Oleh : Dodi Putra Tanjung
Pemilu telah usai, Presiden dan Anggota Legislatif telah di umumkan oleh KPU. Pihak yang tidak menerima hasil Pemilu punya hak untuk menuntut ke Mahkamah Konstitusi. Tentu dengan memenuhi semua persyaratan yang ditentukan.
Pihak yang kalah, biasanya akan selalu mencari celah kesalahan dari pihak yang menang, tidak puas, itu hal yang lumrah dan wajar. Dan ketidak puasan tersebut bisa disampaikan melalui jalur hukum di Mahkamah Konstitusi.
Namun ternyata pelampiasan ketidak puasan itu juga bergema di jagad media sosial. Rata-rata semua platform media sosial selalu dihiasi oleh narasi-narasi yang disampaikan oleh pendukung pihak yang kalah, dan di counter oleh pendukung pihak yang menang. Semantara yang namanya pendukung tentu tidak semua yang punya kaitan langsung kepada pihak yang kalah ataupun pihak yang menang. Mayoritas hanya pendukung akar rumput, bukan bagian dari tim sukses. Sementara tim sukses baik di daerah ataupun di tingkat nasional, mereka rata-rata adalah aktor politik. Ketika moment bersiteru mereka akan bersiteru, namun di sisi lain mereka adalah rekan sejawat yang tentu pada saat kontestasi berlangsung akan membela habis-habisan pihak yang mereka dukung, dan suatu ketika ketika kompetisi ini usai mereka akan kembali berpelukan.
Yang jadi persoalan adalah pendukung akar rumput ini, tim sukses bukan pengurus parpol juga bukan, tapi perdebatan antara mereka melebihi para tim sukses para calon. Mereka rela dan siap saling hujat di media sosial. Tak cuma berdebat, bahkan kalimat makian kerap juga dilontarkan para netizen ini.Â
Dan soal share berita hoax dan narasi provokasi sudah bukan hal yang asing lagi. Beragam isu yang dibuat oleh para netizen pendukung para calon ini. Sumbernya ya dari platform media sosial juga. Bukan dari media resmi. Ini yang kerap di goreng dan diperdebatkan saban hari, mulai dari sebelum pemilu dan sampai saat ini.
Narasi provokasi, berita hoax tentang para calon yang menang dan hasutan serta ujaran kebencian ini bukan lagi suatu hal yang tabu. Kalau ini tidak disikapi dengan baik tentu akan merambah ketatanan sosial masyarakat di dunia nyata. Tidak lagi sekedar di media sosial.
Bahkan di bulan Ramadhan ini, di saat umat muslim sedang menjalankan ibadah puasa, di saat dimana harus menahan diri, narasi provokasi, berita hoax dan ujaran kebencian ini tetap bergulir tak tentu arah.
Lalu apakah itu tidak merusak amalan puasa Ramadhan yang sedang kita jalani?
Kebanyakan dari kita kaum Muslimin mengartikan ibadah puasa adalah menahan diri dari lapar dan dahaga serta syahwat dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Namun ternyata menurut Baginda Rasulullah SAW :"Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu (perkataan/perbuatan yang tidak berfaedah) dan rofats.
Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, "Aku sedang puasa, aku sedang puasa", (HR. Ibnu Majah dan Hakim).