Reformasi telah berlalu 22 tahun. Seperti umum diketahui, satu dari enam tuntutan para mahasiswa saat reformasi '98 adalah "ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN". Namun, luka dan tuntutan dari agenda reformasi belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, pemanggilan Achmad Purnomo ke Istana Negara oleh Joko Widodo seakan menegaskan praktek KKN yang ditentang oleh para reformis semakin subur.
Selain penegasan rekomendasi PDIP untuk Pilwakot Solo yang jatuh kepada putranya Gibran Rakabuming Raka, aroma KKN yang dilakukan penguasa juga terendus dari tukar guling jabatan yang dijanjikan kepada Achmad Purnomo. Bakal calon wali kota Solo yang ditugaskan oleh DPC PDIP Solo itu mengaku dirinya "diiming-imingi" posisi atau jabatan lain oleh Jokowi, namun dengan tegas dia menolaknya.
Dengan peristiwa faktual ini, sejumlah rentetan peristiwa yang seolah melanggengkan praktik KKN di negeri ini seakan menjadi lumrah. Lihat saja RUU KPK yang dianggap pegiat antikorupsi sebagai upaya pelemahan lembaga anti rasuah tetap jebol menjadi undang-undang, "kebal" hukumnya partai penguasa (PDIP) yang menolak diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kader PDIP Harun Masiku yang diduga terlibat kasus suap KPU bebas melenggang diantara sorotan kamera CCTV dan menimbulkan kekisruhan di tataran Kemenkumham, buronan kelas kakap Djoko Tjandra yang diduga mendapat karpet merah dari lembaga tertentu, serta masuknya sejumlah perwira aktif dalam jabatan di BUMN.
Dari rentetan dan kondisi faktual ini, maka harapan akan terwujudnya tatanan pemerintahan yang bersih dari praktik KKN semakin jauh. Jika dulu KKN disebut banyak pihak dilakukan oleh kroni Soeharto, kini KKN justru dilegalkan dan dipertontonkan secara telanjang oleh pemimpin negara. Ini jauh lebih buruk dari masa Orde Baru (Orba).
Memang benar pituah orang dahulu, kekuasaan bisa merubah malaikat sekalipun menjadi iblis. PDIP dan Jokowi yang dulunya dianggap representasi wong cilik, kini seolah menjelma menjadi wong licik yang memanfaatkan kekuasaan demi melanggengkan dinasti politiknya.
Dengan kondisi ini, rakyat hanya mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama yaitu mendiamkannya dan menjadi penggerutu, kedua maju keluar mengingatkan pemerintah bahwa bangsa ini telah mundur dari cita-cita reformasi yang sama-sama kita kehendaki.
Hak Politik Gibran Tak Salah, Tapi Perilaku Jokowi Memalukan
Demokrasi memberi peluang kesetaraan dalam berpendapat dan mengepresikan diri. Majunya Gibran Rakabuming Raka dalam Pilwakot Solo adalah bentuk kesetaraan dalam mengepresikan diri dalam konteks politik. Atas dasar itu, pilihan dan penetapan Gibran sebagai calon Wali Kota Solo yang diusung PDIP harus kita hargai.
Tapi, mengutip pernyataan mantan anggota Komnas HAM Natalius Pigai, pemanggilan dan pemberitahuan bahwa Achmad Purnomo batal menjadi calon yang diusung PDIP oleh Jokowi merupakan pengamputasian hak politik rakyat. Senada dengan Pigai, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Research and Consultant, Pangi Syarwi Chaniago menilai Jokowi gagal menempatkan kekuasaannya.
"Jelas menyalahgunakan fasilitas negara. Beliau harus bedakan mana kepentingan negara mana kepentingan keluarga," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H