Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tribute

27 Juli 2024   09:56 Diperbarui: 27 Juli 2024   10:25 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.light-sources.com/

Etimologia Manusia

Daras subuh pagi ini QS Al-Qashash: 29, perhatian tertuju pada kata Arab aanasa (melihat). Komposisi dasar huruf mabany kata aanasa sama dengan huruf-huruf yang menyusun kata ins (manusia). Kasus serupa, dengan sedikit perbedaan, terjadi pada hubungan kata nasiya (lupa) dengan naas (manusia).  Saya menyebut kondisi kognitif seperti ini sebagai momentum eurekaian. Letupan kognitif disebabkan tersingkapnya satu temuan atau dapatan yang membahagiakan. Boleh jadi semacam pengalaman ekstasisnya para mistikus. 

Manusia disebut ins dan naas karena di dalam dirinya setidaknya terkandung dua potensi tersebut. Ia memiliki kemampuan mempersepsi diri - dan selain dirinya, termasuk pada puncaknya adalah Dazt Sang Pencipta - jauh di atas kemampuan makhluk Tuhan lainnya. Ia juga tidak bisa lepas dari sifat lupa. Sehebat apapun ia berusaha untuk mengatasinya. Al-insaanu mahallul-khathaa'i wan-nisyani . Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Begitu ungkapan masyhur yang sering kita dengar. Atau, dalam redaksi lainnya menurut M. Alvin Nur Choironi dalam Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan, Hadis atau Bukan?, Al-insaanu mahallus-sahwi wan-nisyaani. Satu hal kecil yang menarik. Meskipun kata manusia banyak disebut para ahli berasal dari kata Sanskerta manusya (anak keturunan Manu), bagi yang mereka yang sedikit belajar Arab tidak akan terlalu sulit untuk merunut kata manusia dari kata Arab mansiyya (dilupakan, terlupakan).

Sebutan lain untuk manusia, selain ins dan naas adalah basyar. Kata basyar secara leksikal berarti menggembirakan, menguliti, memperlihatkan dan mengurus sesuatu. Al Raghib Al Ashfahani mengatakan bahwa basyar berarti al-jild (kulit). Manusia secara etimologis disebut basyar karena kulitnya terlihat jelas, berbeda dengan binatang, kulitnya tidak tampak karena tertutup oleh bulu. Saya sendiri lebih menekankan pada arti lainnya dari basyar, yakni gembira dan kabar suka. Manusia sejatinya adalah sumber kabahagiaan bagai makhluk lainnya. Kedudukan inilah yang membuat manusia dijadikan Allah sebagai Khalifah di muka Bumi. Kapasitas manusia dalam 'melihat' menjadikannya manifestasi sempurna sifat al-'Alim (Mahatahu) Tuhan. Kapasitas positifnya dalam 'lupa' menjadikan manusia sebagai manifestasi sifat al-Ghafuur (Maha Pengampun) Tuhan. Kedua kapasitas ini bila raih oleh manusia sesuai dengan fitrahnya akan menjadi sumber kebahagiaan bagi makhluk lainnya. Untuk itu, manusia disebut basyar. Manusia sejatinya adalah cerminan kasih sayang Tuhan bagi semesta alam. Untuk itu pula, Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik manusia menyandang gelar Rahmatan lil-'aalamin. 

  

Manusia Adalah Tribut Tuhan Atas Diri-Nya  

Dalam sebuah hadits Qudsi, dikatakan bahwa man 'arafa nafsahu faq 'arafa Rabbahu -barangsiapa mengetahui dirinya bahwa ia telah mengetahui Tuhannya. Manusia adalah tribut Tuhan atas Diri-Nya. Dalam hadits Qudsi lainnya, menurut Ren Muhammad dalam Manusia itu Pilihan Tuhan, Allah berfirman: "Al-insaanu sirrii wa Ana sirruhu wa sirrii sifatii wa sifatii la ghairihi." Bahwa, manusia itu rahasia-Nya dan Dia adalah rahasia manusia, dan rahasia-Nya adalah sifat-Nya, dan sifat-Nya tiada lain adalah Dia.

Terus terang, saya malu mendaraskan kalimat-kalimat di atas meski melalui ketikan jari di atas bilah huruf-huruf di laptop ini. Teramat jauh tujuan yang dengannya saya ada di semesta dengan apa yang selama ini saya perbuat. Ada sebentuk rasa takut saya termasuk kategori manusia yang mansiyyan - ia yang tidak layak untuk diingat dan untuk dilupakan. Na'uudzu billahi.

Menuliskan kalimat-kalimat tadi seperti halnya Harry Potter saat bertemu dementor. Rasa riang dan bahagia menguap seketika dihisap dementor kelalaian diri dalam bermanusia yang untuk itu saya ada. Mantra Patronus diperlukan segera. Butuh sedikit kegembiraan untuk mengusir dinginnya aura kematian yang dihembuskan dementor. Sedikit kegembiraan itu adalah musik. Dan saya akan menggunakan Spain yang ditulis Armando Anthony "Chick" Corea sebagai mantra Patronus. 

Spain: Komposisi Setua Diri

"Hingga saat ini, Spain adalah salah satu lagu yang paling dikenal dan dimainkan dalam idiom jazz dan juga telah berhasil dengan baik di berbagai kompetisi sekolah menengah, perguruan tinggi, dan profesional sebagai karya jazz/fusion. Lagu ini telah dipelajari dan dibawakan oleh band-band dengan berbagai gaya di seluruh dunia dan terus berkembang dari pendekatan baru dan imajinatif yang digunakan Corea dalam versi aslinya," lansir laman Aithor dalam Chick Corea's "Spain" Jazz Song Essay.

Spain ditulis Chick Corea. Corea memperkenalkan "Spain" dalam albumnya yang berjudul Light As a Feather. Melodi sederhana dan menghantui yang terdengar di awal lagu ini berasal dari Concierto de Aranjuez, sebuah konserto gitar karya komposer Spanyol Joaquín Rodrigo. Atas lagunya ini, Corea dan bandnya dinominasikan untuk Grammy Award. 

Versi live dari Spain favorit saya adalah Montreux 2004. Skill komunikatif musikal Corea plus sedikit sisi manusiawi saat Frank Gambale (gitais) yang 'nyelonong' memainkan solo dan 'menabrak' part-nya Chick Corea lalu diberi kedipan mata oleh saxofonis Eric Marienthal. Walhasil, sang basis John Patitucci pun tertawa. Gambale 'nyengir'. Sementara Dave Weckl sang drummer bergeming mengawal ritme yang bersinkopasi. "Bahkan para maestro pun masih bisa melakukan kesalahan elementer," batin saya sambil senyum-senyum sendiri. 

Komposisi Spain memiliki keistimewaan sendiri. Kompisisi ini seusia dengan saya. Saya lahir satu tahun bersamaan dengan ditulisnya lagu Spain. Secara subjektif versi instrumen lagu ini selalu lebih saya sukai. Untuk itu, tidak bermaksud disrespect. Versi lirikal Spain vokalis jazz legendaris Al Jarreau dari album This Time yang dirilis pada tahun 1980, kurang saya nikmati. Komposisi Spain terasa magis dan majestik dalam kemasan instrumentalia yang nirkata.      

Dalam konteks tribute yang disinggung sebelumnya sekaitan dengan refleksi daras tadi pagi, edisi rendisi Spain oleh musisi lainnya juga sangat membahagiakan. Beberapa edisi rendisi yang jadi pilihan saya antara lain:

Pertama, versi trio Matteo Mancuso di NAMM  pada 27 Januari 2024 lalu. Ditemani bassis Riccardo Oliva dan drummer Gianluca Pellerito, trio Italiano ini benar-benar menyuguhkan sajian musikalitas yang berkelas dan menjanjikan. Ketiganya memang fasih dengan masing-masing instrumennya. Bagaimana mereka bersinkopasi, menjelajahi ruang nada lalu kembali berjumpa membuat saya merasa begitu religius melalui musik. 

Kedua, versi Guthrie Govan. Govan memainkan lagu ini tidak kurang dari 15 tahun lalu. Kuartet Govan, Bryan Beller (bass), Zak Barrett (saxofon) dan penabuh drum yang belum saya ketahui, memainkan Spain dengan sisipan canda. Govan menyelipkan potongan awal Fur Elise dan Iron Man terasa menyegarkan sekaligus risk taking. Ia merekayasa skala. Mengemas pekikan dan lenguhan pilu dalam satu paket solonya. Sebuah senyum kekaguman diberikan oleh sang saksofonis, Zak Barrett saat Govan bercanda nada. 

Ketiga, versi Joscho Stephan. Kuartet dengan genre Gypsy jazz ini terdiri dari Joscho Stephan (gitar), Sven Jungbeck (gitar), Sandro Roy (biola) dan Stefan Berger membawa kita pada eksotika keriangan khas bangsa nomad Romani yang berakar dari India, tepatnya Rajasthan. Joscho yang sangat formulaik dan klinis permainannya ternyata bisa juga beriang-gembira berbagi nada dengan Sandro. Sementara Sven dan Stefan dengan setiap memberikan track yang solid untuk kedua solois mereka. 

Ketiga tribut kepada Chick Corea di atas benar-benar layaknya cokelat hangat yang mampu menjadi "patronus". Ada rasa syukur dalam hati atas karunia besar keindahan musik. Setiap keindahan, kemerduan, kecantikan, kelezatan dan rasa baik lainnya hakikatnya merupakan cerminan dari keberadaan Tuhan. Rasa cinta dan kecenderungan hati kita kepada apa yang Dia ciptakan, termasuk musik adalah salah satunya, sejatinya adalah pencarian kita akan Wujud Tuhan itu sendiri. Kejuitaan adalah sesuatu yang secara alami menawan hati dan dengan menyaksikannya akan timbul kecintaan secara alami. Kalimat terakhir ini saya kutip dari kata-kata Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as dalam bukunya Filsafat Ajaran Islam.  

Kembali saya merasa begitu religius melalui musik. Tulisan pun berakhir dalam syukur yang tak berhingga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun