat Karimata dalam keadaan hamil demi sebuah tugas mulia. Dan sampai saat ini (Oktober 2014) mereka masih mengabdi di sana, tinggal bersama tiga guru lainnya di sebuah rumah sederhana di belakang sekolah. Rumah berukuran 8m X 6m dengan tiga kamar tidur menjadi tempat tinggal para guru yang berasal dari luar pulau.

Berada di tengah pertemuan antara Laut Jawa dengan Laut China Selatan menjadikan perairan Karimata berbahaya untuk dilalui. Sudah banyak kapal besar maupun kecil yang karam akibat keganasan gelombang perairan Karimata. Saat puncak musim angin barat dan selatan tak satupun nelayan lokal berani melaut, praktis saat itu mereka terisolasi. Akses ke luar pulau pun sangat terbatas, hanya ada kapal perintis menuju Ketapang yang berlabuh di Betok setiap 15 hari sekali. Sebuah kapal dengan panjang tak lebih dari 70 meter, tanpa tempat duduk (lesehan), alat keselamatan minim, karatan, dengan baling-baling yang ditambal sekenanya. Kapal yang sudah selayaknya dimuseumkan itu melayani rute Semarang – Sambas PP via Betok. Naik kapal perintis itu adalah pilihan paling aman, karena pilihan lain untuk keluar pulau adalah dengan menumpang perahu nelayan. Meski sudah tua dan karatan, kapal perintis itu telah berjasa mengirimkan pasokan kebutuhan pokok seperti beras dan BBM ke daerah kepulauan Karimata.

[caption id="attachment_388669" align="aligncenter" width="448" caption="kapal perintis sedang merapat di dermaga Betok"]

1420438841243633258
1420438841243633258
[/caption]

Pulau Karimata merupakan wilayah administratif provinsi Kalimantan Barat yang paling barat. Terpisah sekitar 70 mil laut dari daratan utama Kalimantan menjadikan kepulauan Karimata menjadi daerah terpencil. Ketergantungan terhadap Kalimantan cukup besar mengingat sebagian besar kebutuhan akan beras dan BBM harus didatangkan dari sana. Jika kapal yang membawa logistik tak datang selama musim angin, warga terpaksa tak makan nasi jika kehabisan stok beras. Ditambah lagi komunikasi terputus setelah tower seluler di pulau itu rusak. Keterbatasan ini membuat sebagian warga memilih untuk pindah ke Belitung yang dinilai lebih menjanjikan. Beberapa waktu yang lalu sebanyak 70KK pindah ke Belitung. Keterikatan asal-usul bisa jadi menjadi salah satu faktor migrasi penduduk ke Belitung. Perpindahan itu sudah menjadi lumrah karena sejak dulu banyak anak-anak yang memilih Belitung sebagai tempat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.

[caption id="attachment_388670" align="aligncenter" width="448" caption="pulau Karimata"]

142043964136364529
142043964136364529
[/caption]

Hijaunya hutan di satu sisi dan bentangan biru air laut di sisi lainnya serta suasananya yang begitu tenang dan damai menjadikan pulau ini sebagai salah satu surga tropis di Indonesia. Lingkungan masih terjaga, nyaris tanpa polusi udara. Bahkan asap kebakaran hutan Kalimantan yang menyelimuti perairan disekitarnya tak sanggup menjangkau kepulauan Karimata. Hutan perawan dan perairan yang berlimpah ikan sangat menggoda iman. Tak kan cukup waktu seminggu untuk menjelajahi surga tropis itu. Namun keterbatasan waktulah yang membuat kami hanya bisa numpang bermalam saja di sana. Siang hari berikutnya speedboat membawa kami meninggalkan pulau Karimata, sebutir keindahan dari rangkaian mutiara nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun