Almarhumah Ibu saya termasuk menonjol dalam matematika, selain pelajaran seni. Kedua orang tua saya adalah guru. Namun, dibanding Bapak, Ibu lebih kuat dalam matematika. Sementara dalam seni, bila Ibu cenderung ke musik, maka Bapak lebih kepada sastra. Â Untuk alasan itu, saya curiga, Bapak menyelipkan tambahan nama tengah Sastra di antara nama depan dan belakang beliau. Â
Kegandrungan saya terhadap matematika bertepuk sebelah tangan. Kecenderungan saya dengan pendekatan big-picturian menjadikan saya lemah dalam hal-hal yang spesifik dan teknis. Termasuk ketelitian dan ketekunan dalam berlatih matematika. Ini yang menjadikan hubungan saya dengan matematika bernuansa platonis. Akan tetapi, layaknya seorang pecinta terhadap kekasihnya, baginya sang kekasih akan tercermin dalam setiap keindahan yang ternampak dalam pandangannya. Seperti halnya bagi seorang Majnun, dinding kusam di kampung Layla, tampak indah hanya karena sang kekasih tinggal di kampung tersebut. Matematika adalah Layla bagi saya. Dan bilangan 210 layaknya dinding di kampung Layla bagi saya sebagai Majnun.
Boleh jadi terkesan sangat overstated bagi orang seawam saya untuk mengungkapkan tentang benarnya ungkapan Proklos Diadokhos (412-485) bahwa dimana pun ada angka, di sana pasti ada keindahan. Tapi sebagaimana dikatakan John Forbes Nash, Jr. - yang sosoknya sekelumit saya kenal lewat film A Beautiful Mind - bahwa tidak perlu menjadi seorang ahli matematika untuk memahami angka, saya merasa sedikit berhak memiliki rasa terhadap Layla (baca: matematika, atau setidaknya angka) seperti halnya Majnun.Â
Tentu saja, saya juga sangat tahu diri, untuk menaruh 'rasa' lebih dari yang sebisa - dan sebiasanya - bila menakar dengan ungkapan Socrates, yang menurut Eva Brann dalam Socrates on Mathematics and Being, bahwa dalam studi matematika yang serius, sebagai paradigma dari setiap "materi pembelajaran" (mathema), tidak hanya semua aplikasi praktis, tetapi bahkan setiap saran adanya campuran pengalaman inderawi harus disingkirkan, dan hanya gerakan-gerakan, angka-angka, dan bentuk-bentuk yang benar yang dipahami oleh logos dan dianoia saja yang harus dipelajari.Â
Logos dalam filsafat Yunani, menurut beberapa sumber, sering diterjemahkan sebagai "akal" atau "rasio," dan mengacu pada kemampuan berpikir logis dan berargumen. Sementara dianoia adalah proses berpikir yang lebih tinggi yang melibatkan pemahaman, refleksi, dan penalaran yang mendalam.
Intinya, saat Sokrates mendorong kita untuk mempelajari matematika dengan cara yang benar-benar rasional dan abstrak, memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip ideal yang tidak terikat oleh dunia fisik atau kebutuhan praktis, saya semakin terpinggirkan dari pusat kematematikaan.
James Joseph Sylvester konon berujar bahwa matematika adalah musiknya nalar. Hal senada disampaikan Bertrand Russel: "Matematikawan murni, seperti halnya musisi, adalah pencipta bebas dari dunianya yang penuh dengan keindahan yang teratur."
Sylvester dan Russel sama-sama menganalogikan matematika dengan musik. Antara matematika dan musik terdapat kesebangunan dalam: struktur, pola, abstraksi dan harmoni. Keduanya juga dapat mengungkapkan keindahan dan harmoni. Namun, yang tidak kalah pentingnya, keduanya sama-sama memiliki pengalaman yang bersifat subjektif. Â Seperti halnya musik dapat memberikan pengalaman emosional yang mendalam, matematika sering kali memberikan kepuasan intelektual dan keindahan bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Banyak matematikawan merasakan keindahan dalam elegansi teori dan solusi matematika, mirip dengan bagaimana seseorang merasakan keindahan dalam musik.
Barangkali, inilah satu-satunya yang membuat saya masih bisa menikmati matematika, yaitu keindahannya dan celah untuk melakukan interpretasi. Tentu saja ungkapan "menikmati" di sini sangat bersifat subjektif dan dalam perspektif keawaman saya. Tidak untuk diperbandingkan dengan mereka kapasitasnya berada dalam liga yang berbeda.Â
Dengan segala kerandoman dan kekonyolan saya dalam berpikir, bila tiga angka berurut mundur 210 dibaca secara solmisasi, seolah menasehati saya. Angka 2 dibaca re dan 1 dibaca do. Sementara 0 adalah isyarat untuk beristirahat. Jadi, 210 secara notasi musik, bilangan ini menyuruh saya untuk kembali (re,2) mengerjakan, yaitu belajar menulis (do, 1), redo. Lalu berhenti sejenak guna melakukan refleksi dan introspeksi (0). 210 mengajarkan untuk tidak berhenti menulis - karena merasa tidak kunjung membaik dalam kualitas, ataupun terus menulis secara asal-asalan tanpa ada upaya refleksi untuk membaik.   Â