Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

210 Bukan Sekadar Tiga Angka Berurut Mundur

20 Agustus 2024   02:00 Diperbarui: 20 Agustus 2024   05:15 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi angka-angka alamy.com

210. Ternyata tulisan tentang Aji Saka (Senin, 18/08) adalah tulisan saya yang ke-210 sejak 2 Mei 2021 lalu. Pandemi Covid-19 yang memaksa harus banyak tinggal di rumah memberi kesempatan untuk memiliki waktu luang di depan laptop. Meskipun belum seproduktif mereka yang bisa menghasilkan satu tulisan per harinya - karena saya paling banter baru 1 tulisan dalam 7 hari - akan tetapi setidaknya Pandemi Covid-19 mengajarkan kebiasaan menulis. 

210 terdiri dari 3 angka dengan hasil penjumlahan digit-digitnya juga bernilai 3. Bila kita cermati 210 terdiri dari angka 2,1 dan 0. Bukankah hasil penjumlahan 2+1+0=3? Lalu bukankah 210 juga habis bila dibagi dengan 3, yaitu 70?

Karena saya payah dalam matematika, Wikipedia, sebagai rujukan sejuta umat, menjadi andalan. Dan terbukti tidaklah mengecewakan. Sebuah penjelasan menarik saya temukan:

"210 adalah bilangan yang melimpah, dan bilangan Harshad. Bilangan ini merupakan hasil perkalian dari empat bilangan prima pertama (2, 3, 5, dan 7), dan dengan demikian merupakan bilangan prima, yang merupakan kelipatan terkecil dari keempat bilangan prima ini. 210 adalah bilangan primorial pertama yang lebih besar dari 2 yang tidak bersebelahan dengan 2 bilangan prima (211 adalah bilangan prima, tetapi 209 tidak)," jelasnya. Lalu menambahkan, "Ini adalah jumlah dari delapan bilangan prima berturut-turut, antara 13 dan bilangan prima ketiga belas: 13 + 17 + 19 + 23 + 29 + 31 + 37 + 41 = 210."

Sedikit berkenaan dengan bilangan Harshad. Bilangan Harshad juga dikenal sebagai bilangan Niven. Kata "harshad", menurut satu sumber, berasal dari bahasa Sansekerta harṣa (kegembiraan) + da (memberi), yang berarti pemberi kegembiraan.  

Kebahagiaan enggan beranjak nampaknya. Saat terpikir untuk mengetahui berapa harikah antara 2 Mei 2021 hingga 18 Agustus 2024, dan kemudian sepanjang rentang waktu tersebut terdapat  1.204 hari, ternyata 1204 adalah sebuah bilangan Harshad. Kita bisa ulangi langkah pembuktian seperti pada bilangan 210. Bilangan 1204 terdiri dari empat digit 1,2,0 dan 4 sehingga hasil penjumlahan keempat digitnya adalah 7 (1+2+0+4=7) dan 1.204 habis bila dibagi 7, yakni 172.       

Kembali ke bilangan 210. Ternyata ia termasuk salah satu angka dengan komposisi yang sekuensial. Berurutan secara runut. Dari yang lebih besar ke yang lebih kecil bila dari kiri dan sebaliknya bila dari kanan. Komposisi angka 210 juga mengandung keseimbangan. Bila bilangan asli dari komposisi tersebut dikurangkan satu sama lainnya, 2-1 (dari kiri) dan 1-2 (dari kanan), maka hasilnya adalah 1 dan -1 yang bila dijumlahkan akan menciptakan keseimbangan, yakni 0.

"Bila pencerminan dengan sumbu x pada garis 1 (X=1), maka dari bilangan 210 di atas, kita seakan mendapatkan simpulan bahwa 2=0. Artinya, jarak antara 2 dari 1 sama dengan jarak antara 0 dari 1. Di mana 0 adalah bayangan dari 2," jelas rekan guru matematika ketika saya berbagi hal menarik ini.

210 jelas bukan bilangan palindromik atau simetris tapi terbukti termasuk bilangan yang mengadung keseimbangan. Bilangan 210 benar-benar menciptakan kebahagiaan bagi saya sepanjang hari di awal pekan ini.

Platonisme Matematika dan Saya

Almarhumah Ibu saya termasuk menonjol dalam matematika, selain pelajaran seni. Kedua orang tua saya adalah guru. Namun, dibanding Bapak, Ibu lebih kuat dalam matematika. Sementara dalam seni, bila Ibu cenderung ke musik, maka Bapak lebih kepada sastra.  Untuk alasan itu, saya curiga, Bapak menyelipkan tambahan nama tengah Sastra di antara nama depan dan belakang beliau.  

Kegandrungan saya terhadap matematika bertepuk sebelah tangan. Kecenderungan saya dengan pendekatan big-picturian menjadikan saya lemah dalam hal-hal yang spesifik dan teknis. Termasuk ketelitian dan ketekunan dalam berlatih matematika. Ini yang menjadikan hubungan saya dengan matematika bernuansa platonis. Akan tetapi, layaknya seorang pecinta terhadap kekasihnya, baginya sang kekasih akan tercermin dalam setiap keindahan yang ternampak dalam pandangannya. Seperti halnya bagi seorang Majnun, dinding kusam di kampung Layla, tampak indah hanya karena sang kekasih tinggal di kampung tersebut. Matematika adalah Layla bagi saya. Dan bilangan 210 layaknya dinding di kampung Layla bagi saya sebagai Majnun.

Boleh jadi terkesan sangat overstated bagi orang seawam saya untuk mengungkapkan tentang benarnya ungkapan Proklos Diadokhos (412-485) bahwa dimana pun ada angka, di sana pasti ada keindahan. Tapi sebagaimana dikatakan John Forbes Nash, Jr. - yang sosoknya sekelumit saya kenal lewat film A Beautiful Mind - bahwa tidak perlu menjadi seorang ahli matematika untuk memahami angka, saya merasa sedikit berhak memiliki rasa terhadap Layla (baca: matematika, atau setidaknya angka) seperti halnya Majnun. 

Tentu saja, saya juga sangat tahu diri, untuk menaruh 'rasa' lebih dari yang sebisa - dan sebiasanya - bila menakar dengan ungkapan Socrates, yang menurut Eva Brann dalam Socrates on Mathematics and Being, bahwa dalam studi matematika yang serius, sebagai paradigma dari setiap "materi pembelajaran" (mathema), tidak hanya semua aplikasi praktis, tetapi bahkan setiap saran adanya campuran pengalaman inderawi harus disingkirkan, dan hanya gerakan-gerakan, angka-angka, dan bentuk-bentuk yang benar yang dipahami oleh logos dan dianoia saja yang harus dipelajari. 

Logos dalam filsafat Yunani, menurut beberapa sumber, sering diterjemahkan sebagai "akal" atau "rasio," dan mengacu pada kemampuan berpikir logis dan berargumen. Sementara dianoia adalah proses berpikir yang lebih tinggi yang melibatkan pemahaman, refleksi, dan penalaran yang mendalam.

Intinya, saat Sokrates mendorong kita untuk mempelajari matematika dengan cara yang benar-benar rasional dan abstrak, memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip ideal yang tidak terikat oleh dunia fisik atau kebutuhan praktis, saya semakin terpinggirkan dari pusat kematematikaan.

Tiga Angka Berurut Mundur

James Joseph Sylvester konon berujar bahwa matematika adalah musiknya nalar. Hal senada disampaikan Bertrand Russel: "Matematikawan murni, seperti halnya musisi, adalah pencipta bebas dari dunianya yang penuh dengan keindahan yang teratur."

Sylvester dan Russel sama-sama menganalogikan matematika dengan musik. Antara matematika dan musik terdapat kesebangunan dalam: struktur, pola, abstraksi dan harmoni. Keduanya juga dapat mengungkapkan keindahan dan harmoni. Namun, yang tidak kalah pentingnya, keduanya sama-sama memiliki pengalaman yang bersifat subjektif.  Seperti halnya musik dapat memberikan pengalaman emosional yang mendalam, matematika sering kali memberikan kepuasan intelektual dan keindahan bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Banyak matematikawan merasakan keindahan dalam elegansi teori dan solusi matematika, mirip dengan bagaimana seseorang merasakan keindahan dalam musik.

Barangkali, inilah satu-satunya yang membuat saya masih bisa menikmati matematika, yaitu keindahannya dan celah untuk melakukan interpretasi. Tentu saja ungkapan "menikmati" di sini sangat bersifat subjektif dan dalam perspektif keawaman saya. Tidak untuk diperbandingkan dengan mereka kapasitasnya berada dalam liga yang berbeda. 

Dengan segala kerandoman dan kekonyolan saya dalam berpikir, bila tiga angka berurut mundur 210 dibaca secara solmisasi, seolah menasehati saya. Angka 2 dibaca re dan 1 dibaca do. Sementara 0 adalah isyarat untuk beristirahat. Jadi, 210 secara notasi musik, bilangan ini menyuruh saya untuk kembali (re,2) mengerjakan, yaitu belajar menulis (do, 1), redo. Lalu berhenti sejenak guna melakukan refleksi dan introspeksi (0). 210 mengajarkan untuk tidak berhenti menulis - karena merasa tidak kunjung membaik dalam kualitas, ataupun terus menulis secara asal-asalan tanpa ada upaya refleksi untuk membaik.     

"I believe in numbers," begitu ujar Amy Harmon. Saya sependapat dengannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun