Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bujangga Manik, Pangeran Pajajaran yang Asketis

7 Januari 2025   10:49 Diperbarui: 7 Januari 2025   10:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jawa sebagaimana digambarkan dalam perjalanan Bujangga Manik oleh J. Noorduyn (Sumber: https://archive.org/)

"Mencari tempat untuk berkubur,
Mencari telaga untuk tenggelam,
Tempat untuk kematianku,
Tempat untuk menyimpan raga."

Bujangga Manik, menurut Sulasman dkk (2017), bukanlah penganut Hindu seperti umumnya diyakini para sejarawan. Pangeran Pajajaran ini besar kemungkinan adalah penganut ajaran Jati Sunda sebagaimana keagamaan Sunda-Galuh adalah mengacu pada Hyang, keagamaan yang diterapkan di Galunggung.

Kecintaan Akan Ilmu dan Kerendah-hatian Ilmiah dan Kecintaan Ilmu

Bujangga Manik, menurut Nuoorduyn (1982) adalah pertapa terpelajar yang telah meninggalkan dunia dan urusannya, disajikan dalam cerita sebagai seseorang yang melakukan perjalanan melalui Jawa seolah-olah melalui sebuah negara tanpa orang, seperti seorang seorang pertapa pengembara sejati. Meskipun banyak tempat yang disebutkan menyiratkan adanya banyak penduduk, dalam cerita ini ia hampir tidak pernah bertemu bertemu dengan orang lain dan hampir tidak berbicara dengan siapa pun. Adegan yang khas, terjadi ketika dia baru saja memulai perjalanan pertamanya, diceritakan sebagai berikut:

Seok na janma nu narek:
"Tohaan nu dek ka mana?
Mana sinarieun teuing
teka leu(m)pang sosorangan?"
Ditanya ha(n)teu dek nyaur.

"Banyak rakyat yang berkata:
"Ke manakah engkau akan pergi, Tuan?
Kenapa engkau tiba-tiba bepergian sendiri."
Walau mereka bertanya, aku tidak ingin berkata apa-apa."

Pengabdian pada asketisme berarti penolakan terhadap duniawi setinggi mungkin, termasuk mengasingkan diri dari orang lain bila memungkinkan, bahkan ketika melakukan perjalanan keliling dunia. Hal ini tampaknya merupakan pesan tersirat dari deskripsi perjalanan Bujangga Manik. Dengan demikian, ini adalah pesan yang ditujukan kepada pembaca khusus yang menjadi tujuan utama dari cerita ini, yaitu orang-orang yang bersimpati kepada pahlawannya dan ingin mengikuti teladannya - anggota komunitas pertapa Sunda dan murid-muridnya. Dalam hal ini, cerita kami termasuk dalam kategori sastra religius dan pasti berasal dari komunitas religius, meskipun hampir tidak mengandung pelajaran langsung tentang topik-topik keagamaan khusus, dan dengan demikian jelas berbeda dari cerita-cerita mistik pengembara Jawa yang sudah dikenal luas (Noorduyn, 1982:438).

Keredahan hati ilmiah seperti ini dapat juga kita jumpai pada sosok sarjana Sunda masa lalu seperti seorang sarjana wanita yang menyembunyikan identitasnya dalam nama pena Buyut Ni Dawit atau seorang sarjana lainnya yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Kai Raga. Buyut Ni Dawit dalam Sewaka Darma (Darsa, 2006) menulis di akhir kitabnya:

Carita (bi)si [ku] kura(ng) wuhana,
Apabila ada yang kurang tambahi,
leuwi(h) ma longana.
Bila berlebih mohon dikurangi.

Demikian juga halnya dengan Kai Raga, dalam Carita Ratu Pakuan dengan kode 410 dan 411 Peti 15 (Atja 1970, Darsa 2007, Suprianto 2015 & Kurnia 2021):

Sugan aya sa(s)tra leuwih suda baan, kurang wuwuhan
Bila ada yang lebih kurangi, kurang tambahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun