Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aji Saka: Sebuah Insight dari Dongeng Pengantar Tidur

18 Agustus 2024   11:30 Diperbarui: 18 Agustus 2024   13:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Almarhumah Ibu suka menceritakan satu atau dua dongeng untuk menidurkan saya. Uniknya, meski saya sudah hafal betul dongeng-dongeng Ibu, tetap saja terasa asyik saat didongengi olehnya. Kemarin, selepas mengikuti upacara peringatan HUT RI yang ke-79 di tingkat Desa Tenjowaringin, saya memanjakan diri dengan menikmati beberapa komposisi musik jazz Gipsi yang dibawakan oleh Joscho Stephan via YouTube. Saya tidak tahu pasti, tapi nampaknya ada sebuah nuansa musikal yang memicu dawai-dawai halus memori di otak saya untuk bergetar lalu naik ke permukaan kenangan dalam benak. Kisah Aji Saka, salah satu dongeng favorit saya, jelas ternyangkan secara filmis dalam ingatan.

Setidaknya ada dua alasan bagi saya untuk menyukai dongeng Aji Saka ini. Pertama, unsur thrilling saat Aji Saka menawarkan diri untuk jadi santapan raja lalim Dewata Cengkar. Kedua, unsur tragis saat dua abdi setianya (Dora dan Sembada) gugur demi mempertahankan amanah yang diberikan oleh Aji Saka. Kedua mata saya menghangat oleh air mata tiap kali Ibu sampai pada bagian di mana Aji Saka merasa begitu bersalah karena menjadi penyebab kematian abdi setianya tersebut, menulis di atas prasasti yang berbunyi:

Hanacaraka, artinya ada dua utusan
Datasawala, artinya berbeda pendapat (lalu berkelahi)
Padhajayanya, artinya sama-sama kuatnya
Magabathanga, artinya (dan akhirnya) sama-sama gugur

Aji Saka adalah sebuah dongeng yang membuat saya kagum akan sosok gagah Aji Saka sekaligus membencinya karena telah menyebabkan dua orang sahabatnya yang setia meninggal dunia akibat kesalahpahaman.

Aji Saka dalam Tafsiran Budaya Jawa

Malika D. Ana dalam Kisah Dewata Cengkar dan Aji Saka, Sejarah yang Dikaburkan berbeda dengan umumnya citra yang dikesankan berkenaan dengan Dewata Cengkar. Dewata Cengkar, menurut Malika, merupakan gelar seorang pemimpin atau ratu yang turun-temurun digunakan pasca gelar Ratu Kidul. 

Sesuai dengan gelar yang dipakai, yaitu 'dewata' yang artinya dewa tertinggi, ia berposisi 'cengkar' yang artinya melindungi seluruh negara beserta kawulanya (warganya). Dalam perkembangannya, kata cengkar kemudian diartikan menjaga dan menyebar kemakmuran bagi seluruh warganya. Sang Dewata Cengkar juga sangat terbuka kepada para pendatang dan mengayomi semua kawula dan tamunya.

Lebih jauh lagi Malika menjelaskan:

Terlepas dari kesahihan naskah Pustaka Radya Radya i Bhumi Nusantara, didalam naskah Pustaka Radya Radya i Bhumi Nusantara disebutkan bahwa sejak 1600 tahun sebelum Saka (bisa disamakan dengan 1600 SM) berdatangan rombongan orang-orang dari Yawana, Syangka, Campa dan India Selatan (Jambudwipa).

Para pendatang asing itu berdatangan karena berbagai macam sebab diantaranya ingin melepaskan diri dari penderitaan, ada yang ingin mendapat pekerjaan, ada yang menyingkir karena peperangan di negerinya, ada yang ingin mendapatkan suami atau istri di Pulau Jawa, dan ada pula yang ingin panjang umur dan mencari tanah yang subur agar dapat memberikan penghidupan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun