Mohon tunggu...
dodi mulyana
dodi mulyana Mohon Tunggu... Freelancer - penulis

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Riuh Keruh RUU HIP, Rakyat Tuntut (Bubarkan) PDIP

23 Juni 2020   12:01 Diperbarui: 23 Juni 2020   13:33 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP)di mana Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah sempat menuai polemik. Mulai dari proses pembentukannya, kinerja, "fulus" fantastis yang diterima, hingga pernyataan-pernyataan kontroversi yang dibuat oleh "pentolan-pentolannya". Kini, polemik baru kembali muncul terkait Pancasila, yaitu terkait rancangan undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang membuat berbagai elemen dan organisasi kemasyarakatan menolak RUU HIP tersebut. Pertama,klausul keberadaan konsep Trisila dan Ekasila serta frasa 'Ketuhanan yang Berkebudayaan'. Di dalam draf RUU HIP, konsep tersebut tertuang dalam Pasal 7. Trisila adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Poin kedua yang turut memicu reaksi yaitu terdapat di awal draf RUU. Pada bagian 'Mengingat' ternyata tidak mencantumkan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/Marxisme-Leninisme.

Ketiga, dalam RUU HIP memuat ketentuan TNI dan Polri aktif bisa mengisi jabatan sebagai Dewan Pengarah BPIP. Dalam Pasal 47 ayat (2) RUU HIP menyebut Dewan Pengarah BPIP berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang atau berjumlah gasal.

Selain tiga poin tersebut, yang turut menjadi sorotan adalah terkait legal formal pembahasan RUU HIP tersebut. Menurut Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Keahlian Dewan, RUU HIP diusulkan Baleg (Badan Legislasi) DPR RI, baik itu draf maupun naskah akademik. Padahal, biasanya naskah akademik dibuat oleh BKD (Badan Keahlian Dewan) dan draf dibuat oleh AKD (Alat Kelengkapan Dewan). Sungguh 'kreatif'!

Pendukung & Penentang RUU HIP di Senayan

Dalam risalah rapat pengambilan keputusan penyusunan RUU HIP pada 22 April, Fraksi PDIP dan NasDem menyetujui sepenuhnya dibahasnya RUU HIP tanpa syarat. Sedangkan Golkar dan Gerindra menyetujui draf dan mendukung pembahasan dilanjutkan dengan beberapa catatan, diantaranya RUU HIP bukan semata untuk memperkuat BPIP. Sementara itu, Fraksi PKB menyetujui draf RUU dilanjutkan sebagai inisiatif DPR dengan catatan menambahkan rumusan UUD 1945 sebagai konsideran.

Adapun tiga partai islam lainnya, seperti Fraksi PPP meminta beberapa penyesuaian dan meminta kedudukan BPIP sejajar dengan lembaga negara lainnya. Sedangkan Fraksi PKS dan PAN meminta RUU HIP disempurnakan lebih dulu sebelum diajukan ke sidang paripurna dengan menguatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta dimasukkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran. Satu-satunya partai politik (parpol) yang tegas menolak dan menarik keanggotaannya dari Panja adalah Fraksi Partai Demokrat.

Selanjutnya, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU HIP menjadi usul inisiatif dan masuk Program Legislasi Nasional pada 12 Mei. Persetujuan tersebut didapatkan setelah sembilan fraksi, minus Fraksi Demokrat, menyerahkan pendapat tertulisnya.

RUU HIP Mendapat Penolakan

Usai Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi rancangan undang-undang (RUU) pada 12 Mei 2020, gelombang protes pun mulai bermunculan. Baik itu dari kalangan akdemisi, aktivis, maupun organisasi kemasyarakatan (ormas). Beberapa ormas yang menolak RUU HIP ini antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, GP Ansor, hingga Front Pembela Islam (FPI).

Adapun dasar penolakan yang dari ormas-ormas tersebut beragam. MUI misalnya, menolak lantaran RUU ini tidak mencantumkan TAP MRPS XXV/MPRS/1966. Muhammadiyah beralasan, terdapat rumusan-rumusan yang mengabaikan fakta historis soal Piagam Jakarta 22 Juni 1945.  GP Ansor berpendapat RUU HIP berupaya membuat Pancasila sekuler yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, FPI menolak lantaran dalam RUU HIP tidak meletakkan agama sebagai poko dan diganti dengan mental spiritual.

Sementara itu, dari kalangan akdemisi, Prof Pierre Suteki, Guru Besar Universitas Diponegoro, mengungkapkan ada potensi makar yang dilakukan oleh pengusung RUU HIP yang mendistorsi teks dan konteks Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, Dasar Negara dan Sumber Dari Segala Sumber Hukum Negara. Oleh sebab itu, dia mengusulkan untuk dibentuk tim pencari fakta. Untuk selanjutnya, dia mengusulkan dua langkah penyelesaian, yaitu DPR dan Pemerintah segera bertemu dan memutuskan secara tegas bahwa RUU HIP dibatalkan tanpa reserve, selanjutnya semua pihak yang terlibat harus meminta maaf secara terbuka kepada seluruh bangsa Indonesia.

Netizen Serukan Tagar #TangkapMegaBubarkanPDIP

Beberapa hari belakangan, dua hari berturut-turut, netizen menaikkan tagar #TangkapMegaBubarkanPDIP. Publik menuding Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah dalang dibalik munculnya dan kegaduhan RUU HIP. Bahkan publik mendesak agar dalang dibalik pengusul RUU HIP bisa ditangkap.

Akun Twitter @hutommo18 menuding saat PDIP berkuasa, Indonesia terpecah belah dan negara bertumpuk hutang."Dengan dalih menyalahkan Orba, yang menginginkan PDIP bubar...padahal kita tahu semenjak mereka berkuasa negeri ini dibuat terpecah, negara bangkrut, rakyat banyak terdzolimi, hukum hanya untuk lawannya saja," ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan akun Twitter @keripik_pedas, "Yang bikin rusak itu kapitalisme liberal, oligarki rakus dan korup!"

Nada lebih keras disampaikan pemilik akun Twitter @zenoldgonzales. Ia menuding antek-antek PKI bersembunyi di PDIP. "Menuding antek antek PKI bersembunyi dibalik PDIP, basmi antek-antek PKI," tulisnya.

Tak Penting dan Tak Genting, Batalkan RUU HIP

Dari berbagai pendapat, baik yang tersaji di laman media maupun yang berkembang dalam diskusi-diskusi daring hari ini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan RUU HIP tidak penting. Sebab, banyak pasal-pasal yang tak lazim, hanya bersifat pernyataan, defenisi, hingga political statement. Padahal semestinya sebuah produk hukum mengatur perilaku dan juga kelembagaan.

Atas polemik dan penolakan yang marak terjadi, ada baiknya seluruh pendukung RUU HIP meminta maaf secara terbuka dan membatalkan niatnya untuk meloloskan RUU kontroversi tersebut menjadi undang-undang (UU). Jangan sampai demi ambisi politik masyarakat dan stabilitas negara dikorbankan.

Sesuai dengan fungsinya, ada baiknya pengusung RUU HIP memfokuskan energinya dalam menjalankan fungsi pengawasan, contohnya mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya penanganan Covid-19. Bukankah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menyorot program Kartu Prakerja yang diduga berpotensi fiktif? Bukankah ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terkait 20 juta penerima Bansos tanpa NIK? Hal-hal semacam inilah tugas penting dan genting yang harus dilakukan oleh dewan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun