Salah satu peninggalan berharga dari kesusastraan Sunda Kuna, menurut Jacobus Noorduyn (1982) dalam Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source, adalah kisah Bujangga Manik yang diceritakan dalam larik-larik bersuku kata delapan - bentuk metrum puisi naratif Sunda Kuna - dalam sebuah MS lontar yang tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, sejak tahun 1627 atau 1629 (MS Jav. b. 3 (R); cf. Noorduyn 1968: 460; Ricklefs/Voorhoeve 1977: 181). Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pertapa Hindu-Sunda, yang meskipun seorang pangeran (tohaan) di istana Pakuan (yang terletak di dekat Bogor sekarang di Jawa Barat), lebih memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang yang taat beragama. Sebagai seorang pertapa, ia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kembali, perjalanan kedua termasuk kunjungan ke Bali, dan setelah kembali ia tinggal tinggal di berbagai tempat di daerah Sunda sampai akhir hayatnya. Bujangga Manik alias Ameng Layaran aslinya bernama Prabu Jaya Pakuan yang hidup sekitar abad XV.
Motif utamanya dalam mengunjungi tempat-tempat ini ditunjukkan oleh hasil yang ia capai, dengan kata-katanya sendiri ketika memberi tahu ibunya bahwa ia telah kembali:
Asak beunang ngajar warah,
Asak beunang maca siksa,
Pageuh beunang maleh pateh,
Tuhu beunang nu mitutur
Asak beunang pangguruan.
(11. 598-602)
"Matang karena pengajaran yang teliti dalam belajar,
Matang karena membaca ajaran,
Kukuh karena memahami (?) aturan,
Setia pada apa yang telah diajarkan,
Matang karena arahan secara menyeluruh."
Perjalanan pertama Bujangga Manik, menurut Noorduyn, mewakili masa apprenticeship (magang)-nya sementara pada perjalanan yang kedua, dia kembali ke rumah sebagai seorang accomplished scholar (sarjana penuh). Pernyataan Noorduyn mengingatkan saya pada paper Aminudin Kasidi (2010) dalam Education in Ancient Indonesia Culture (700-1700). Pada tahun 1359-1364, menurut Kasidi: "Hayam Wuruk melakukan perjalanan untuk memantau Majapahit, baik di sisi timur maupun di sisi barat. Dari sekian banyak objek yang dikunjunginya, selain mengunjungi penguasa dan penduduk desa setempat, ia juga mengunjungi tempat-tempat suci keagamaan. Prapanca, yang bekerja sebagai Dharmadyaksa ring Kasogatan adalah salah satu petinggi kerajaan yang mengikutinya (Pigeaude, 1963, IV, 150-153). Perjalanan sang raja juga diikuti oleh banyak pembesar, dan mereka tentu saja merupakan tokoh-tokoh intelektual terkemuka di zamannya. Posisi saptopapati, misalnya, diduduki oleh mereka yang berhak sebagai pangei atau sanget. Istilah ini berasal dari akar kata (V pgat) yang berarti: putus (Jw) penguasaan (Van Naerssen, 1933: 239-258). Lebih jauh lagi, istilah pgat juga diartikan oleh Van Nseassen sebagai terkemuka (Naerssen, 1933: 239-258). Dalam berbagai prasasti, otoritas yang diberi gelar pamget atau samget berada di bawah posisi ketiga otoritas kerajaan yang lebih tinggi: rakryan katrini, yaitu rakrayan kartini (tiga otoritas yang lebih tinggi), rakrayan mamantri I Hino, Rakryan I halu, Rakryan I Siikan. Dalam Nagarakratagama, pupuh 68, syair kedua mencatat: “...wanten bodda Mahayana pgat/rin tantra yogiswara...adalah seorang ahli (Jw. Mumpuni) pelajaran Buddha Mahyana tentang Tantra dan Yoga...” (Pigeadu, 1963: 52)."
Istilah pgat merujuk pada orang-orang terpelajar yang memiliki pengetahuan yang komprehensif dan menguasai ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat mengambil keputusan berdasarkan keahlian mereka secara mandiri, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun masalah-masalah pemerintahan. Dengan demikian, jika mereka menguasai ilmunya (Jw. Putusing ngilmu), maka mereka akan memiliki otoritas untuk mengambil keputusan terhadap suatu masalah kapanpun dibutuhkan. Pertanyaannya adalah: ilmu seperti apa, bagaimana cara mendapatkannya, dan di mana mereka mempelajarinya? Dari berbagai sumber diketahui bahwa salah satu jenis pendidikan yang berkembang pada masa itu adalah mandala. Dalam pencariannya, Hayam Wuruk, misalnya, mengunjungi mandala segara. Istilah mandaleng (mandala-ing) juga ditemukan dalam Serat Pararaton (Kasidi, 2010). Antoon Postma (1991) dalam Prasasti Pelat Tembaga Laguna: Dokumen Filipina yang Berharga menyebut kata pamgat/pamagat/pameget yang berarti seseorang yang dilantik dengan jabatan atau pangkat tinggi di istana; pemimpin; kepala, berasal dari bahasa Jawa Kuno. Dalam bahasa Sunda kata pameget (laki-laki) nampaknya merujuk kepada makna asal ini.
Pada zaman dahulu karena faktor demografi yang masih terbatas di mana alam dan segala sumber daya yang ada di dalamnya masih terjaga dengan baik, maka tujuan pendidikan hampir dapat dipastikan mencakup aspek religius. Oleh karena itu, tidak mustahil jika isi pendidikan pada masa itu bercorak spiritual-humanis seperti agama dengan segala dharma, takhayul, kesenian, kesusasteraan, konogram, pemerintahan, dan sebagainya yang sejalan dengan misi komunitas masing-masing. Mereka yang telah lulus dari pendidikan tinggi tertentu kemudian bergelar pamget, samget berasal dari akar kata kerja pgat atau tamat, di mana pada masa ini (200-an) diistilahkan sebagai mastery (Master MA - MSc, setingkat dengan post graduate). Selain itu, pada zaman Majapahit (Jawa), dikenal juga istilah janggan, yaitu seorang mahasiswa doktoral yang bergelar doktor desa karena telah mengambil mandala atau shramna-nya di pedalaman atau desa-desa. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mendapatkan gelar profesional lainnya: Mpu, dengan demikian ia bergelar pujangga seperti Mpu Kanwa, Mpu Shendok, Mpu Triguna, Mpu Sedah, dan lain-lain. Mereka semua adalah guru besar (pujangga besar) pada masanya (Kasidi, 2010). Boleh jadi Bujangga Manik berasal dari sebutan Mpu Janggan Manik yang kemudian berubah menjadi Bujangga Manik selepas menyelesaikan pendidikannya melalui perkelanaan ilmiahnya hingga ke Bali.
Jenjang kesarjanaan waktu itu kurang lebih sebagai berikut: Cantrik (S-1), Pamget/Samget (S-2) dan Janggan (S-3). Sementara untuk sebutan profesor adalah Mpu dan universitas adalah mandala (Kasidi, 2010). Kata Jawa mumpuni boleh jadi berasal dari kata mpu yang berarti sangat ahli. Di tatar Sunda sendiri sebagaimana kita baca Islamisasi di Tatar Sunda Era Kerajaan Sukapura, Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (1518) menyebutkan beberapa profesi yang antara lain: Paratanda (ahli pertanda zaman), Brahmana (ahli mantera), Janggan (ahli pemujaan), Bujangga (ahli seni), Pandita (ahli keagamaan), Paraloka (ahli tapa, kaleupasan), Juru basa darmamuncaya (juru bahasa), dan Barat katiga (peramal cuaca?) (Sulasman dkk, 2017). Baik dalam tradisi Jawa ataupun Sunda, janggan dan bujangga (mpu-janggan) memiliki inti yang sama, yaitu kepakaran atau accomplished scholarship dalam istilah Noorduyn.
Sosok Bujangga Manik mengingatkan kita kepada Siddharta Gautama, seorang pangeran di kerajaan suku kecil dari klan Shakya di Nepal selatan. Tidak puas dengan kehidupan istana, Siddhartha meninggalkan hidupnya sebagai seorang pangeran dan menjadi seorang petapa pengembara. Keduanya pun meninggal dunia dalam kesunyian. Bujangga Manik di Gunung Patuha, Siddharta Gautama di hutan sala, Kushinagar. Keduanya mencari tempat terbaik untuk mencapai kelepasan, sebagaimana ungkapan Bujangga Manik untuk dirinya:
Nyiar lemah pamasaran,
Nyiar tasik panghanyutan,
Pigeusaneun aing paeh,
Pigeusaneun nunda raga.
"Mencari tempat untuk berkubur,
Mencari telaga untuk tenggelam,
Tempat untuk kematianku,
Tempat untuk menyimpan raga."
Bujangga Manik, menurut Sulasman dkk (2017), bukanlah penganut Hindu seperti umumnya diyakini para sejarawan. Pangeran Pajajaran ini besar kemungkinan adalah penganut ajaran Jati Sunda sebagaimana keagamaan Sunda-Galuh adalah mengacu pada Hyang, keagamaan yang diterapkan di Galunggung.
Kecintaan Akan Ilmu dan Kerendah-hatian Ilmiah dan Kecintaan Ilmu
Bujangga Manik, menurut Nuoorduyn (1982) adalah pertapa terpelajar yang telah meninggalkan dunia dan urusannya, disajikan dalam cerita sebagai seseorang yang melakukan perjalanan melalui Jawa seolah-olah melalui sebuah negara tanpa orang, seperti seorang seorang pertapa pengembara sejati. Meskipun banyak tempat yang disebutkan menyiratkan adanya banyak penduduk, dalam cerita ini ia hampir tidak pernah bertemu bertemu dengan orang lain dan hampir tidak berbicara dengan siapa pun. Adegan yang khas, terjadi ketika dia baru saja memulai perjalanan pertamanya, diceritakan sebagai berikut:
Seok na janma nu narek:
"Tohaan nu dek ka mana?
Mana sinarieun teuing
teka leu(m)pang sosorangan?"
Ditanya ha(n)teu dek nyaur.
"Banyak rakyat yang berkata:
"Ke manakah engkau akan pergi, Tuan?
Kenapa engkau tiba-tiba bepergian sendiri."
Walau mereka bertanya, aku tidak ingin berkata apa-apa."
Pengabdian pada asketisme berarti penolakan terhadap duniawi setinggi mungkin, termasuk mengasingkan diri dari orang lain bila memungkinkan, bahkan ketika melakukan perjalanan keliling dunia. Hal ini tampaknya merupakan pesan tersirat dari deskripsi perjalanan Bujangga Manik. Dengan demikian, ini adalah pesan yang ditujukan kepada pembaca khusus yang menjadi tujuan utama dari cerita ini, yaitu orang-orang yang bersimpati kepada pahlawannya dan ingin mengikuti teladannya - anggota komunitas pertapa Sunda dan murid-muridnya. Dalam hal ini, cerita kami termasuk dalam kategori sastra religius dan pasti berasal dari komunitas religius, meskipun hampir tidak mengandung pelajaran langsung tentang topik-topik keagamaan khusus, dan dengan demikian jelas berbeda dari cerita-cerita mistik pengembara Jawa yang sudah dikenal luas (Noorduyn, 1982:438).
Keredahan hati ilmiah seperti ini dapat juga kita jumpai pada sosok sarjana Sunda masa lalu seperti seorang sarjana wanita yang menyembunyikan identitasnya dalam nama pena Buyut Ni Dawit atau seorang sarjana lainnya yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Kai Raga. Buyut Ni Dawit dalam Sewaka Darma (Darsa, 2006) menulis di akhir kitabnya:
Carita (bi)si [ku] kura(ng) wuhana,
Apabila ada yang kurang tambahi,
leuwi(h) ma longana.
Bila berlebih mohon dikurangi.
Demikian juga halnya dengan Kai Raga, dalam Carita Ratu Pakuan dengan kode 410 dan 411 Peti 15 (Atja 1970, Darsa 2007, Suprianto 2015 & Kurnia 2021):
Sugan aya sa(s)tra leuwih suda baan, kurang wuwuhan
Bila ada yang lebih kurangi, kurang tambahi.
Atau, masih naskah yang sama:
Sugan aya sastra leuwih sudaan kurang wuwuhan
Bila ada yang lebih kurangi, kurang tambahi.
Bahkan dalam Carita Purnawijaya dengan kode 423 Peti 15 (Darsa dkk 2004, Suprianto 2015 & Kurnia 2021) Kai Raga lebih berendah hati lagi: "Sugan salah ganti[y]an, sugan kurang wuwuhan - Bila salah perbaiki, bila kurang tambahi."
Saya, yang tidak memiliki kapasitas apapun, menutup tulisan ini dengan penuh rasa malu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI